Friday, December 05, 2008

Sego Segawe

Ketika warga Yogjakarta mendeklarasikan gerakan Sego Segawe, saya tak heran. Kota ini memang selalu ada di garda depan dalam setiap dinamika kebudayaan. Gerakan Sepeda Kanggo Sekolah Lan Nyambut Gawe (akronim Sego Segawe) jelas bagian dari aksi budaya yang tak main-main.

Mari kita lihat. Saat ini umat manusia tengah ramai-ramai melakukan penghancuran diri-sendiri. Alam yang semestinya menjadi pelindung kita, diganyang habis-habisan. Hutan-hutan digunduli, kekayannya dirampas untuk memenuhi nafsu serakah para mega-cukong.

Garis pantai diporak-porandakan, katanya untuk penambangan biji besi. Dataran luas diacak-acak demi pembangun pabrik semen. Bahwa , kandungan air tanah yang menjadi gantungan jutaan manusia sekitarnya tercemar, dianggap angin lalu. Uang-lah yang bicara, dab!.

Di kota, orang berlomba-lomba memenuhi jalanan dengan kendaraan bermotor. Mereka ramai-ramai mengecat langit (yang semula) biru menjadi abu-abu dengan asap knalpot.

Tetapi tampaknya tak banyak yang mahfum bahwa semua itu adalah penyumbang terbesar gejala pemanasan global. Inilah keadaan dimana suhu permukaan bumi meningkat akibat efek rumah kaca. Jika dibiarkan terus, bagian Utara belahan Bumi Utara akan memanas. Lalu gunung-gunung es mencair dan daratan mengecil. Permukaan laut naik. Dan, kita semua diambang mara bahaya!

Memang, ada, sih, yang sejatinya tahu soal itu. Tetapi ia memilih cuek dan menganggap ancaman itu masih lama. Belanda masih jauh, katanya. Maka apakah pedulinya tentang data bahwa kota-kota didunia adalah penyumbang tiga perempat emisi CO2 ke langit luas?

Untunglah tak semua tenggelam dalam “kebodohan” itu. Polusi harus dikurangi. Sebagian melakukanya dengan cara sederhana, namun sangat berarti: kembali menggunakan sepeda untuk bepergian. Di Jakarta dan kota-kota besar ada gerakan Bike To Work (B2W). Dan di Yogjakarta, ya Sego Segawe itu.

Ini adalah gerakan budaya karena bertujuan memercikan kesadaran baru di benak setiap orang. Orang perlu disadarkan, ancaman kehancuran sejatinya sudah ada di depan mata.

Tetapi gerakan itu hanya akan jatuh menjadi aksi-aksian saja belaka jika tak berkelanjutan. Pemerintah kota mesti mendukung dengan langkah nyata, misalnya membangun jalur khusus sepeda. Kalau perlu menerbitkan peraturan yang melindungi kenyamanan pejalan kaki dan pesepeda.

Itulah yang dilakukan di Bogota, ibukota Colombia. Pemerintah setempat telah membangun jalur sepeda sepanjang 350 kilometer. Dengan dukungan seperti itu, kini 30 persen warga Bogota menggunakan sepeda sebagai alat transportasi utama.

Walikota Yogjakarta Herry Zudianto juga bisa meniru langkah Walikota London Boris Johnson. Agar gerakan bersepeda menular ke setiap warganya, Johnson menggunakan sepeda untuk bepergian ke manapun—dan tidak hanya jika ke kantor saja.

Monggo, Pak Wali…

*) Gambar dimbil dari http://www.podjok.com

Friday, November 21, 2008

Busway Mangkrak, Bang Foke Kemana?

Langkah Pemerintah DKI Jakarta untuk mengatasi problem kemacetan ibukota sungguh sangat tidak menjanjikan. Proyek pembangunan jaringan busway saat ini telantar, dan justru membuat kondisi lalulintas semakin kisruh. Jika kondisi ini dibiarkan berlarut, Jakarta akan semakin sulit keluar dari ancaman yang sudah kerap didengungkan: Lalu-lintas ibukota bakal macet total pada tahun 2011!

Jaringan busway (Bus Rapid Transit alias BRT) sejak semula dimaksudkan menjadi bagian dari strategi utuh mengurai kemacetan di Jakarta. Selain BRT, pemeritah juga akan membangun jaringan Mass Rapid Transit (subway) dan Light Rel Transit (monorel). Tiga jurus tranportasi inilah yang akan digeber guna mencegah Jakarta lumpuh total. Para ahli mengatakan kelumpuhan itu akan terjadi pada 2014. Bahkan bukan tak mungkin pada 2011 ancaman itu terwujud jika tak diambil tindakan yang tepat.

Menurut rencana bakal ada 15 koridor busway yang menghubungan setiap sudut Jakarta. Seluruh jaringan ini dikelola oleh Badan Layanan Umum Transjakarta. Jika semua lintasan sudah beroperasi, ditaksir setengah juta orang bisa diangkut saban hari. Bersamaan dengan itu lebih 200 ribu kendaraan pribadi akan "nganggur" karena pemiliknya beralih ke bus Transjakarta. Ini merupakan pengurangan siginikan, dan bisa membuat Jakarta sedikit lebih lega.

Tetapi hitung-hitungan di atas kertas itu terancam meleset jauh. Pasalnya, hingga menjelang akhir tahun ini baru tujuh koridor saja yang beroperasi--dari 10 yang ditargetkan. Koridor VIII hinga X yang sejatinya telah kelar dibangun dengan biaya Rp 365 Miliar itu, kini mangkrak sia-sia. Padahal mestinya sejak September lalu koridor ini sudah beroperasi. Bahkan target semula adalah akhir 2007!

Penyebab dari leletnya proyek ini adalah karena tidak tersedianya bus Transjakarta. BLU baru akan mengadakan lelang pengadaan bus awal tahun depan untuk koridor VIII. Sedangkan bus untuk koridor IX dan X yang mestinya disediakan operator (konsorsium) lama, juga belum ada.

Tak hanya itu, operasional koridor IV hingga VII ternyata juga tak optimal. Pada koridor V (Kampung Melayu-Ancol), misalnya, terjadi kekisruhan antara BLU dengan konsorsium dalam menentukan tarif. Akibatnya, belasan bus yang melayani jalur ini nganggur sejak Juni lalu. Sedangkan jalur lainnya masih kekurangan bus.

Agar masa depan jaringan busway tidak semakin suram, beberapa hal harus segera diatasi. Salah satunya adalah meninjau kembali posisi BLU yang masih berada di bawah Dinas Perhubungan DKI Jakarta. Berada di bawah institusi pemerintah membuat BLU tidak lincah bergerak. Setiap kali melangkah mau tak mau BLU harus tunduk pada "tata-krama" birokrasi.

Ambil contoh dalam proses lelang pengadaan bus. Prosedur ini biasanya memakan waktu selama sembilan bulan. Maka jika lelang bus untuk koridor VIII dibuka awal 2009, maka baru bulan September tahun depan lintasan Lebak Bulus-Harmoni ini "hidup". Selama masa menunggu itu, koridor akan nganggur dengan resiko rusak disana-sini. Sekarang pun berbagai kerusakan sudah terlihat.

Menjadikan BLU sebagai lembaga independen, memungkinkan ia bergerak lebih taktis. Langkah ini diperlukan mengingat tugas berat yang dipikulnya, yakni ikut mengurai kemacetak akut di ibu kota.

Di atas semua itu, keseriusan dan komitmen Gubernur Fauzi Bowo menata lalu-lintas Jakarta layak ditagih. Ketidak jelasan proyek subway dan monorel mengesankan kurang sensitifnya Bang Foke terhadap ancaman kelumpuhan Jakarta. Inilah saatnya Bang Foke membuktikan jargon yang ia usung semasa kampanye dulu: Serahkan pada ahlinya.

Foto diambil dari:
www.skyscrapercity.com

Thursday, November 20, 2008

Mereka Mengomentari Somasi Itu


Inilah komentar-komentar pembaca di http://www.tempointeraktif.com/ seputar pemberitaan somasi pengusaha (yang sekarang jadi menteri) Aburizal Bakrie terhadap Majalah Tempo.

1. Staf Menko Kesra: Tempo Harus Lebih Telitihttp://tempointeraktif.com/hg/hukum/2008/11/18/brk,20081118-146796,id.html Komentar Anda

* bakrie bakrie elo2 pd tau ga kalau sby itu bs jadi RI 1 itu. dana kampanyenya dari bakrie brothers, so politik hutang budilah. lagian mau pilpres 2009, so pasti bakrie brothers nggak bakalan kesentuh, so lapindo, semoga tuhan membalasnya.... Pengirim : kupret di solo


* Astagafirullah Sudah jelas2 ngga bertanggung jawab soal Lapindo, koq Pemerintah dan pejabatnya diam ngga bela rakyat dan malah membela yang salah sih !??! Koq masih di bela2 terus, ada apa ya ?!?!? Pengirim : jon USA di LA


* apakah kita masih mau percaya kalau memang bakrie itu baik dan professional, kenapa mesti takut ? sebagai pejabat negara, lulu ngga usah2 ikut2, seharusnya urus saja kepentingan rakyat. Pengirim : Nirwanto di Subang


* pejabat atau juragan makanya kalau masih jadi pengusaha jangan ngrangkap jabatan negara. Pejabat negara urusanya untuk mensejahterakan bangsa. Sedangkan Ical menjabat menko kesra masih mikirin kesejahteraan korporasi sendiri. Tolong pak SBY kalau kepilih presiden lagi pilih menteri yang pantas jadi pejabat negara. bukan pejabat korporasi. kapan Indonesia bisa maju dari dulu pejabat ngurusin poerutnya sendiri Pengirim : paceko di usa


* LALU MARA,DIAM KENAPA??? Perusahan bapak Aburizal Bakrie adalah usaha PRIBADI, jadi staf kementerian KKR gak boleh ikut-ikutan berkomen, biarkan staf PERUSAHAN BUMI atau MINARAK yang cuap-cuap! Perusahaanya keluarga pak Bakrie bukan usaha pemerintah atau perusahaan dari salahsatu kementerian RI....iya khan! Pengirim : andi tenrie di nederland




Komentar Anda

* Semua komentar passss !!!! Saya hanya komentar pendek: "Semua komentar di atas memang Passsss buat Bakrie". Usahanya maju terussss .... fair nggak ya, ada KKN-nya nggak ya, ...... dapat beking penguasa (sesama menteri) nggak ya?? Mungkin hanya lumpur lapindo yang bisa menjawabnya. Viva Tempo !!! Pengirim : Purwaji di Bandung


* never Give Up AYO TEMPO....JANGAN MENYERAH SUDAH SAATNYA BAKRIE FAMILY MERASAKAN BUAH "MANIS" AKIBAT PERBUATNNYA. JANGAN SOK KALI LAH.... Pengirim : Fie di Medan


* Jangan Pernah rasa Takut. Wahai Tempo...,jangan ada setitikpun merasa gusar atau Takut, menghadapi Somasi2, apalagi dgn cara Premanisme. Sekarang Bukan Zamannya lagi ,ancam mengancam, gertak mengertak, Teror meneror. Itu semua zaman Orde Baru. Pengusaha, Penguasa menggunakan Jasa Preman2. Aku hanya kagum padamu Wahai, TEMPO. Pengirim : wablengge di tg.sebaok


* maju terus tempo seperti yang kita ketahui,... bakrie merupakan salah satu pemain dari orde baru.... kita semua juga tau bagaimana berurusan dengan orde baru.. ribet... maju terus tempo.. bongkar saja semuanya.. jangan takut dengan kebenaran.. Pengirim : vino di Bandung


* raja kecil Bakrie sdh terbiasa berprilaku bak raja kecil dinegeri ini, sikap arogansinya sdh mendarah daging krn merasa mendapat beking dari penguasa Indonesia. Lihat saja kasus Lapindo yg tak kunjung selesai dan membuat ribuan rakyat miskin makin menderita. Orang spt Bakrie sdh tak punya hati nurani dan sebaiknya abaikan saja orang macam ini. Bakrie cs is nothing. Pengirim : bambang sugeng di semarang




Komentar Anda

* umar bakrie MENTERI KORDINATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT= MENTERI KORDINATOR KEKACAUAN RAKYAT Pengirim : kupret di solo


* ga nyambung komentar mas boneng aneh banget ya, ga nyambung, ga ada dasarnya,

*) foto diambil dari:
www://candle-is-me.blogspot.com





Monday, November 17, 2008

Siapa Peduli Bakrie*)


HEBOH betul pemerintah mengurusi Grup Bakrie. Gara-gara imperium bisnis milik keluarga Aburizal Bakrie limbung diterjang krisis keuangan global, disayangkan kabinet sampai mesti terbelah: pro dan kontra untuk membantu konglomerasi milik orang terkaya Indonesia tahun lalu versi majalah Forbes Asia itu. Siapa yang peduli Bakrie?

Tidak sulit menjawabnya. Sebab dari Istana Wakil Presiden, Jumat lalu, Jusuf Kalla berkata jelas: apa salahnya pemerintah membantu. Wakil Presiden menganggap grup bisnis milik Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat itu merupakan aset nasional. Jusuf Kalla seakan tak menganggap keliru ada kebijakan kabinet yang khusus dibuat untuk membela kepentingan salah satu anggotanya.

Wakil Presiden merujuk pada kebijakan pemerintah Amerika Serikat yang mengucurkan dana talangan buat sejumlah perusahaan raksasa keuangan yang kolaps. Dia lupa bahwa tak ada anggota kabinet Bush yang secara langsung menikmati kebijakan yang diputuskan pemerintahnya.

Keputusan Amerika menyediakan dana bailout US$ 700 miliar atau sekitar Rp 8 ribu triliun seharusnya memberi pelajaran. Rencana itu disetujui setelah lewat perdebatan sengit di Kongres. Presiden George Bush pun menyampaikan dulu niat itu kepada seluruh rakyat Amerika lewat pidato di televisi.

Proses inilah yang alpa dilakukan oleh pemerintahan Soeharto sepuluh tahun silam. Ketika itu pemerintah juga berbaik hati menyelamatkan konglomerat pemilik bank yang diamuk krisis – termasuk grup Bakrie. Rakyat tak dilibatkan dalam pengambilan keputusan pengucuran ongkos krisis perbankan sebesar Rp 700 triliun. Anggaran belanja negara harus menanggung beban itu sampai sekarang.

Wakil Presiden agaknya menganggap benar tindakannya karena bukan pinjaman uang yang digelontorkan, melainkan penundaan pencabutan suspensi alias penghentian perdagangan saham PT Bumi Resources. Instruksi inilah yang membuat pencabutan suspensi pada 5 November dibatalkan. Suspensi saham Bumi dan lima perusahaan Bakrie lain terjadi sejak 7 Oktober.

Harga saham itu longsor hebat. Saham perusahaan batu-bara andalan Grup Bakrie yang sempat mencapai Rp 8.500 pada Juni lalu itu terjun bebas tinggal Rp 2.175 saat dilakukan suspensi. Pemerintah khawatir turunnya saham Bakrie -- yang nilainya sekitar 20 persen dari seluruh nilai saham di bursa -- akan memicu rontoknya indeks bursa.

Kekhawatiran Bakrie lebih besar karena saham itu digadaikannya ke kreditor dalam dan luar negeri. Merosotnya harga saham, membuat Bakrie harus segera melunasi utangnya US$ 1,2 miliar atau sekitar Rp 14 triliun rupiah. Terpaksalah Bakrie menjajakan sahamnya kepada sejumlah investor, hingga terbetik kabar telah dicapai kesepakatan rencana penjualan 35 persen saham Bumi kepada Northstar Pacific.

Mendengar rencana itu, wajar saja jika pengurus bursa merasa tak perlu lagi menyetop perdagangan saham Bumi. Sementara Bakrie berkepentingan memperpanjang suspensi supaya sahamnya tak anjlok dan mengancam proses jual-beli. Di sinilah tangan Istana bekerja dan berhasil memaksa bursa membatalkan pencabutan suspensi hari itu. Patut disesalkan bahwa Menteri Keuangan sampai menemui Presiden dan “mengancam” akan mengundurkan diri hanya untuk memaksa suspensi dicabut esok harinya. Menteri Sri Mulyani tentu merasa kewenangannya sudah terlalu jauh direcoki.

Tatkala saham Bumi terus anjlok hingga kini tinggal sekitar Rp 1.200, Departemen Keuangan seakan-akan dikeroyok kanan-kiri. Petinggi pemerintah, investor dan broker menyalahkan pencabutan suspensi. Jusuf Kalla pernah menyatakan suspensi merupakan kewenangan bursa, tapi pengelola pasar modal itu wajib melindungi investor dan perusahaan. “Bursa institusi swasta, tapi juga bagian dari pemerintah,” katanya.

Argumen Kalla meleset. Intervensi pemerintah jelas dilarang Undang-Undang Pasar Modal Nomor 8/1995. Pembekuan atau penghentian transaksi saham disebutkan merupakan kewenangan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), yang operasionalisasinya dilakukan Bursa Efek Indonesia sebagai badan otonom.

Sebagai wasit, Bapepam dan Bursa Efek Indonesia harus independen. Tugas utamanya menegakkan aturan main tanpa pandang bulu. Soal siapa yang menang dan kalah dalam “pertandingan” bukan urusan sang wasit. Suspensi semata-mata dimaksudkan untuk menjamin meratanya informasi bagi semua pemain. Suspensi bukan dilakukan supaya perusahaan menyelesaikan masalahnya.

Kemandirian pasar modal ini harus juga dijaga oleh Istana. Wakil Presiden pernah berkata di hadapan para saudagar Minang beberapa waktu lalu: tak perlu risau dengan rontoknya harga saham di pasar modal. Sebab, kata dia, hanya segelintir rakyat Indonesia yang dirugikan. “Kecuali yang jatuh Pasar Tanah Abang,” katanya waktu itu.

Ia benar. Tapi mengapa sekarang pemerintah begitu repotnya mengurusi saham Bakrie?


*) Tulisan di atas dikutip dari Majalah Tempo edisi 17-23 Nov.
Foto diambil dari:

Sunday, October 12, 2008

Fenomena Laskar Pelangi


Tidak banyak karya sinema di negeri ini yang bisa dipertanggung
jawabkan secara estetik, sekaligus pada saat yang sama mampu
memberikan inspirasi kepada khalayak penontonnya. Film Laskar
Pelangi adalah salah satu dari yang sedikit itu. Film ini sangat enak
ditonton. Tetapi ia akan jauh lebih bernilai jika sejumlah kearifan
yang tersimpan didalamnya dijadikan inspirasi untuk bekerja lebih
keras menghadapi persoalan riil.

Tidak ada hero dalam film ini. Yang ada adalah kisah anak manusia
biasa-biasa saja, tetapi mereka percaya bahwa mimpi merupakan
hak setiap orang dan kerja keras adalah sebuah pilihan. Dan, para
tokoh Laskar Pelangi memilih kerja keras untuk mewujudkan
mimpi-mimpinya.

Laskar Pelangi yang dibesut Riri Reza ini sudah memecahkan
rekor jumlah penonton ketika pemutaran filmnya memasuki
hari keempat. Penonton saat itu mencapai lebih dari 300 ribu
orang. Ini angka yang belum pernah dicapai film-film box-office
lain. Sejumlah kalangan memperkirakan Laskar Pelangi akan
melampaui rekor penonton Ayat-Ayat Cinta yang mencapai
3,8 juta orang selama dua bulan masa pemutaran.

Keberhasilan tersebut tentu tak bisa dilepaskan dari novel
dengan judul sama karya Andrea Hirata yang menjadi dasar
pembuatan filmnya. Novel terbitan Bentang (Mizan Group) ini
pun sukses dalam penjualan. Lebih dari setengah juta eksemplar
sudah laku sejak diterbitkan pertama kali. Ada yang mengatakan
inilah novel paling berpengaruh di Indonesia saat ini—terlepas
dari kegenitan sebagian “priyayi” sastra Indonesia yang
mempersoalkan kadar kesastraannya.

Laskar Pelangi berkisah tentang daya tahan luar biasa 10 anak
Belitong yang miskin dalam menjalani pendidikan ditengah
keterbatasan ekstrim. Bangunan SD Muhamadiyah tempat
mereka belajar, misalnya, demikian rapuh, hingga “bisa saja
roboh tersenggol kambing yang ngebet kawin”, demikian
metafora Hirata dalam bukunya. Bangunan sekolah itu memang
berfungsi sebagai kandang kambing begitu malam tiba.

Dikisahkan betapa ke-10 anak itu selalu saling menguatkan
dalam segala keadaan. Seorang murid, misalnya, mesti menempuh
jarak 80 kilometer bersepeda setiap hari untuk ke pulang-pergi
sekolah. Seorang lainnya yang mengalami keterbalakangan
mental selalu diterima baik dalam lingkungan mereka. Pendeknya
mereka menjalin persahabatan yang indah.

Ke 10 anak ini dibimbing dua guru yang memandang pendidikan
sebagai penggilan jiwa: Ibu Muslimah dan Pak Harfan. Maka,
bahkan meskipun dibayar seadanya, mereka ikhlas mencurahkan
kasih sayang membimbing Laskar Pelangi.

Tekad dan kerja keras mewujudkan mimpi, itulah kebajikan
kisah ini. Dan para penikmat Laskar Pelangi “tercekam” karena
ini bukan cerita fiktif. Kemiskinan akut dan 10 anak yang menolak
tunduk pada keterbatasan itu benar-benar nyata. Ini adalah kisah
sejati Andrea Hirata dan kawan-kawannya yang dikemas secara
sastrawi, dan lalu difilmkan Riri dengan apik.

Jika Hirata dan kawan-kawan menolak menyerah, kita tahu nilai
itulah yang mestinya diterapkan untuk menangani sejumlah
persoalan pendidikan di negeri ini. Di sekitar kita masih ada lebih
setengah juta anak usia sekolah dasar dan madrasyah ibtidaiyah
yang putus sekolah. Bangunan sekolah yang memprihatinkan pun
masih ditemui dari Siberut Utara, Garut, hingga Samarinda.

Dari Belitong kebajikan moral itu telah diajarkan anak-anak
yang hidup dalam kemiskinan. Hanya kepicikan dan kebebalan
pikiran jika kita dan para pemegang kuasa tak bisa belajar darinya.


Sunday, September 21, 2008

Surat Kepada Sedulur

Assalamualaikum Wr Wb


Sedulur kinasih, bagaimana kabar njenengan sedoyo di Yogyakarta?
Semoga Allah SWT tansah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
kepada kita semua. Semoga, ketika nanti saya mudik ke kota
tercinta ini, kita semua bertemu dalam keadaan yang suci dan
murni bersama datangnya Lebaran yang fitri. Amin.

Sedulur, saya tak tahu pasti tanggal berapa bisa pulang. Maklum,
pekerjaan menumpuk. Tapi pasti saya akan mudik. Tidak
mungkin saya melepaskan kesempatan berharga bertemu
njenengan sami, menguatkan lagi silaturahmi, yang mungkin
mulai longgar karena kita terpisahkan oleh jarak dan waktu tak
terperi.

Poro sanak kadang, melewatkan kesempatan itu akan membuat
saya seperti layang-layang putus benang. Saya akan kehilangan
ikatan--dengan masa lalu, dan lebih-lebih dengan nilai-nilai luhur
yang telah membekali kita dalam bermasyarakat.

Saya ingat ujaran Pak Umar Kayam (suwargi), bahwa mudik
berasal dari kata "udik". Dan udik adalah tempat asal-muasal
segala kemurnian. Barangkali yang dimaksud adalah ihwal tantang
kesederhanaan, kekerabatan, paseduluran, juga kerekatan
silaturahmi. Mungkin itulah sebabnya, jutaan jiwa yang hidup di
kota-kota besar perlu mudik setiap Lebaran. Mereka ingin
menemukan kembali kemurnian itu.

Ya, saya tahu Yogyakarta kita bukan kampung lagi--apalagi
sebuah udik. Yogya kita sudah bersalin rupa--katakanlah--
dibanding 20 atau 30 tahun yang lalu. Kota budaya ini sudah
dikepung mal-mal di segala penjurunya. Jalan Kaliurang kilometer
5 ke atas, yang dulu banyak kos-kosan sederhana, sekarang
sudah begitu gemerlap. Seorang teman yang dulu kos di kamar
berdinding gedek kini bahkan tak bisa menemukan secuil pun
jejak kosnya itu.

Dan, ah ya, Yogya kita sudah pula kecemplung ke kehebatan
dunia maya, karena jaringan Wi-Fi ada di mana-mana. Bahkan
saat nongkrong di angkringan pun, konon, kita bisa nglemboro
berinternet dengan laptop. Dahsyat, bukan?

Poro sedulur, sanak-kadang, dan tonggo-teparo, tetapi, toh, saya
tetap akan mudik. Saya yakin gelombang "kemajuan" itu tak
mampu menggerus segalanya. Masih ada yang tidak bisa kita beli
bahkan di mal terlengkap sekalipun. Itulah persaudaraan dan
hangatnya kekerabatan.

Juga, ada yang tak bisa digantikan oleh e-mail atau SMS. Itulah
sungkem pada orang-orang yang kita hormati.

Saudaraku sekalian, sekian dulu suratku ini.

Wassalamualaikum Wr Wb.



(Dulurmu lanang)


*) Gambar diambil dari goosei.info/category/perjalanan/page/2/

Saturday, September 20, 2008

Kontroversi Surat Sukanto Tanoto kepada SBY



Selayaknya kasus dugaan manipulasi pajak Asian Agri diselesaikan lewat mekanisme hukum. Itu sebabnya, sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menolak memberikan perlindungan kepada Sukanto Tanoto, pemilik perusahaan ini, sudah tepat.

Demikianlah, bagaimana hukum harus ditegakkan, tidak peduli bahwa yang tengah beperkara termasuk salah satu orang
terkaya di Indonesia.

Sukanto mengirim surat itu kepada Presiden pada 7 Januari lalu.
Dia menyampaikan permasalahan pajak yang tengah dialami
Asian Agri. Dia menguraikan persoalan itu selalu dikaitkan
dengan dirinya. Sukanto meminta Presiden memberikan
kesempatan kepada perusahaan untuk membicarakan dan
menyelesaikan persoalan tersebut secara kondusif dengan
Direktorat Jenderal Pajak.

Permintaan itu muncul di kala Dirjen Pajak tengah bekerja keras
mengusut dugaan manipulasi pajak Asian Agri (yang terjadi
sepanjang 2002-2005) senilai Rp 1,3 triliun. Institusi di bawah
Kementerian Keuangan ini telah memeriksa dokumen Asian Agri
sebanyak sembilan truk yang ditemukan tersimpan di sebuah
toko lampu di kawasan Duta Merlin, Jakarta Pusat.

Belum jelas apa yang dimaksud Sukanto agar persoalan pajak
Asian Agri diselesaikan secara “kondusif”. Jika ia berharap
Presiden memerintahkan aparatnya untuk tak menyeret kasus
ini ke wilayah hukum, sungguh itu tindakan yang berbahaya.
Jika presiden menuruti keinginan Sukanto, dipastikan hal itu
akan mencederai supremasi hukum yang tengah dengan susah
payah ditegakkan di negeri ini.

Bagaimanapun, penuntasan kasus Asian Agri akan menjadi salah
satu tonggak apakah hukum masih bisa dijadikan sandaran
keadilan. Dana Rp 1,3 triliun yang diduga ditilap dalam kasus ini
bukanlah jumlah yang ecek-ecek. Dengan uang sebesar itu,
sekurang-kurangnya bisa dibangun 200 gedung puskesmas
lengkap dengan peralatannya. Sisanya masih bisa digunakan
untuk memperbaiki kerusakan jalan di sepanjang pantai utara
Jawa. Pendeknya, rakyat dirugikan jika kasus ini diselesaikan
di bawah meja.

Masih ada ihwal lain yang bisa dipersoalkan di balik pengiriman
surat tersebut. Hal itu berkaitan dengan sikap Sukanto tidak
memenuhi panggilan Dirjen Pajak untuk diperiksa sebagai saksi
dalam kasus Asian Agri. Hingga Maret lalu, Dirjen Pajak sudah
tiga kali melayangkan panggilan kepada dia, tak satu pun
dipenuhi.

Menolak panggilan pemeriksaan, tapi tiba-tiba melayangkan
surat kepada Presiden, hanya akan memunculkan kesan bahwa
dia ingin menggunakan pengaruhnya menyelesaikan persoalan
ini lewat jalur kekuasaan. Alasan bahwa surat panggilan tak
pernah sampai ke alamatnya kelihatan mengada-ada karena
masalah ini telah diberitakan berkali-kali oleh media massa.

Kini sikap pemerintah sudah jelas. Presiden Yudhoyono
menyerahkan soal ini ke koridor hukum. Koran ini berharap
aparat kejaksaan tak lagi "ikut" mengulur waktu dan segera
memproses berkas pemeriksaan yang akan diserahkan Dirjen
Pajak. Mempermainkan lagi soal ini hanya akan membuat wajah
penegakan hukum kian babak belur.

*) Naskah ini juga dimuat sebagai Tajuk Rencana dalam Koran Tempo 19 September.
**) Foto diambil dari www.forbes.com

Wednesday, September 17, 2008

Opo-opo Kerso

Kupat duduhe santen, menawi lepat nyuwun pangapunten.

Senyum saya terbit menerima balasan pesan pendek dari Kelik
Pelipur Lara itu. Makna pesan dalam parikan kiriman pemeran
tokoh Ucup Kelik itu adalah sebuah permohonan maaf
(pangapunten) jika ada kesalahan (lepat). Saya mesem karena
simbolisasi yang dipakai Kelik, yakni kupat (alias ketupat) dan
santen, sungguh tepat belaka. Siapakah yang bisa memisahkan
ketupat dari suasana puasa dan Lebaran ini?

Simbolisasi memang masih kental mewarnai aktivisme masyarakat
di banyak momentum sosial dan religi. Juga pada bulan suci kali ini.

Pada setiap Lebaran, kupat tak akan pernah absen di meja-meja
makan keluarga. Dan itu bukan tanpa alasan "filosofis". Tahukah
Anda kupat adalah perlambang dari suasana saling memaafkan?
Ya, karena kupat berasal dari kata ngaku-lepat (bahasa Jawa)
yang berarti mengaku salah. Pada hari Lebaran itulah setiap
muslim saling mengakui kesalahannya untuk kemudian saling
memaafkan.

Dalam khazanah bahasa Jawa, "teknik" mencari kepanjangan
sebuah kata yang klop dengan suasana tertentu semacam ini
disebut jarwodosok atau keratabasa. Contoh lain adalah
gedang (pisang) yang diartikan di-geged bar madhang alias
disantap setelah makan besar. Kenyataannya, buah pisang
memang dinikmati sebagai pencuci mulut setelah makan besar.

Jauh sebelum sampai Lebaran, tepatnya hari-hari menjelang
puasa, masyarakat Jawa masih ada yang menjalani tradisi
padusan. Ini adalah kegiatan yang menyimbolkan upaya
penyucian diri sebelum memulai puasa atau poso dalam bahasa
Jawa. Vokal o di sana dibaca seperti orang mengucapkan kata
dodol.

Padusan berasal dari kata adus yang artinya mandi. Padusan
biasanya dilakukan beramai-ramai di sebuah kedung, sungai,
atau kolam. Di seputar Solo, tempat yang lumayan kondang
adalah kolam pemandian Cokrotulung (Klaten) dan Pengging.

Bersama lalunya waktu, tradisi padusan mengalami pengayaan
format. Sekarang padusan sudah jadi komoditas wisata lokal.
Momentum padusan biasanya diramaikan dengan pertunjukan
dangdut atau keriaan lainnya untuk menarik pengunjung.

Kadang padusan juga harus menyesuaikan dengan kehendak alam. ]
Waktu kecil, teman-teman sekampung saya ber-padusan di Kali
Krangkeng. Tahun lalu ketika mudik, saya temui kali itu sudah
lenyap "dimakan" kemarau. Saya tak tahu, apakah dengan demikian
padusan tak dilakukan lagi atau masyarakat mencari lokasi lain.

Selain padusan, masyarakat masih menjalani beberapa tradisi,
yakni ruwahan dan nyadran. Keduanya menyimpan simbol-
simbol tertentu yang berkaitan dengan penyucian diri
dan penghormatan pada leluhur.

Kemudian masuklah pada bulan puasa (poso). Uniknya, setahu
saya tak ada simbolisasi apa pun yang berkaitan dengan inti
ibadah saum ini. Tak ada ritual bikinan masyarakat pengiring
puasa. Juga tak ada jarwodosok untuk kata poso.

Tapi saya ingat, kata poso dipelesetkan menjadi opo-opo kerso
(semuanya mau). Ini ditujukan kepada para bocah yang malas
puasa. Saya pernah distempel dengan pelesetan itu karena
hingga kelas 2 SD masih malas puasa.

Kini, saya ingin menyematkan pelesetan itu di jidat para koruptor
yang setiap bulan puasa ikut shaum, tapi ternyata tetap gemar
menilap harta haram. Mereka yang ikut terlihat suci pada Ramadan,
tapi ternyata tetap opo-opo kerso pada apa saja: dari wanita hingga
uang suap. Mereka yang kini terlihat sok kalem di depan publik,
main akrobat pernyataan membersihkan diri, tapi sebenarnya tahu
Allah SWT tak dapat dikibuli.

Mereka ini tampaknya poso, tapi sejatinya tetap rakus menyikat
semua yang berbau haram untuk kepentingan sendiri. Mereka
kebanyakan ada di parlemen, instansi pemerintah, pengusaha
hitam, pengacara busuk, dan lain-lain...

*) Gambar diambil dari www.geocities.com

Wednesday, September 10, 2008

Puasa Klotekan

Kenapa bulan ramadhan begitu mudah membawa kenanganku kepada masa kanak-kanak? Saya tergoda mencari tahu soal itu sesaat setelah terbangun untuk sahur pada hari pertama Ramadhan tahun ini. Saat itu saya jaga oleh suara tetabuhan disertai teriakan ajakan sahur rombongan anak-anak yang lewat di depan rumah. Ramai sekali—jika tak ingin disebut berisik.

Tetapi suara tetabuhan itu telah melemparkan kenanganku ke masa bocah. Dulu saya pernah melakukan hal serupa. Posisi saya adalah pemukul kaleng bekas dalam ”orkestra sahur” yang kami sebut klothekan itu. Dengan berkalung sarung penahan hawa dingin, rombongan kami menyusuri seluruh pelosok kampung di kaki Gunung Lawu itu tanpa lelah. Asyik sekali.

Hal demikian selalu terulang setiap tahun. Maka setiap Ramadhan kami lalui dengan bergairah. Karena selain klothekan kami menjalani tradisi lainnya. Pada siang hari, misalnya, kami adu mercon bumbung sampai sore. Malamnya, sehabis sholat taraweh, anak-anak main petak umpet beregu—istilahnya cece-bence. Imbauan peceramah agar memperbanyak ibadah selama puasa hilang begitu saja saat kaki melangkah keluar masjid.

Kini saya curiga, Ramadhan begitu memancing kenangan dan romantika karena pekatnya tradisi yang menyertai. Sebenarnyalah saya menikmati hal itu. Hanya saja rasa tak berdaya kerap mengusik ketika menyadari justru perhatian kepada tradisi kerap lebih besar ketimbang pada instisari puasa. Bahkan hingga kini.

Tentu saja saya tidak klothekan lagi sekarang. Tetapi, sumpah, saya kerap tergiur memenuhi undangan buka bersama yang datang dari sana-sini itu. Saya selalu suka ber-haha-hihi dengan kenalan atau orang-orang yang baru kenal di acara itu. Saya juga kerap tak kuasa menahan godaan untuk melalap semua acara teve lucu-lucuan yang marak sepanjang Ramadhan dengan iklan super banyak itu. Semua tradisi masa kini itu sungguh menyenangkan hati.

Tetapi setelah semua itu, pada suatu malam, saya kelelahan sendiri di rumah. Lalu malam merambat tua. Sunyi mendaulat sekeliling. Saya belum bisa terlelap ketika sebuah suara --entah dari mana datangnya-- menyapu telinga saya. ”Sudah berapa jauhkah engkau berjalan dari masa kanak-kanakmu? Atau jangan-jangan engkau tak melangkah kemana-mana? Apakah bedanya klothekan yang kau lakukan dulu dengan sibuk wira-wiri kesana-kemari sekarang ini?”

Saya nyaris emosi. Tetapi suara itu terdengar lagi. ”Tak ada yang salah dengan tradisi. Hanya saja engkau gagal meletakkan biji timbangannya dengan tepat.”

Malam itu saya tetap terjaga, hingga seruan imsak berkumandang dari corong masjid...

Monday, August 04, 2008

Pejabat Nglucu

Pelawak sudah tak lucu lagi. Padahal rakyat masih butuh hiburan. Bayangkan, harga bensin naik, listrik byar-pet melulu, para pejabat hobi menilep duit rakyat, jaksa suka main mata dengan makelar suap, dan sebagainya--bagaimana mungkin semua itu tidak membikin kepala dan perasaan rakyat jadi spaning?

Karena para juru hibur profesional sudah kehilangan jurus melucu, posisi itu pun diambil alih pemerintah. Kali ini kementerian lingkungan hidup yang membikin rakyat ngakak. Kantor itu baru saja menobatkan PT Lapindo Brantas sebagai salah satu perusahaan yang mengelola lingkungan dengan baik. Ha-ha-ha!

"Pancen wis wolak-waliking jaman," celetuk kawan saya. Kata dia, lha wong semburan lumpur Lapindo telah membikin enam desa kelelep, 10 ribu rumah ambles, dan menyebabkan ribuan penghuninya jadi pengungsi, kok dianggap mengelola lingkungan hidup dengan baik? "Lelucon wagu!" sumpah serapahnya.

Saya bilang kepadanya, yang dinilai baik itu adalah anak perusahaan Lapindo Brantas yang memproduksi gas, bukan Lapindo yang mengebor itu. Kawan saya malah melotot, "Apa bedanya? Kan pemiliknya sama. Logikamu itu sama saja dengan perumpamaan yang menyebut aku orang dermawan karena tangan kananku suka sedekah, padahal tangan kiriku aktif nilep duit sana-sini--persis hobi para anggota parlemen itu!"

Lalu ia berceramah. Jargon-jargon pro-lingkungan yang dikoarkan pemerintah selama ini, kata dia, hanya omong kosong. Gerakan penanaman sejuta pohon yang dulu di-blow-up media hanyalah pertunjukan teater sesaat. "Tetapi ketika kekuatan modal yang bicara, lenyaplah semua itu," ia mengakhiri orasinya.

Tampaknya ia benar-benar murka. Saya kira ia akan semakin muntap jika melihat kasus di Kulon Progo, Yogyakarta, saat ini. Di sana, para pemodal tengah berusaha mereklamasi pantai Kulon Progo untuk menambang bijih besi.

Itu artinya, akan melenyapkan hampir 3.000 hektare lahan dan gumuk pasir yang dikelola warga. Padahal di sana tumbuh subur tanaman cabai, semangka, jeruk, sawi, terung, kentang, juga padi yang telah menghidupi belasan ribu jiwa di empat kecamatan. Sedangkan gumuk pasir melindungi mereka dari ancaman tsunami.

Penambangan itu tinggal menunggu lampu hijau saja dari Pak Presiden. Saya berdebar menanti: apakah akan ada lawakan besar lain di Kulon Progo? Dan apakah rakyat akan tertawa oleh lawakan itu--atau malah sebaliknya?

Wednesday, June 04, 2008

Bola Sang Alkemis (Menuju Euro 2008)



Tinggal beberapa hari lagi menuju Euro 2008,
perhelatan akbar yang rasanya bakal menjadi
mimpi sejenak bangsa ini seraya melupakan sejuta persoalan. Berikut artikel yang saya tulis berkaitan dengan Piala Dunia 2006 silam.
==================================


Di Fan Fest, dekat Jembatan Brandenburg, Berlin, itu, Paulo Coelho
berdiri takjub. Di hadapan layar raksasa yang menayangkan tarung
duatim, ribuan manusia berbagai bangsa tumplek di sana. Kibasan
berbagai bendera. Koor membahana. Dan, nasionalisme
menggelegak ke udara. “Ini sebuah festival…,” bisiknya pada diri
sendiri. Ia merasakan umat manusia tengah merayakan impian
kolektif dan menitipkannya pada 22 laki-laki yang berlaga di
lapangan.

Impian tentang kemuliaan sebuah bangsa? Tidak, karena Coelho
lalu menyaksikan pendukung tim yang berbeda saling
bergandengan tangan begitu pertempuran usai. Saat itu musik
kembali dimainkan. Fan Fest senantiasa dalam keriaan. Dan,
dia melihat impian anak manusia untuk bisa hidup saling
berdampingan telah dihantarkan sebuah permainan bernama
sepak bola. Tanpa kecanggungan.

Mungkin ia segera teringat Santiago, tokoh utama dalam novelnya
yang menggetarkan, Sang Alkemis. Inilah bocah penggembala yang
memilih berpihak pada mimpi-mimpinya. Bedanya, Santiago
mencarinya dalam pengembaraan sepanjang Andalusia hingga
Mesir—dalam kesendirian. Kepada Santiago ini, Coelho seperti
mecangkingkan mimpinya tentang dunia yang ia harapkan.

Apakah Coelho telah terpilih untuk memberikan kesaksian: sastra
dan sepakbola sama-sama memberikan harapan membuat dunia
menjadi lebih baik? Ini kedengarannya mengada-ada. Uniknya,
Klaus Maine memberikan kesaksian mirip. “Musik dan sepakbola
dapat mengubah dunia. Karena inilah bahasa dunia,” titah vokalis
Scorpions itu.

Sastra lebih dari sekadar bahasa dunia. Dia adalah bahasa
kemanusiaan. Padanyalah harapan paling sederhana dari
kemanusiaan kerap dibisikkan. Ya, karena sastra merawat mimpi
kemanusiaan jauh dari hiruk pikuk. Juga dengan kesabaran.
Dr Zhivago yang ditulis Boris Pasternak, misalnya, baru bisa
dinikmati publiknya sendiri setelah 25 tahun. Nasibnya mirip
tetralogi Pulau Buru.

Beberapa pekan sebelum Piala Dunia dibuka, sebuah simposiom
bertema “Sastra Dunia Jumpa Sepak Bola Dunia “ digelar di Berlin.
Acara yang dihadiri sastrawan terkemuka beberapa negara ini
hendak melacak relasi sastra dan sepak bola dalam merespon jaman.
Hanning Mankell, penulis kondang Swedia, berceloteh, sastra dan
sepak bola berurusan dengan hal sama, yakni konflik, kontradiksi,
solusi. “Sastrawan dan pemain sepakbola harus membuatnya
menarik, agar bisa dinikmati,” katanya.

Menarik atau tidak adalah soal lain. Tetapi misi suci sastra maupun
sepakbola tak bisa dicapai instan. Toh, itu mesti tetap
diperjuangkan. Terngiang kata-kata Santiago,” Kemungkinan
mewujudkan mimpi menjadi kenyataan, akan membuat hidup
lebih menarik.”

Untuk itu Pasternak bersedia menunggu 25 tahun. Dan, sepak
bola bersedia menunggu lebih lama lagi. Lihatlah, Sheffield, klub
sepak bola pertama di dunia itu didirikan pada 1875. Saat itu
pertandingan hanya dimainkan antar sesama angota klub: tim
yang sudah menikah melawan tim para lajang. Atau anggota
yang sudah bekerja melawan pengangguran.

Kini, 131 tahun kemudian, anak segala bangsa saling bertemu di
Jerman untuk merawat persahabatan. Dan, Coelho pelan-pelan
merasa, sang mimpi mulai mengetuk pintu kenyataan. ***

Friday, May 23, 2008

Menghormati Demonstrasi

Gelombang demonstrasi menentang kenaikan harga bahan bakar
minyak yang marak belakangan ini harus dihargai sebagai
konsekuensi demokrasi. Aksi itu seyogianya tidak dihadapi
dengan kekerasan oleh aparat keamanan. Meski demikian,
sudah selayaknya aksi politik ini juga tak mengarah pada
pemakzulan presiden, karena hal itu sudah melenceng dari
koridor demokrasi.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 9/1998, unjuk rasa
merupakan perwujudan kemerdekaan menyampaikan pendapat
di muka umum. Sepanjang kegiatan itu sesuai dengan aturan yang
berlaku, aparat keamanan tak berhak membubarkannya, apalagi
menanganinya dengan kekerasan.

Begitu pula demonstrasi menolak kenaikan harga BBM akhir-akhir
ini. Mereka berpendapat kebijakan pemerintah ini bakal lebih
menyengsarakan rakyat. Pemerintah seharusnya punya opsi lain
untuk mengurangi beban anggaran akibat membengkaknya subsidi.
Pendapat pengunjuk rasa ini harus tetap dihargai dan tak boleh
dilawan dengan senjata.

Maka, ketika dalam aksi unjuk rasa pada 21 Mei seorang mahasiswa
mengalami luka yang diduga berasal dari peluru karet polisi, kasus
ini harus diusut hingga tuntas. Beberapa saksi yang menyatakan
melihat penembakan itu sebaiknya memberikan keterangan resmi
kepada penyidik. Jika terbukti benar telah terjadi penembakan,
sanksi disiplin harus diterapkan sesuai dengan aturan. Saat ini
sudah bukan zamannya lagi cara kekerasan dipilih untuk
meredam demonstrasi.

Imbauan serupa sudah pasti perlu disampaikan pula kepada
kalangan pengunjuk rasa. Akan sangat elok jika dalam melaksanakan
hak demokrasinya tersebut mereka senantiasa menghindari
aksi-aksi yang menjurus pada anarki. Apa yang terekam dalam
kamera televisi, juga foto-foto di media cetak, menunjukkan
sebagian demonstrasi sudah mengarah pada kekacauan.
Keadaan ini hanya akan mengaburkan tujuan unjuk rasa
itu sendiri.

Jangan sampai demonstrasi menjurus pada kerusuhan, apalagi
mengarah pada gerakan menjatuhkan pemerintah. Tinggal
setahun lagi kepemimpinan saat ini menduduki kursinya. Tahun
depan, 2009, negeri ini akan menggelar pemilihan umum guna
menentukan pemimpin periode berikutnya. Mendesak duet
pemimpin sekarang turun dari jabatannya hanya menunjukkan
betapa kebeletnya mereka mendapatkan kursi kekuasaan.

Ada lagi alasan yang lebih mendasar: Susilo Bambang
Yudhoyono-Jusuf Kalla naik ke kursi kekuasaan melalui pemilihan
umum yang demokratis. Mereka adalah pemimpin nasional
pertama di era reformasi ini yang dipilih secara langsung
oleh rakyat. Dengan demikian, menjatuhkan presiden hanya
bisa dilakukan lewat koridor demokrasi yang tersedia. Salah
satunya lewat proses impeachment di Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Itu pun prosesnya panjang dan syaratnya tak gampang.

Yang paling realistis tentu menunggu pemilu tahun depan.
Dan, jika terbukti bahwa kenaikan BBM kali ini menambah
kesengasraan rakyat, sanksi politik masih bisa dijatuhkan
pada pemerintah sekarang. Caranya? Jangan pilih mereka
pada Pemilu 2009.


*) artikel ini --dengan sedikit editing-- dimuat sebagai Tajuk
dalam Koran Tempo, edisi 23 Mei 2008

Monday, May 05, 2008

Antre


Mari kita dengar sambatan Sri Astuti, seorang ibu rumah tangga
di Gunung Ketur Yogjakarta. Setiap sepuluh hari, kata dia,
persediaan minyak tanah di rumahnya sudah ludes. Tapi untuk
menggantinya, bukan soal gampang. ”Harus antre panjang,
mas,” keluhnya.

Hari-hari ini, urusan minyak tanah memang bikin Sri mumet.
Juga Sri-Sri lain di Semarang, Solo, Magelang, Bekasi, Jakarta,
dan kota-kota lain. Minyak tanah seperti siluman. Ujug-ujug ngilang.
Maka titah hukum ekonomi berlaku. Barangnya langka, harga pun
ngelunjak
. Seliter minyak tanah, kini harus ditebus dengan harga
Rp 4 sampai 5 ribu rupiah. Opo tumon?


Sri barangkali tak mampu memahami, bahwa pemerintah tengah
keteteran dipukul harga minyak yang terus melejit. Cadangan emas
hitam ini di perut bumi pun kian tipis. Maka sumber energi lain
mesti dicari. Pilihannya adalah gas.

Lalu masyarakat dipaksa beralih ke bahan pengganti ini.
Caranya? Gerojokan minyak ke pasaran disunat
hingga 50 persen. Gantinya tabung-tabung gas dikirim
ke pelosok kampung. Tapi, ternyata distribusi gas
belum merata, sementara minyak kadung menguap.
Antrean pun mengular dimana-mana. Di Semarang,
bahkan sudah ada yang memakai kayu bakar!

Kaum cerdik pandai menilai tujuan pemerintah bagus.
Tetapi pertanyaannya, kenapa yang paling menanggung
kerepotan adalah kaum-nya Sri itu? Lagi-lagi wog cilik
yang kelimpungan. Pernahkah media menayangkan gambar
antrean orang kaya—dan apalagi pejabat?

”Ah, sampeyan itu nyinyir saja,” celetuk Kang Torik suatu
malam ketika ngancani saya wedangan di Tipes, Solo.
Juragan wartel ini bilang orang kaya juga antre. Begitu
pula pejabat dan anggota parlemen.

”Tetapi tidak antre minyak,” cepat ia melanjutkan omonganya.
Ups! Kalau sudah begini biasanya ia mulai sedikit sengak.
Dia lalu menunjuk mal-mal yang masih ramai sepanjang waktu.
Bahkan, katanya, ada gerai roti yang amat laris hingga
pelanggannya selalu antre. ”Padahal, di sana sepotong roti
hargaya lebih mahal ketimbang seliter minyak!”

Bagaimana dengan pejabat dan wakil rakyat? ”Mereka antre
masuk penjara, karena KPK semakin kereng,” celetuknya
cuek sambil terus melahap sego kucing-nya.

Saya diam saja. Tampaknya negeri ini sudah menjadi negeri antre.
Semuanya antre. Seperti malam itu, saya harus ngantri bakaran kikil
dan tahu bacem yang saya pesan sambil terus mendengar
pidato Kang Torik
.

Foto: ANTARA/MUSYAWIR

Saturday, May 03, 2008

Lembaga Sensor Bukan Jamannya Lagi


Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak pembubaran
Lembaga Sensor Film (LSF) patut disayangkan. Dipertahankannya
institusi yang berhak menggunting sebuah karya kreatif ini
jelas bertentangan dengan semangat demokratisasi yang kini
tengah bergulir. Masih tetap eksisnya LSF juga mencerminkan
bahwa anggota masyarakat dianggap belum mampu menseleksi
sendiri untuk memutuskan mana film yang baik dan buruk.

Keputusan Mahkamah itu ditetapkan dalam sidang pleno uji
materi terhadap Undang-Undang No 8/1992 tentang perfileman
yang diajukan Masyarakat Perfilman Indonesia (MFI). Dalam undang-
undang ini tercantum pasal-pasal tentang pensensoran yang oleh
MFI digugat agar dihapuskan. Menurut MFI, aturan tersebut sangat
otoritarian karena bersifat menekan dan memvonis kepatutan sebuah
film.

Mahkamah menolak permohonan penggugat karena menilai
keberadaan LSF sesuai dengan konstitusional. Namun demikian,
Mahkamah juga berpendapat bahwa UU 8/1992 beserta dengan
LSF sudah tak sesuai lagi dengan semangat zaman. Tampaknya
Mahkamah memilih jalan aman dengan mengambil keputusan
”banci” semacam ini.

Secara ringkas Lembaga Sensor Film dibentuk untuk menjaga agar
karya film tetap bersifat edukatif dan sesuai dengan nilai budaya
bangsa. Sebuah film juga diharamkan menerabas ketertiban umum
dan rasa kesusilaan. (Pasal 3 dan 4). Untuk kepentingan itulah LSF
diberi wewenang menggunting, menolak, atau meloloskan sepenuhnya
sebuah karya sinema.

Wewenang yang demikian besar itu menurut kalangan pembuat
filem merupakan bentuk upaya pemasungan kreatifitas. Adapun
sebagian masyarakat menilainya sebagai monopoli tafsir terhadap
sebuah karya kreatif. Bagaimana tidak, sebuah film yang dibuat
dengan mengerahkan segala sumber daya materi dan kreatifitas,
dengan gampang dapat digunting begitu saja --bahkan ditolak--
jika tak sesuai dengan penilaian dan ”selera” LSF.

Dengan kewenangan itu pula LSF kerap menjadi alat perpanjangan
kekuasaan. Tak sedikit film yang dianggap kritis terhadap
kekuasaan diganjal peredarannya kepada publik, seperti Djakarta 66
atau Max Havelaar. Masyarakat pun terampas haknya menonton
film-film bermutu dan mencerahkan.

Sepanjang undang-undang yang memungkinkan sensor ini menjadi
legal, selama itu pula ancaman terhadap kebebasan berkarya terus
mengintai. Sepanjang itu pula masyarakat tak memiliki kebebasan
memilih sendiri karya sinema yang ingin ditontonnya. Keadaan
semacam ini mesti diakhiri—salah satunya dengan pembubaran LSF.

Bukan berarti menghapus lembaga sensor ini sama sekali akan
membebaskan sebuah film terjun bebas ke tengah masyarakat.
Usulan mengganti LSF dengan sebuah sistem klasifikasi film layak
didukung. Sistem ini akan memberi sejenis label kepada produk
film mengenai tingkat kekerasan, kadar adegan seksual, juga
kepekaan terhadap isu sensitif seperti agama atau ras. Dengan
demikian masyarakat akan mendidik diri sendiri film manakah
yang ia (dan keluarganya) layak untuk ditonton.

Akhirnya, konklusi Mahkamah Konstitusi bahwa UU perfilman
saat ini tak sesuai lagi dengan semangat zaman, selayaknya menjadi
pesan agar undang-undang yang baru segara digodog DPR. Sekarang
menjadi tugas MFI dan masyarakat untuk mendesak parlemen
segera menuntaskan kerjanya tersebut. Proses di parlemen itu pun
juga harus dikawal agar hasilnya tak mencederai semangat
demokratisasi.

*) tulisan ini dimuat di Koran Tempo edisi Sabtu 3 Mei sebagai Tajuk

*) foto di atas adalah salah satu adegan dari film Max Havelaar.

Sunday, April 27, 2008

Berjalan Bersama Karl May


Saya sudah merasa begitu lelah, padahal padang ilalang ini begitu
luasnya. Matahari jam 2 siang sebenarnya tak begitu menyengat.
Tetapi bersepeda sejak pagi tadi menjelajahi kampung-kampung
di pinggiran Bekasi yang lumayan perawan ini cukup menguras
tenaga.

Sambil menarik nafas berat, kujatuhkan pandanganku ke garis
horison yang dibatasi gerumbul-gerumbul semak. Betapa masih
jauhnya aku dari tujuan akhir--sebuah tempat belasan kilometer
di balik semak itu. Kuatkah mencapainya? Keletihan ini
sebenarnya cukup menjadi alasan untuk menghentikan ”petualangan”
kecil itu.

Tetapi di padang ilalang, di bentangan luas alam ini, dengan embusan
angin yang mengusap wajah, dan suara lirih serangga serta burung-
burung di indera pendengaran, tiba-tiba melemparkan anganku
ke padang-padang prairi yang digambarkan dalam buku-buku
Karl May. Ya, buku-buku lawas terbitan PT Pardnya Paramita
yang belakangan kubuka kembali–setelah sekian lama semedi
di rak. Khayalan Karl May tentang Barat-Liar (wild west) di
lembaran-lembaran kertas buram itu, kini tiba-tiba terbentang
di depan mata kepalaku. Demikian nyata dan menakjubkan.
Uf!

Sudah kepalang basah. Mumpung tengah di padang prairi,
sekalian saja kubayangkan diriku sebagai Old Shatterhand
dan sepeda gunung yang kutunggangi ini sebagai Hatatitla,
kuda tungangan pemburu masyhur itu. Sementara di depan,
seorang teman yang sudah lebih dulu melaju kuanggap saja
ia sebagai Winnetou, Ketua Suku Apache, sahabat sejati Old
Shatterhand. Dengan imaji dadakan itu, kuempos sisa tenagaku
melintasi ”padang perburuan” ini.

Memang menakjubkan. Setelah membacanya pertama kali
sejak masih bocah puluhan tahun silam (saat itu masih SD),
hari-hari ini masih saja aku terpukau menyimak kembali
serial petualangan Old Shatterhand dan Winnetou. Daya pukau
itulah yang terus mengendap di dalam diri, dan sewaktu-
waktu ”terpanggil” keluar di saat yang tepat. Kali ini ia
keluar untuk membakar semangatku hanya dengan
membayangkan diri sebagai tokoh dalam karangan
Karl May itu.

Sungguh, tak banyak buku yang menyimpan daya pukau
demikian langgeng seperti karya si tukang dongeng dari
Jerman tersebut. Tentu saja hal semacam ini begitu personal
sifatnya. Dus, setiap orang sah belaka memiliki buku yang
mempengaruh dirinya. Bagi saya aksiomanya sederhana saja:
buku yang setiap kali membacanya –di masa yang berbeda—
selalu memberikan tambahan pengalaman dan pemahaman
baru, pasti memiliki kemampuan sihir tersebut. Dan, Karl May,
lewat petualangan kedua pemburu kenamaannya di daerah
Barat-Liar itu, menyimpan sihir demikian berlimpah.

Sebagai bocah tanggung yang keranjingan kegiatan alam bebas,
waktu itu saya menangkap sisi terpenting buku Karl May adalah
aksi-aksi petualangannya. Membaca jejak, menfsir isyarat asap,
mengintai musuh, merayap hati-hati, membaca arah angin
menghindari endusan lawan, membidik musuh dalam posisi
seolah sedang tidur terduduk, dan aksi-aksi lainnya sungguh
mengumbar imajinasi petualangan remaja tanggung.

Terinspirasi Old Shatterhand, suatu malam saya pernah
melemparkan pisau belati ke arah kelebat sebuah bayangan
saat berkemah Pramuka. Tetapi lalu saya menahan malu, ketika
bayangan yang saya kira seekor kelinci itu cuma selembar tas
plastik kresek dihembus angin dalam kegelapan.
Pshaw! Old Shatterhand pasti akan terkekeh melihat ulah saya
yang bahkan lebih bodoh dari greenhorn (plonco) di padang
prairi itu. Saya kira, saya juga tak akan berani menatap mata
kedua putra Kepala Suku Mimbrenyo yang berusia belasan
tahun, tetapi mampu mendapatkan nama harumnya lewat
serangkaian tindakan gagah itu. Uf! Uf!

Imaji petualangan bebas semacam itu masih menetap hingga
kini. ”Metamorfosis” dari seorang penunggang sepeda gunung
amatiran menjadi Old Shatterahand seperti cerita di atas, jelas
munujukkan hal itu. Tetapi, waktu telah berbaik hati agar saya
tak terjebak hanya menjadi pengagum yang kenes. Membaca
ulang beberapa buku Karl May, akhirnya juga memberikan
”sandaran ideologis” atas kegemaran-ku keluyuran di alam
bebas. Dan, itu baru saya pahami belakangan ini.

Karl May meletakkan dasar-dasar ideologis itu, antara lain, lewat
ucapan sahabat Old Shatterhand, Dick Hammerdull (dalam
episode ”Gunung Setan di Rocky Mountains”). Ia mengatakan,
”Tuhan sudah menyediakan musik alam bagi yang mau
mendengarkan, yaitu desir angin dan suara lembut rimba
raya.” Kata sakti dari kalimat itu adalah ”mau mendengarkan”.
Menurut anda apakah para cukong besar yang dibeking
aparat resmi dan lalu tega membantai hutan-hutan di
Kalimantan, Sumatera, Papua, dan lain-lain itu bersedia
mendengar suara alam? Demi Manitou yang agung, pasti indera
pendengaran mereka tuli dari suara-suara alam itu.

Kalimat Hammerdull itu memang sangat ringkas. Tetapi aku
yakin, dengan sebuah eksplorasi intelektual yang tak terlalu
berat, titah pendek Karl May itu bisa dibangun menjadi sebuah
rumusan ideologi yang paten. Mohon maaf, aku mungkin tak
mampu membangun rumusan dimaksud. Tetapi kebenarannya
sudah telanjur kuyakini. Jelek-jelek, aku telah mendaki beberapa
gunung di Pulau Jawa. Menyusuri arus liar sungai di Jawa Barat.
Juga akhir-akhir ini bersepeda blusukan ke kampung-kampung
yang jauh dari kota. Mengalami itu semua, hanya kebenaran
belaka yang kujumpai dalam ”sabda” Karl May tersebut. Dan
untuk itu saya tak keberatan menjura kepadanya.

***

Karl May di paruh terakhir tahun 2000-an ini, adalah Karl May
yang mengajarkan humanisme dan egalitarian kepadaku. Ia
mengajarkan itu di tengah perjalanannya ke Llano Estacado,
hinga disela perseteruannya dengan Mustang Hitam sang
Kepala Suku Comanche yang bengis. Ia berpidato tentang
semua itu dalam pembacaan ulangku terhadap serial buku
yang halamannya mulai menguning itu.

Semula, belasan serial Old Shatterhand edisi lama itu saya beli
untuk anakku. Lama sekali buku-buku itu membeku di rak, karena
anakku belum juga mau menyentuhnya. Dan saya sendiri merasa
terlalu jumawa untuk membacanya lagi karena merasa sudah
menguasai seluruh jalan cerita. Tetapi sebuah rasa bosan –
bingung mau baca apa--, membuat tanganku begitu saja meraih
”Mustang Hitam”. Lalu aku berkenalan lagi dengan dua bersaudara
Timpe, Hobble-Frank, Bibi Droll, Ik Senanda, Tokvi Kava, dan
tentu saja sepasang sahabat abadi Old Shatterhand dan Winnetou.
Halaman-halaman pertama buku ini langsung menyuguhkan
interaksi tokoh-tokoh berbagai kebangsaan dan etnis: kulit putih,
Jerman, Mestis (blasteran Indian-Kulit Putih), Cina, dan
sebagainya.

Rasanya ini memang khas Karl May. Berbagai etnis dan suku
bangsa juga muncul di judul-judul lainnya. Pada episode
”Menuju Daerah Silver Lion” bahkan muncul tokoh yang bernama
Dshafar, seorang Parsi beragama Islam. Dengan menciptakan
wakil dari berbagai bangsa itulah Karl May ”berpidato” soal
humanisme dalam kemasan kisah petualangan yang mempesona.

Mari kita dengar beberapa petikan ajarannya. Bagi Karl May
ukuran yang membedakan satu dengan lain orang adalah kejujuran.
Suatu saat Old Shatterhand mendatangi sebuah perkemahan
pekerja pembuat rel kereta api di Firewood. Kepala perkemahan
yang takjub dengan kemasyhuran Shatterhand memohon dia
tidak duduk di ruangan yang sama dengan pekerja. ”Di daerah
Barat ini orang yang jujur berdiri sama tegak,” kata Shatterhand
menolak permintaan itu.

Salah satu titah humanisme ajaran May adalah setiap orang berhak
menghargai hidup—bahkan bagi bajingan paling bengis sekalipun.
Old Shatterhand, misalnya, tiga kali melepaskan Old Wabble,
musuh beratnya dalam ”Gunung Setan di Rocky Mountains”,
yang sejatinya layak dihukum mati. Menurut Shatterhand,
bagi orang macam Wable itu hidup atau mati sama saja.
”Tapi akan saya beri kesempatan dia untuk merasakan,
bahwa tiap detik hidupnya di dunia ini masih ada harganya.”

Bagi May, kejahatan atau kebaikan tidak bergantung pada warna
kulit. Tokoh yang super jahat, dan sebaliknya tokoh baik, bisa
datang dari mana saja. Stereotip bahwa Indian adalah kejam,
buas, dan biadab, dilumerkannya dengan elegan. Kompleksitas
tokoh-tokohnya dengan serta merta telah mementahkan kalimat
beracun yang kerap muncul dalam komik-komik dan film koboi
rasis, “Indian yang baik, adalah Indian yang mati.”

Tetapi sesungguhnya pesan persamaan paling memikat yang
disampaikan Karl May, bagi saya, ditunjukkan dalam jalinan
persahabatan Old Shaterhand dan Winnetou sendiri. Kedua
orang ini digambarkan demikian satu hati dan jiwa, hingga
hanya dengan saling memandang saja sudah memahami pikiran
masing-masing. Maka, mereka adalah tunggal. Old Shatterhand
adalah Winnetou. Kulit putih adalah kulit merah. Dan sebaliknya.
Mereka tak berbeda.


***

Hari-hari ini dengan rasa bergetar aku masih terus menuntaskan
judul-judul yang tersisa. Dari ”Raja Minyak”, lalu ”Winnetou Gugur”
yang membuat ait mata ibuku menitik saat membacanya,
hingga ”Mohawk Yang Terakhir”. Aku begitu bergairah untuk
menyerap hal-hal baru dalam berbagai kisah petualangan itu.

Jika oleh karena kualitas editing dan penerjamahan ala
kadaranya membuat buku-buku lawas itu sulit masuk kategori
sastra, hal itu dengan gembira kuabaikan. (Pshaw!, aku jadi ingat
sikap kekanakan para priyayi sastra Indonesia yang enggan
membaca ”Ayat-Ayat Cinta” karena mereka menganggap novel
itu bukan sebuah karya sastra. Katanya, sastra harus menunjukan
eksplorasi bahasa yang dahsyat). Entah kenapa, penerjemahan
yang lugu, dan plot cerita yang cenderung lurus, tak mengurangi
keasyikanku menjelajahi makna ”ajaran” Karl May.

Dengan rasa bergetar macam itulah terus kukayuh sepeda
gunungku menjangkau tepi-tepi savana. Hari sudah semakin sore
ketika itu. Langit berwarna tembaga di beberapa sudut. Menara
Telkom di kejauhan itu, ingin sekali kulihat sebagai isyarat asap
dari saudaraku Winnetou, bahwa tujuan kami sudah dekat dan
segera berakhir.

Tetapi lalu aku berfikir, bagi seorang pejalan, benarkah setiap
perjalanan akan menemukan akhir? Benarkah pembacaan ulang
atas buku-buku hebat akan usai di halaman terakhir? Aku tak
tahu. Tetapi kukira saat menjalani semua itu pasti akan
mengasyikan.

Aku yakin, sesiapa orang berhak merasakan bahwa setiap
detik dalam perjalanan (hidup) nya selalu memiliki harga.
Howgh!

*) foto diambil dari videowatch.blogspot.com

Monday, April 21, 2008

Partai Politik Intimidasi KPK

Serangkaian penangkapan yang dilakukan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) terhadap beberapa anggota Dewan Perwakilan
Rakyat menyulut ketidaknyamanan sebagian anggota parlemen.
Salah satunya tercermin dari pernyataan Ketua Fraksi Partai
Golkar, Priyo Budi Santosa, yang bernada ancaman terhadap
komisi. Sebuah reaksi yang sesungguhnya tak pantas muncul
dari seorang wakil rakyat. Respon semacam itu juga berpotensi
menghambat gerakan penumpasan korupsi.

Mulanya adalah gebrakan Komisi yang menahan Hamka Yamdhu,
anggota Fraksi Partai Golkar. Dia disangka terlibat kasus aliran
dana Bank Indonesia ke anggota DPR. Antony Zeidra Abidin,
mantan anggota DPR dan sekarang Wakil Guberur Jambi, juga
dicokok.

Priyo pun memperingatkan Komisi agar tak "memainkan" kasus
yang melilit dua kader partainya itu. Jika itu dilakukan,
"Saya kuatir ada arus balik," katanya. Sulit menghilangkan kesan
bahwa ucapan itu bernada ancaman.

Apakah yang dia maksud dengan kata "memainkan" dan
"arus balik"? Jika yang dimaksudkan "memainkan" adalah
mempolitisasi kasus, Priyo harus punya indikasi kuat KPK
bermain politik.

Kenyataannya, dalam berbagai kasus yang ditangani sebelum ini,
Komisi memiliki bukti kuat sebelum menetapkan seseorang
sebagai tersangka dan menahannya. Bahkan, terkait dengan Hamka
serta Antony, Komisi terkesan lamban menahan mereka--selang
waktunya cukup jauh dengan momentum penahanan tiga mantan
petinggi Bank Indonesia yang terbelit kasus sama. KPK beralasan
perlu mengumpulkan bukti lebih dulu.

Sejatinya sulit menemukan petunjuk KPK telah bermain api. Maka
tak ada alasan pula mengira bakal ada "arus balik" seperti dinyatakan
Priyo. Kecuali jika hal itu memang sengaja akan dilakukan.

Solidaritas yang ditunjukkan Priyo itersebut bukan yang pertama
terjadi di parlemen. Ketika Al Amin Nasution, anggota Fraksi Partai
Persatuan Pembangunan, lebih dulu ditangkap komisi, koleganya
ramai-ramai membela.

Al Amin diduga menerima suap dari Sekretaris Daerah Bintan
untuk memuluskan alih fungsi lahan hutan lindung. Tetapi
kawan-kawannya menunjukan versi masing-masing tentang
uang yang ditemukan bersama Al Amin tersebut. Intinya mereka
menyatakan itu bukan uang suap.

Praktek korupsi sudah dianggap kejahatan luar biasa di negeri ini.
Maka untuk menumpasnya ditetapkanlah sebuah payung hukum
berupa Tap MPR No 11/1998. Payung hukum ini mewajibkan
penyelengara negara, termasuk DPR, membebaskan diri dari
praktek korupsi, kolusi, dan, nepotisme. (Pasal 2)

Maka sulit dipahami ketika seorang anggota parlemen ditahan KPK,
muncul upaya-upaya menghambatnya. Sedangkan, institusi KPK
sendiri dibentuk atas perintah Tap MPR tersebut.

Alih-alih, DPR lewat Badan Kehormatan, mestinya bertindak
tegas terhadap wakil rakyat yang megkhianati amanat tersebut.
Dan partai politik yang menjadi "rumah' politisi bersangkutan
dituntut bersikap serupa. Misalnya me-recall anggotanya dari
parlemen--dan bukan membabi-buta membelanya.

Diyakini, perjuangan KPK yang menjadi garda depan
pemberantasan korupsi amat berat. Berbagai tekanan, termasuk
pressure politik seperti di atas, akan selalu (dan terbukti sudah) ada.
Untuk menghadapinya, langkah komisi menjalin kemitraan
dengan berbagai elemen masyarakat, seperti sudah dilakukan
dengan grup Slank baru-baru ini, perlu diperluas dan diintesifkan.
Biarlah jika tekanan (politik) seperti itu muncul lagi, para penekan itu
akan berhadapan dengan rakyat.

Saturday, April 05, 2008

Teh Menjadi Pahit

Jenuh, sumpeg, bosan, itu biasa. Apalagi kalau penyebabnya
cuma rutinitas kerja. Untuk mencairkannya pun gampang.
Sekedar leyeh-leyeh di teras sambil nyruput teh manis anget
di sore yang cerah.

Cara lain yang murah, segera ambil sepeda pancal dan cari angin
keliling komplek rumah. Ini sehat dan tak bikin polusi. Boleh juga
sesekali ke bioskop, asal jangan nonton film horor yang bikin
mangkel itu.

Tapi bagaimana kalau rasa bosan itu disebabkan sesuatu yang
absurd? Inilah yang lagi saya alami. Abdsurditas yang saya
maksud itu berasal dari sebuah gedung ”menyeramkan” di
kawasan Senayan, sana. Tepatnya gedung DPR. Ya, para
anggota parlemenlah yang lagi bikin bosan saya!

Bayangkan, masak warga yang terhormat ini masih saja
memelihara hobi gemar menerima suap. Ada dokumen yang
disiarkan Koran Tempo. Isinya daftar anggota DPR yang plesiran
ke luar negeri dan dibiayai Bank Indonesia. Bahkan ada yang
minta istrinya pun didanai dan di-sangu-in. Yok opo rek?

Nama yang tedaftar ternyata masih sak-ombyok. Banyak
perjalanan wakil rakyat ke daerah juga ditanggung Bank
Sentral. Juga ada acara-acara silaturahmi dan buka puasa
bersama, njupuk dari brankas BI.

Ini sungguh membosankan. Karena semua kegiatan tersebut
terjadi pada wakil rakyat era reformasi ini. Juga ditengah
gencarnya pemeriksaan skandal BI jilid 1. Inilah skandal
penggelontoran dana BI untuk DPR pada periode
2003-2004.

Lumrah, kali ini bukan saja rasa bosan yang menyergap.
Tetapi ditambah mangkel, jengkel, geram, marah, dan
nelongso. Kok ya tega-teganya orang-orang kaya itu
mau menerima –dan meminta— duit yang bukan hak-nya?

Saya nelongso karena lalu kelingan para sedulur
korban lumpur Lapindo. Juga teringat robohnya
sebuah gedung sekolah di Jawa Barat (dan banyak
gedung sekolah di pelosok dengan kondisi mengenaskan).
Saya belum lupa dengan seorang ibu hamil yang
meninggal karena dirajam kemiskinan—dan faktanya jumlah orang
miskin memang semakin banyak saja.

Mengingat semua itu, dan melihat kelakuan para
wakil rakyat ”kita”, teh yang saya minum tiba-tiba
berasa pahit.

Saturday, March 29, 2008

Fitnah dalam Fitna

Sebuah film yang sejak jauh hari disarankan untuk tidak
diputar, akhirnya tayang di jaringan internet. Film berjudul
Fitna karya Geert Wilders itu berisi hujatan terhadap Islam
dan kitab suci Al Qur'an. Pemerintah Indonesia segera
mengeluarkan kecaman keras atas penayangan tersebut.
Reaksi ini cukup mewakili perasaan Umat Islam Indonesia
yang terluka.

Fitna yang berdurasi sekitar seperempat jam ini berisi kompilasi
potongan adegan kekerasan, antara lain teror 11 September
dan pemenggalan kepala seorang sandera kelompok tertentu,
yang oleh pembuatnya dikaitkan dengan Islam. Film ini juga
mengutip potongan ayat-ayat Al Qur'an yang oleh Wilders
dianggap menyaran-kan kekerasan dan terorisme. Dengan
demikian film yang sama sekalitak bercitarasa seni ini lebih
tepat disebut dokumentasi berbagai peristiwa yang dimaksudkan
untuk menimbulkan citra negatif terhadap Islam dan Al Qur'an.

Sebelum ditayangkan lewat internet, Wilders sudah kesulitan
memutar Fitna di negerinya sendiri, yakni Belanda. Anggota
parlemen dari Partai Kebebasan ini tak berhasil membujuk
pengelola stasiun televisi setempat untuk memutar filmnya.
Pemerintah Belanda pun sudah mendesak agar dia tak
meneruskan rencananya. Bahkan, ketika film ini direncanakan
untuk ikut sebuah festival, pemerintah Belanda melarangnya.

Akhirnya, situs http://www.liveleak.com/ bersedia menayangkan
film kontroversial itu sejak 28 Maret. Dan galibnya karakter di
dunia maya, film itu dengan cepat menyebar ke berbagai penjuru
dunia.

Mudah ditebak, reaksi keras segera bermunculan dari dunia Islam.
Kecaman datang, antara lain, datang dari Bangladesh dan Iran.
Negeri para mullah ini bahka mengancam akan memutus hubungan
diplomatiknya dengan Belanda.

Pemutaran Fitna ini mengingatkan pada pemuatan kartun Nabi
Muhammad SAW di koran-koran Denmark beberapa waktu silam.
Kartun yang menggambarkan Muhammad SAW sebagai teroris itu
dimuat hingga dua kali. Pertama, kartun itu dimuat koran Jyllands-
Posten pada September 2005. Kartun itu kembali dimuat pada
Februari 2007 di lebih banyak media. Dalam kedua pemuatan itu,
umat Islam dunia bereaksi keras.

Muncul kesan kuat tampaknya penayangan Fitna dan pemuatan
kartu nabi itu dimaksudkan untuk memancing kemarahan umat
Islam dunia. Upaya yang bertubi-tubi semacam itu berpotensi
meruncingkan hubungan umat Islam dengan penganut agama lain.

Pemerintah Indonesia menyebut penayangan Fitna sebagai upaya
menghambat proses dialog antar keyakinan di tingkat internasional.
Anggapan semacam ini bukan hanya milik Indonesia. Terbukti Uni
Eropa pun mengeluarkan kecaman terhadap Wilders dan Fitna.

Menyadari film ini hanya alat provokasi, umat Islam Indonesia
selayaknya tidak terpancing emosi. Harus dihindari merespon Fitna
dengan aksi kekerasan. Sebab jika itu dilakukan, justru hanya akan
memperkuat citra negatif yang diumbar dalam Fitna dan kartun nabi.

Alih-alih, umat Islam bisa meresponnya secara elegan dan dewasa guna
meruntuhkan citra buram yang selama ini melekat. Tampaknya,
organisasi- organisasi Islam bisa mengambil peranan strategis untuk
meredam kemarahan umat.

Di tingkat internasional, keterlibatan organisasi Islam Indonesia
dalam proses perdamaian dunia sudah saatnya ditingkatkan. Selain
untuk tujuan damai itu sendiri, langkah tersebut akan menegaskan
pesan Islam akan kedamaian. Dengan cara demikianlah provokosi-
provokasi ala Fitna akan rontok dengan sendirinya.

*) naskah ini dengan sedikit editing dimuat sebagai tajuk dalam
Koran Tempo edisi 29/03/08 dengan judul:
Bersikap Elegan Terhadap Fitna

Monday, March 17, 2008

Sebuah Sore Bersama Scott HT


”Sendiri saja pak?” tanya mas Joko Thor begitu saya turun dari sepeda persis di depan rumah. Keringat belum lagi kering setelah sekitar 1,5 jam
saya nggowes. Tetapi tentu saja saya senang bisa ngobrol dengan tetangga.

Hanya satu kalimat saja pertanyaanya. Tapi dari sorot matanya tampak ia meyimpan beberapa pertanyaan lain. Kayaknya, sih, demikian...
Tapi saya maklum. Saat itu sudah menjelang maghrib ketika saya baru nyampai. Bukan waktu yang lumrah untuk nggowes. Ngapain nyepeda sore-sore? Sendirian lagi. Kira-kira demikian keheranan Mas Joko dalam terawangan saya--pada saat senjakala begini, indera keenam saya memang lagi tajam-tajamnya.

Alasan saya sih sederhana. Minggu pagi tadi tak sempat nggenjot karena ada
acara. Maka sore sekitar pukul 16.15, Scott Hardtail kukeluarkan dari
parkirannya. Apalagi cuaca lumayan mendukung. Hujan yang beberapa hari
terakhir menyerbu bumi, sore ini absen.

Di sepanjang ruas jalan depan rumah, anak-anak gembira bermain menikmati
sore. ”Hm, nikmatilah masa kanak-kanakmu sepuasnya, nak. Dan biarkan orang
tua ini ikut mencicipi sore yang cerah dengan pit-pit-an...,” kataku dalam hati
seperti dialog-dialog dalam pertunjukan teater pas bandrol itu.

Saya memutuskan tak akan masuk ke singletrack. Kalau terjadi apa-apa, bakal
repot. Maka keluar dari komplek Graha Harapan saya menyusuri jalan aspal
ke arah Ciketing. Aspal? Ya, demikianlah formalitasnya. Tetapi kalau ada kerbau
berkeliaran di sini pasti akan menemukan surganya. Makhluq mamalia itu punya
banyak pilihan untuk berkubang.

Melihat parahnya kerusakan di sini, jalan aspal ini saya usulkan dialihkan fungsikan
saja untuk tempat bercengkerama kerbau! Hahaha...!

Tapi "syukurlah" jalanan hancur ini bukan hanya ada di sini. Hampir di seluruh
Bekasi sangat sulit untuk mencari jalan yang 100% mulus. Dan syukur pula hal
semacam ini tidak dianggap sebagai masalah serius oleh Pemrintah Kota Bekasi,
sehingga jalan hancur-lebur benar-benar dilestarikan di wilayah ini.
Terima kasih, Pak!

Sampai di pertigaan Ciketing, saya berbelok ke kiri. Biasanya saya menyusuri
jalan yang menghubungkan Bantargebang-Setu ini dari arah berlawanan.
Tetapi biarlah sore ini saya akan membuatnya berbeda. Tetapi apa bedanya
jika di jalur utama semacam ini, seepda tetaplah dianggap sebagai moda angkutan
kelas sudra?

Dari arah belakang, klakson mobil, truk, dan sepeda motor silih berganti
meminta kita minggir. Dari arah depan mereka akan merampas jalur kita
jika kebetulan melewati jalan yang –lagi-lagi— amburadul. Sungguh, tidak
ada tenggang rasa sedikit saja. Saya yakin, jika pengendara semacam itu
diberi kesempatan berkuasa dia akan jadi tukang serobot apapun.

Tetapi saya cuek. Sore begitu cerah, dan saya tak ingin merusaknya dengan
larut dalam emosi. Saya menikmati goesan sekayuh demi sekayuh. Angin,
panorama sekitar, langit yang mulai merah tembaga di beberapa tempat, dan
seluruh sketsa alam karya Sang Pelukis Agung ini ingin saya resapkan ke seluruh
pori-pori tubuhku. Ah, tetapi kenapa orang-orang itu selalu terburu-buru seolah
waktu tak pernah cukup?

Sampai di warung Sengon tempat para Gragoters (dulu) biasa rehat, saya
belok kiri memasuki jalur asam urat. Begitu masuk kampung, seluruh hiruk-
pikuk seperti raib begitu saja.

Tak ada yang berubah dari kawasan ini. Tetapi melintasinya menjelang sore,
rasanya sedikit lain. Karena rimbunnya pepohonan di halaman rumah dan
pinggir jalan, beberapa sudut tampak lebih gelap dari yang lain. Waktu kecil dulu
di kampung, saya selalu merasa ada misteri di tempat-tempat semacam itu.
Kini saya mengenangnya di atas sadel yang melaju pelan—gir depan dan belakang
di paling rendah. Toh, misteri itu masih terasa juga kini.

Jalur asam urat ini terus membawa saya ke arah Danau Cibereum. Dan, eits,
di sebuah warung menjelan tembok Danau Ciberueum, tampak beberapa
perempuan berdandan menyolok lagi asyik main kartu di bagian depan.
Saya hanya melirik sekilas, tetapi merasa pandangan mereka membuntuti saya.

Apakah mereka ini, ah...., saya tak berani melanjutkan fikiran saya.
Dan setelah melewati trek tanah yang super becek, tiba-tiba saya sampai
di lokasi perumahan elit yan tengah giat dibangun: Grand Wisata. Inilah
kawasan real-etstate yang paling hot di Bekasi saat ini. Sebuah kawasan
ribuan hektar yang melahap lahan sawah, kebub karet, padang ilalang,
dan perkampungan.
”Beberapa keluaga di kampung Kopen sudah mula
pindah,” kata seorang remaja yang tengah duduk di tumpukan lembaran
beton pinggir jalan. Ia bersama dua temannya menikmati sore seraya
memandang kampungya di seberang danau. Apakah yang tengah mereka
pikirkan? Saya tidak tahu.

Setelah itu saya memacu Scott saya membelah komplek dan melewati
beberapa cluster: East Esplanade, Garden Fiesta, Festive Garden, dan....
saya tak ingat lagi nama-nama aneh itu. Jalanan di komplek ini semua mulus.

Konstruksi unit rumah begitu menawan. Setiap cluster haya memiliki satu
pintu dengan tembok besi nan menjulang. Saya ikut bahagia, karena pasti
mereka yang tinggal di kawasan kemilau ini pasti juga orang-orang yang
bahagia.

Begitu keluar komplek impian ini, saya kembali mendapati Real-Bekasi.
Jalanan hancur lebur seperti habis perang dunia, kendaraan motor saling
berebut akses, pejalan kaki tak punya jalur khusus, wajah-wajah miskin
senyum seperti diburu setan bernama waktu, dan semacam itulah...

Scott saya gowes di antara seluruh carut-marut itu. Nafas memburu. Emosi
mulai mendidih. Sepedaku berzig-zag diantara kecamk lalu-lintas tak beraturan
sore itu. Secara tak sadar, ternyata saya sudah larut di dalam belantara yang
sudah tak mengindahkan aturan itu.

Ah, apakah akhirnya kita memang tak bisa mengelak dari arus besar
ketergesaan semacam ini? Saya sampai di Graha Harapan sekitar pukl 17.45,
dan datanglah sapaan itu, ”Sendiri saja, Pak?”

Kini, saya tahu, saya tak sendiri dalam gerusan arus jaman yang serba terburu ini