Tuesday, December 15, 2009

Keadilan Untuk Prita

Keputusan Rumah Sakit Omni Internasional mencabut gugatan perdatanya atas Prita Mulyasari tanpa syarat, adalah merupakan kemenangan publik. Keputusan ini selayaknya juga berdampak pada pengadilan pidana yang tengah dijalani Prita Mulyasari di Pengadilan Negeri Tangerang.

Pencabutan gugatan perdata itu dilakukan Rumah Sakit Omni setelah merasa tertekan atas gerakan publik yang membela Prita Mulyasari. Mereka berharap langkah ini bisa mengakhiri persoalan yang sudah berlangsung lebih dari setahun ini.

Prita dituntut secara perdata dan pidana oleh RS Omni setelah menulis keluhan atas buruknya pelayanan kesehatan yang ia terima. Keluhan lewat fasilitas surat elektronik kepada beberapa teman dekatnya itu kemudian meluas, dan memicu rumah sakit mengambil langkah hukum.

Akibatnya, Prita Mulyasari sempat mendekam di penjara selama sekitar satu bulan. Pengadilan perdata kemudian memvonis Prita bersalah dan mendenda ibu dua anak ini Rp 204 juta. Sedang, pengadilan pidananya kini tengah berlangsung.

Proses hukum yang dinilai sewenang-wenang itu telah mengoyak rasa keadilan masyarakat. Prita yang hanya mengeluhkan tak terpenuhinya hak-hak dia sebagai konsumen, di mata khalayak telah didzalimi. Prita lalu dianggap sebagai simbol perlawanan wong cilik yang selama ini selalu dikalahkan ketika melawan kekuatan modal dan kekuasaan di pengadilan.

Aksi terakhir yang menggetarkan adalah sebuah gerakan mengumpulkan uang recehan guna membayar denda Rp 204 Juta itu. Hampir seluruh lapisan masyarakat di penjuru tanah air terlibat dalam gerakan yang dinamakan Koin Keadilan untuk Prita ini. Mulai dari kaum pemulung hingga pekerja kantoran menghimpun koin demi koin yang mereka miliki. Hasilnya: lebih dari Rp 150 juta sudah terkumpul.

Apa yang terjadi pada masyarakat itu menyiratkan satu hal, bahwa kesadaran hukum mereka semakin tinggi. Dan lebih dari sekadar sadar hukum, publik kini juga berani bertindak nyata jika melihat hukum mulai diperkuda kekuasaan atau kekuatan uang. Mereka tak lagi diam membeku seperti selama ini terjadi.

Saluran untuk melakukan perlawanan itu kian terbuka, salah satunya, oleh peranan media yang gencar menyiarkan ketidak adilan tersebut. Dan, tentu saja, kehadiran medium internet yang efektif dalam memobilisasi dukungan tak bias diabaikan. Kebangkitan publik semacam ini tak seharusnya diremehkan institusi pengadilan. Begitu pula pihak-pihak yang selama ini merasa bisa menunggangi peradilan untuk kepentingan sendiri. Publik kini akan selalu mengawasi, apakah peradilan sudah berjalan pada jalur yang benar. Orang-orang seperti Prita tak akan pernah dibiarkan sendirian lagi.

Sudah saatnya pula insitusi penegak hukum bertumpu pada keadilan substanstif dalam menjalankan tugasnya. Telah terlalu banyak korban berjatuhan, selain Prita Mulyasari, hanya karena penegak hukum berkukuh pada proses hukum formal. Apa yang terjadi pada dua petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bibit Waluyo dan Chandra Hamzah, adalah contoh paling gamblang. Hal yang sama pula terjadi pada nenek Minah yang dituduh mencuri kakao tiga biji seharga Rp 2000. Juga pada wong cilik lain yang mengalami nasib seperti nenek Minah.

Keadilan substantif ini pulalah yang kini seharusnya menjadi pegangan para hakim di PN Tangerang dalam mengadili Prita Mulyasari. Seorang yang menuntut hak-haknya sebagai konsumen, tak layak mengalami perlakuan seperti ini. Prita juga tak layak dibebani syarat apa pun jika sebuah perdamaian hendak diformalkan dalam sebuah perjanjian. Prita layak bebas 100 persen. Publik akan terus mengawal hingga hal itu benar-benar terwujud.