Sunday, April 27, 2008

Berjalan Bersama Karl May


Saya sudah merasa begitu lelah, padahal padang ilalang ini begitu
luasnya. Matahari jam 2 siang sebenarnya tak begitu menyengat.
Tetapi bersepeda sejak pagi tadi menjelajahi kampung-kampung
di pinggiran Bekasi yang lumayan perawan ini cukup menguras
tenaga.

Sambil menarik nafas berat, kujatuhkan pandanganku ke garis
horison yang dibatasi gerumbul-gerumbul semak. Betapa masih
jauhnya aku dari tujuan akhir--sebuah tempat belasan kilometer
di balik semak itu. Kuatkah mencapainya? Keletihan ini
sebenarnya cukup menjadi alasan untuk menghentikan ”petualangan”
kecil itu.

Tetapi di padang ilalang, di bentangan luas alam ini, dengan embusan
angin yang mengusap wajah, dan suara lirih serangga serta burung-
burung di indera pendengaran, tiba-tiba melemparkan anganku
ke padang-padang prairi yang digambarkan dalam buku-buku
Karl May. Ya, buku-buku lawas terbitan PT Pardnya Paramita
yang belakangan kubuka kembali–setelah sekian lama semedi
di rak. Khayalan Karl May tentang Barat-Liar (wild west) di
lembaran-lembaran kertas buram itu, kini tiba-tiba terbentang
di depan mata kepalaku. Demikian nyata dan menakjubkan.
Uf!

Sudah kepalang basah. Mumpung tengah di padang prairi,
sekalian saja kubayangkan diriku sebagai Old Shatterhand
dan sepeda gunung yang kutunggangi ini sebagai Hatatitla,
kuda tungangan pemburu masyhur itu. Sementara di depan,
seorang teman yang sudah lebih dulu melaju kuanggap saja
ia sebagai Winnetou, Ketua Suku Apache, sahabat sejati Old
Shatterhand. Dengan imaji dadakan itu, kuempos sisa tenagaku
melintasi ”padang perburuan” ini.

Memang menakjubkan. Setelah membacanya pertama kali
sejak masih bocah puluhan tahun silam (saat itu masih SD),
hari-hari ini masih saja aku terpukau menyimak kembali
serial petualangan Old Shatterhand dan Winnetou. Daya pukau
itulah yang terus mengendap di dalam diri, dan sewaktu-
waktu ”terpanggil” keluar di saat yang tepat. Kali ini ia
keluar untuk membakar semangatku hanya dengan
membayangkan diri sebagai tokoh dalam karangan
Karl May itu.

Sungguh, tak banyak buku yang menyimpan daya pukau
demikian langgeng seperti karya si tukang dongeng dari
Jerman tersebut. Tentu saja hal semacam ini begitu personal
sifatnya. Dus, setiap orang sah belaka memiliki buku yang
mempengaruh dirinya. Bagi saya aksiomanya sederhana saja:
buku yang setiap kali membacanya –di masa yang berbeda—
selalu memberikan tambahan pengalaman dan pemahaman
baru, pasti memiliki kemampuan sihir tersebut. Dan, Karl May,
lewat petualangan kedua pemburu kenamaannya di daerah
Barat-Liar itu, menyimpan sihir demikian berlimpah.

Sebagai bocah tanggung yang keranjingan kegiatan alam bebas,
waktu itu saya menangkap sisi terpenting buku Karl May adalah
aksi-aksi petualangannya. Membaca jejak, menfsir isyarat asap,
mengintai musuh, merayap hati-hati, membaca arah angin
menghindari endusan lawan, membidik musuh dalam posisi
seolah sedang tidur terduduk, dan aksi-aksi lainnya sungguh
mengumbar imajinasi petualangan remaja tanggung.

Terinspirasi Old Shatterhand, suatu malam saya pernah
melemparkan pisau belati ke arah kelebat sebuah bayangan
saat berkemah Pramuka. Tetapi lalu saya menahan malu, ketika
bayangan yang saya kira seekor kelinci itu cuma selembar tas
plastik kresek dihembus angin dalam kegelapan.
Pshaw! Old Shatterhand pasti akan terkekeh melihat ulah saya
yang bahkan lebih bodoh dari greenhorn (plonco) di padang
prairi itu. Saya kira, saya juga tak akan berani menatap mata
kedua putra Kepala Suku Mimbrenyo yang berusia belasan
tahun, tetapi mampu mendapatkan nama harumnya lewat
serangkaian tindakan gagah itu. Uf! Uf!

Imaji petualangan bebas semacam itu masih menetap hingga
kini. ”Metamorfosis” dari seorang penunggang sepeda gunung
amatiran menjadi Old Shatterahand seperti cerita di atas, jelas
munujukkan hal itu. Tetapi, waktu telah berbaik hati agar saya
tak terjebak hanya menjadi pengagum yang kenes. Membaca
ulang beberapa buku Karl May, akhirnya juga memberikan
”sandaran ideologis” atas kegemaran-ku keluyuran di alam
bebas. Dan, itu baru saya pahami belakangan ini.

Karl May meletakkan dasar-dasar ideologis itu, antara lain, lewat
ucapan sahabat Old Shatterhand, Dick Hammerdull (dalam
episode ”Gunung Setan di Rocky Mountains”). Ia mengatakan,
”Tuhan sudah menyediakan musik alam bagi yang mau
mendengarkan, yaitu desir angin dan suara lembut rimba
raya.” Kata sakti dari kalimat itu adalah ”mau mendengarkan”.
Menurut anda apakah para cukong besar yang dibeking
aparat resmi dan lalu tega membantai hutan-hutan di
Kalimantan, Sumatera, Papua, dan lain-lain itu bersedia
mendengar suara alam? Demi Manitou yang agung, pasti indera
pendengaran mereka tuli dari suara-suara alam itu.

Kalimat Hammerdull itu memang sangat ringkas. Tetapi aku
yakin, dengan sebuah eksplorasi intelektual yang tak terlalu
berat, titah pendek Karl May itu bisa dibangun menjadi sebuah
rumusan ideologi yang paten. Mohon maaf, aku mungkin tak
mampu membangun rumusan dimaksud. Tetapi kebenarannya
sudah telanjur kuyakini. Jelek-jelek, aku telah mendaki beberapa
gunung di Pulau Jawa. Menyusuri arus liar sungai di Jawa Barat.
Juga akhir-akhir ini bersepeda blusukan ke kampung-kampung
yang jauh dari kota. Mengalami itu semua, hanya kebenaran
belaka yang kujumpai dalam ”sabda” Karl May tersebut. Dan
untuk itu saya tak keberatan menjura kepadanya.

***

Karl May di paruh terakhir tahun 2000-an ini, adalah Karl May
yang mengajarkan humanisme dan egalitarian kepadaku. Ia
mengajarkan itu di tengah perjalanannya ke Llano Estacado,
hinga disela perseteruannya dengan Mustang Hitam sang
Kepala Suku Comanche yang bengis. Ia berpidato tentang
semua itu dalam pembacaan ulangku terhadap serial buku
yang halamannya mulai menguning itu.

Semula, belasan serial Old Shatterhand edisi lama itu saya beli
untuk anakku. Lama sekali buku-buku itu membeku di rak, karena
anakku belum juga mau menyentuhnya. Dan saya sendiri merasa
terlalu jumawa untuk membacanya lagi karena merasa sudah
menguasai seluruh jalan cerita. Tetapi sebuah rasa bosan –
bingung mau baca apa--, membuat tanganku begitu saja meraih
”Mustang Hitam”. Lalu aku berkenalan lagi dengan dua bersaudara
Timpe, Hobble-Frank, Bibi Droll, Ik Senanda, Tokvi Kava, dan
tentu saja sepasang sahabat abadi Old Shatterhand dan Winnetou.
Halaman-halaman pertama buku ini langsung menyuguhkan
interaksi tokoh-tokoh berbagai kebangsaan dan etnis: kulit putih,
Jerman, Mestis (blasteran Indian-Kulit Putih), Cina, dan
sebagainya.

Rasanya ini memang khas Karl May. Berbagai etnis dan suku
bangsa juga muncul di judul-judul lainnya. Pada episode
”Menuju Daerah Silver Lion” bahkan muncul tokoh yang bernama
Dshafar, seorang Parsi beragama Islam. Dengan menciptakan
wakil dari berbagai bangsa itulah Karl May ”berpidato” soal
humanisme dalam kemasan kisah petualangan yang mempesona.

Mari kita dengar beberapa petikan ajarannya. Bagi Karl May
ukuran yang membedakan satu dengan lain orang adalah kejujuran.
Suatu saat Old Shatterhand mendatangi sebuah perkemahan
pekerja pembuat rel kereta api di Firewood. Kepala perkemahan
yang takjub dengan kemasyhuran Shatterhand memohon dia
tidak duduk di ruangan yang sama dengan pekerja. ”Di daerah
Barat ini orang yang jujur berdiri sama tegak,” kata Shatterhand
menolak permintaan itu.

Salah satu titah humanisme ajaran May adalah setiap orang berhak
menghargai hidup—bahkan bagi bajingan paling bengis sekalipun.
Old Shatterhand, misalnya, tiga kali melepaskan Old Wabble,
musuh beratnya dalam ”Gunung Setan di Rocky Mountains”,
yang sejatinya layak dihukum mati. Menurut Shatterhand,
bagi orang macam Wable itu hidup atau mati sama saja.
”Tapi akan saya beri kesempatan dia untuk merasakan,
bahwa tiap detik hidupnya di dunia ini masih ada harganya.”

Bagi May, kejahatan atau kebaikan tidak bergantung pada warna
kulit. Tokoh yang super jahat, dan sebaliknya tokoh baik, bisa
datang dari mana saja. Stereotip bahwa Indian adalah kejam,
buas, dan biadab, dilumerkannya dengan elegan. Kompleksitas
tokoh-tokohnya dengan serta merta telah mementahkan kalimat
beracun yang kerap muncul dalam komik-komik dan film koboi
rasis, “Indian yang baik, adalah Indian yang mati.”

Tetapi sesungguhnya pesan persamaan paling memikat yang
disampaikan Karl May, bagi saya, ditunjukkan dalam jalinan
persahabatan Old Shaterhand dan Winnetou sendiri. Kedua
orang ini digambarkan demikian satu hati dan jiwa, hingga
hanya dengan saling memandang saja sudah memahami pikiran
masing-masing. Maka, mereka adalah tunggal. Old Shatterhand
adalah Winnetou. Kulit putih adalah kulit merah. Dan sebaliknya.
Mereka tak berbeda.


***

Hari-hari ini dengan rasa bergetar aku masih terus menuntaskan
judul-judul yang tersisa. Dari ”Raja Minyak”, lalu ”Winnetou Gugur”
yang membuat ait mata ibuku menitik saat membacanya,
hingga ”Mohawk Yang Terakhir”. Aku begitu bergairah untuk
menyerap hal-hal baru dalam berbagai kisah petualangan itu.

Jika oleh karena kualitas editing dan penerjamahan ala
kadaranya membuat buku-buku lawas itu sulit masuk kategori
sastra, hal itu dengan gembira kuabaikan. (Pshaw!, aku jadi ingat
sikap kekanakan para priyayi sastra Indonesia yang enggan
membaca ”Ayat-Ayat Cinta” karena mereka menganggap novel
itu bukan sebuah karya sastra. Katanya, sastra harus menunjukan
eksplorasi bahasa yang dahsyat). Entah kenapa, penerjemahan
yang lugu, dan plot cerita yang cenderung lurus, tak mengurangi
keasyikanku menjelajahi makna ”ajaran” Karl May.

Dengan rasa bergetar macam itulah terus kukayuh sepeda
gunungku menjangkau tepi-tepi savana. Hari sudah semakin sore
ketika itu. Langit berwarna tembaga di beberapa sudut. Menara
Telkom di kejauhan itu, ingin sekali kulihat sebagai isyarat asap
dari saudaraku Winnetou, bahwa tujuan kami sudah dekat dan
segera berakhir.

Tetapi lalu aku berfikir, bagi seorang pejalan, benarkah setiap
perjalanan akan menemukan akhir? Benarkah pembacaan ulang
atas buku-buku hebat akan usai di halaman terakhir? Aku tak
tahu. Tetapi kukira saat menjalani semua itu pasti akan
mengasyikan.

Aku yakin, sesiapa orang berhak merasakan bahwa setiap
detik dalam perjalanan (hidup) nya selalu memiliki harga.
Howgh!

*) foto diambil dari videowatch.blogspot.com

1 comment:

Anonymous said...

Keep up the good work.