Tuesday, December 15, 2009

Keadilan Untuk Prita

Keputusan Rumah Sakit Omni Internasional mencabut gugatan perdatanya atas Prita Mulyasari tanpa syarat, adalah merupakan kemenangan publik. Keputusan ini selayaknya juga berdampak pada pengadilan pidana yang tengah dijalani Prita Mulyasari di Pengadilan Negeri Tangerang.

Pencabutan gugatan perdata itu dilakukan Rumah Sakit Omni setelah merasa tertekan atas gerakan publik yang membela Prita Mulyasari. Mereka berharap langkah ini bisa mengakhiri persoalan yang sudah berlangsung lebih dari setahun ini.

Prita dituntut secara perdata dan pidana oleh RS Omni setelah menulis keluhan atas buruknya pelayanan kesehatan yang ia terima. Keluhan lewat fasilitas surat elektronik kepada beberapa teman dekatnya itu kemudian meluas, dan memicu rumah sakit mengambil langkah hukum.

Akibatnya, Prita Mulyasari sempat mendekam di penjara selama sekitar satu bulan. Pengadilan perdata kemudian memvonis Prita bersalah dan mendenda ibu dua anak ini Rp 204 juta. Sedang, pengadilan pidananya kini tengah berlangsung.

Proses hukum yang dinilai sewenang-wenang itu telah mengoyak rasa keadilan masyarakat. Prita yang hanya mengeluhkan tak terpenuhinya hak-hak dia sebagai konsumen, di mata khalayak telah didzalimi. Prita lalu dianggap sebagai simbol perlawanan wong cilik yang selama ini selalu dikalahkan ketika melawan kekuatan modal dan kekuasaan di pengadilan.

Aksi terakhir yang menggetarkan adalah sebuah gerakan mengumpulkan uang recehan guna membayar denda Rp 204 Juta itu. Hampir seluruh lapisan masyarakat di penjuru tanah air terlibat dalam gerakan yang dinamakan Koin Keadilan untuk Prita ini. Mulai dari kaum pemulung hingga pekerja kantoran menghimpun koin demi koin yang mereka miliki. Hasilnya: lebih dari Rp 150 juta sudah terkumpul.

Apa yang terjadi pada masyarakat itu menyiratkan satu hal, bahwa kesadaran hukum mereka semakin tinggi. Dan lebih dari sekadar sadar hukum, publik kini juga berani bertindak nyata jika melihat hukum mulai diperkuda kekuasaan atau kekuatan uang. Mereka tak lagi diam membeku seperti selama ini terjadi.

Saluran untuk melakukan perlawanan itu kian terbuka, salah satunya, oleh peranan media yang gencar menyiarkan ketidak adilan tersebut. Dan, tentu saja, kehadiran medium internet yang efektif dalam memobilisasi dukungan tak bias diabaikan. Kebangkitan publik semacam ini tak seharusnya diremehkan institusi pengadilan. Begitu pula pihak-pihak yang selama ini merasa bisa menunggangi peradilan untuk kepentingan sendiri. Publik kini akan selalu mengawasi, apakah peradilan sudah berjalan pada jalur yang benar. Orang-orang seperti Prita tak akan pernah dibiarkan sendirian lagi.

Sudah saatnya pula insitusi penegak hukum bertumpu pada keadilan substanstif dalam menjalankan tugasnya. Telah terlalu banyak korban berjatuhan, selain Prita Mulyasari, hanya karena penegak hukum berkukuh pada proses hukum formal. Apa yang terjadi pada dua petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bibit Waluyo dan Chandra Hamzah, adalah contoh paling gamblang. Hal yang sama pula terjadi pada nenek Minah yang dituduh mencuri kakao tiga biji seharga Rp 2000. Juga pada wong cilik lain yang mengalami nasib seperti nenek Minah.

Keadilan substantif ini pulalah yang kini seharusnya menjadi pegangan para hakim di PN Tangerang dalam mengadili Prita Mulyasari. Seorang yang menuntut hak-haknya sebagai konsumen, tak layak mengalami perlakuan seperti ini. Prita juga tak layak dibebani syarat apa pun jika sebuah perdamaian hendak diformalkan dalam sebuah perjanjian. Prita layak bebas 100 persen. Publik akan terus mengawal hingga hal itu benar-benar terwujud.


Thursday, October 29, 2009

SAJAK PERLAWANAN KAUM CICAK

Kami tahu tanganmu mencengkeram gari
karena kalian adalah bandit sejati

Kami tahu saku kalian tak pernah kering
karena kalian sekumpulan para maling

Kami mahfum kalian memilih menjadi bebal
sebab melulu sadar pangkat kalian hanyalah sekadar begundal

Kami tahu kalian berusaha terlihat kuat menendang-nendang
demikianlah takdir para pecundang

Kami mengerti otak kalian seperti robot
meski demikian kalian sungguh-sungguh gemar berkomplot

Kami sangat terang kenapa kalian begitu menyedihkan
karena kalian memang hanyalah gerombolan budak
yang meringkuk jeri di mantel sendiri

Kami tahu kenapa kalian gemetar ketakutan
dan tanganmu menggapai-gapai sangsi ke udara

karena kalian tahu
Kami tidak takut kepadamu
Kami tidak takut kepadamu
dan akan melawan tak henti-henti

kami tahu
kalian gemetar,
Kami sangat tahu
kalian sungguh gemetar!


10/09

Friday, October 23, 2009

Tantangan Kabinet Baru



Tugas berat sudah langsung menanti jajaran Kabinet Indonesia Bersatu II begitu mereka selesai mengucapkan sumpah jabatan saat dilantik Preside Susilo Bambang Yudhoyono kemarin. Tugas berat itu adalah menjawab keraguan banyak kalangan akan kemampuan kabinet menghadapi tantangan selama lima tahun ke depan.

Bagi para menteri yang hampir semuanya baru ini, ibaratnya tak ada waktu lagi untuk mempelajari persoalan di bidang masing-masing. Mereka harus selekasnya melupakan luapan kegembiraan saat namanya disebut Presiden sebagai menteri, dan segera tune-in di kementrian yang dipimpinya. Menteri Agama, misalnya, sehari setelah dilantik mesti mengurus pelaksanaan ibadah haji—yang selama ini tak pernah beres tersebut.

Sumber karaguan khalayak pada kabinet anyar tak lain karena komposisinya yang berat ke partai politik. Kabinet yang penuh kompromi ini dikhawatirkan tidak bisa bekerja optimal. Publik belum lupa, Kebinet Indonesia Bersatu jilid satu sampai dibongkar-pasang dua kali karena kinerjanya yang kocar-kacir akibat dipenuhi orang politik.

Sebuah kekhawatiran yang wajar. Karena, kini, bahkan di kementrian bidang ekonomi juga disesaki kader partai politik. Mampu kah para menteri ini melumerkan perbedaan kepentingan politik agar target-target perekonomian ke depan bisa dicapai?

Mari kita lihat tantangan setahun ke depan saja. Fokus pembangunan pada 2010 adalah pada infrastruktur, energi, dan pertanian. Figur menteri yang membawahi bidang-bidang itu berasal dari berbagai partai politik. Hanya sebagian kecil saja dari profesional. Ini akan menjadi tugas berat bagi Menteri Korodinasi Perekonomian Hatta Rajasa (dari Partai Amanat Nasional) agar para menteri dibawah kordinasinya bisa seiring-sejalan.

Tantangan lain adalah proyeksi pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan sebesar 5,5 persen pada tahun depan. Ini bukan pekerjaan enteng. Sebab untuk itu pemerintah dituntut meningkatkan ekspor dan investasi. Inflasi pun harus ditekan serendah mungkin. Sedangkan saat ini dunia menghadapi kenaikan harga minyak. Jika kenaikan itu terus meroket, harba minyak di dalam negeri bukan tak mungkin akan ikut didongkrak. Tentu saja ini akan memicu inflasi tinggi.

Itu baru di sisi ekonomi. Tantangan lain, misalnya, terbentang di bidang kesejahteraan rakyat. Banyak isu yang mesti ditangani, mulai dari besarnya jumlah orang miskin (sekitar 32,5 juta), hingga naiknya angka pengangguran pada 2009.

Khalayak akan mendapat tanda apakah kementrian ini pro rakyat atau tidak dari cara Menteri Koordinasi Kesejahteraa Rakyat Agung Laksono menangani para korban semburan lumpur Lapindo. Faktanya, hingga kini, sasih banyak korban Lapindo yang hidup terlunta. Apakah politisi senior Partai Golkar itu memiliki terobosan baru untuk menangani persoalan, ataukah hanya meneruskan kebijakan pendahulunya, Aburizal Bakrie, yang terbukti tidak berhasil.
Terakhir, tapi bukan yang pamungkas, tantangan bagi pemerintah baru adalah dalam penumpasan praktik korpusi. Sudah setahun terakhir perang melawan koruptor ini mengalami pelumpuhan. Itu terjadi saat sebagian petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi dikriminalisasikan oleh polisi. Celakanya, presiden, enggan bersikap meski terlihat upaya mengkriminalkan petinggi KPK itu dilakukan di atas landasan hukum yang rapuh.

Pemerintah baru mempunyai tugas berat tak terkira untuk menepis keraguan masyarakat. Presiden tampaknya menyadari ancaman kegagalan itu sangat mungkin justru datang dari dalam timnya sendiri. Maka saat melantik para pembantunya ia menekankan bahwa loyalitas menteri adalah pada Presiden, dan bukan pada partai politiknya.

Jika presiden sendiri sudah mewanti-wanti demikian, dan diutarakan secara terbuka, para menteri Kabinet Indonesia Bersatu jilid II ini tak punya waktu untuk berleha-leha. Dan jika kelak mereka membuktikan bisa bekerja dengan baik, bolehlah sat itu melakukan sujud syukur.

Foto diambil dari: http://cdn.wn.com/o25/ph//2009/07/05/7ff253f6c99e27be8273863c726043a6-grande.jpg

Sunday, August 23, 2009

Surat Seorang Indon

selamat pagi,
sudahkah kau minum teh hangatmu?
terasa maniskah?
atau sedikit pahit setelah kau baca
headline koran pagi ini?

indon! indon! indon!
dan empat polis berpesta
di atas tubuh indon saudaraku
yang menjadi sansak tinju

selamat pagi,
dan masih ingatkah engkau pada nirmala bonat
pada ceriyati, pada ribuan saudara indonku
yang melata di bawah sepatu malay-mu
seolah engkaulah yang menentukan
garis hidup mereka

bagaimana kini engkau begitu nyaman
duduk di kursi rotanmu, menghirup teh hangat,
berkuah-kuah kepanasan menyeruput
mi instan, hasil impor dari negeri serumpun
yang kau sebut indon seraya mengedipkan
sebelah matamu itu?

selamat pagi saudaraku,
terima kasih atas ekspor dua pria cerdik pandai
doktor azahari dan noordin m top, namanya
yang menyusup-nyusup dalam kelambu tidur kami
dan mencecerkan darah tubuh saudara indon-nya
di sekujur peta kehidupan kami.

terima kasih saudaraku
nikmati kebanggaanmu
tersenyumlah manis
karena kami pasti tak mampu membaca
seringai di benakmu:
ah, indon!

Agustus 2007

Friday, August 21, 2009

Ramadhan--Saatnya Islah

Bulan Ramadhan yang dimulai hari ini akan menjadi momentum penting bagi bangsa Indonesia untuk menata diri (kembali). Ada banyak peristiwa besar yang terjadi tahun ini—yang sebagiannya sejatinya tak diharapkan terjadi. Beragam kejadian itu sedikit banyak telah menimbulkan ekses, yakni munculnya benih keretakan sesama elemen bangsa. Sunguh sayang, jika datangnya bulan yang penuh barokah ini tidak dimanfaatkan untuk menimba sebanyak mungkin amal kebaikan, termasuk menguatkan lagi silaturahmi ke-Indonesiaan kita.

Salah satu peristiwa besar itu adalah pelaksaan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden. Muara dari peristiwa ini adalah kekuasaan. Tak pelak, selama berbulan-bulan energi elite politik dan masyarakat terkuras dalam kubangan pertarungan politik yang meletihkan ini. Tentu berbagai gesekan terjadi. Entah itu antara sesama elite politik, anggota masyarakat, atau benturan antara elite politik dengan masyarakat.

Dan, saat ini ketika hasil pemilihan presiden sudah dinyatakan final, sebagian luka itu belum lagi pulih. Percikan ketidak-puasan masih meletup. Baik ditunjukkan secara terbuka, atau diekspresikan dalam media alternatif –misalnya di ranah maya— dengan kadar kebencian yang masih tinggi.

Betapa indahnya jika setiap kalangan mampu bersikap wajar dan normal kembali begitu pertarungan politik usai. Kebersamaan kembali dijalin dan kebencian dipupus. Tetapi jika hal itu gagal dicapai, mesti dimahfumi mengingat bangsa ini dirajut oleh keberagaman latar belakang yang demikian majemuk. Mulai dari fakta perbedaan agama, ras, suku bangsa, sosial, ekonomi, dan lain-lain. Masih adanya benih ketidak akuran setelah pertarungan politik yang sengit, dapatlah dimengerti.

Sejatinya momentum untuk kembali merasa satu bangsa itu sempat muncul, justru ketika negeri ini kembali diguncang bom awal Juli lalu. Semua kalangan berbagai lapisan saling menguatkan untuk melawan aksi terorisme. Sebuah kampanye juga digemakan guna menundukkan rasa takut.

Sayangnya, ketika perasaan bersatu itu mulai menjalar, benih-benih perpecahan malah dimunculkan lagi. Ironisnya, pemicu hal itu justru dari petingi keamanan sendiri. Adalah pejabat keamanan di Jawa Tengah yang mengimbau masyarakat melaporkan kepada polisi jika melihat orang berbusana gamis, bersorban, dan memelihara jenggot. Imbauan ini dikeluarkan merujuk pada pelaku terorisme yang umumnya berpanampilan fisik seperti itu.

Hasilnya adalah penangkapan belasan anggota jemaah tabligh di Jawa tengah yang sedang menjalankan amalan khuruj (perjalanan dakwah dari masjid ke masjid). Hasil lainnya adalah munculnya rasa curiga di kalangan khalayak. Setiap komunitas masyarakat mulai berprasangka kepada setap orang –dikenal atau tidak—yang mengenakan jubah dan memelihara jenggot.

Sikap saling curiga itu sejatinya sudah ada sebelumnya, mengingat ada saja anggota masyarakat yang tak menentang terorisme. Masih ada ada segelintir orang yang mengangap para teroris sebagai mujahid. Dus, mereka dianggap sebagai pahlawan. Maka komplit sudah, bara curiga yang sudah hangat itu, kian menyala setelah dikipasi aparat keamanan.

Mumpung belum terlanjur, keratakan itu mesti segera diatasi. Benih-benih kebencian dan rasa curiga harus dibenamkan sampai ke dasar. Ramadhan sesungguhnya membawa pesan damai. Puasa adalah “statuta” yang lugas bahwa semua manusia sama belaka dihadapan Allah SWT. Maka relasi terbaik antara indvidu adalah menjalin kedamaian ketimbang perpecahan. Sedangkan apabila (benih) perpecahan telanjur terjadi, selalu ada jalan islah alias rekonsiliasi. Dan saat ini, pada Ramadhan yang suci, adalah waktu yang sangat afdhol untuk itu.

Selamat menjalani ibadah puasa.

Friday, July 24, 2009

Jangan Lecehkan Pilihan Rakyat!

Ditengah tudingan banyaknya kecurangan dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009, Komisi Pemilihan Umum akhirnya merampungkan rekapitulasi suara nasional. Bisa dipastikan hasil rekapitulasi yang rencananya disahkan pada hari ini (Sabtu) tersebut akan menimbulkan reaksi pro-kontra dari peserta Pemilu maupun masyarakat. Meski demikian semua kalangan semestinya bisa menerima hasil penghitungan tersebut secara dewasa dan bijak. Ini tidak dimaksudkan untuk mengabaikan berbagai temuan kecurangan Pemilu. Seluruh kecurangan itu justru harus diselesaikan dalam koridor hukum demi tegaknya demokrasi.

Dari hasil rekapitulasi Komisi menyatakan pemilihan berakhir dalam satu putaran. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono--Boediono tercatat meraih suara terbanyak dengan 60,8 persen. Ini jauh diatas syarat minimal untuk menjadi pemenang, yakni 50 persen plus satu suara. Porsentase itu melamapaui perolehan suara dua kandidat lain, yakni Megawati Soekarnoputeri--Prabowo Soebianto dengan 26,79 persen, dan Jusuf Kalla--Wiranto sebesar 12,41 persen. Di lebih 50 persen jumlah propinsi, suara Yudhoyono--Boediono juga melampaui 20 persen. Sesuai ketentuan, dengan terpenuhinya dua hal tersebut sudah tercukupi syarat untuk menentukan pemilihan selesai dalam satu putaran.

Bersikap bijak dan dewasa menerima keputusan tersebut tak lain merupakan refleksi untuk menghormati pilihan rakyat. Bisa dipastikan pemilihan kali ini berlangsung bebas tanpa tekanan. Rakyat memiliki keleluasan 100 persen untuk menentukan pilihan berdasar preferensi masing-masing. Dan kini mereka telah memilih --sekali lagi tanpa paksaan-- siapakah yang akan menjadi nahkoda negeri ini untuk lima tahun ke depan.

Kita juga melihat sejak hari pencontrengan hingga sekarang tak terjadi gejolak di tingkat masyarakat terkait pemilihan. Usai pencontrengan masyarakat kembali ke rutinitas harian secara normal. Tak ada dendam yang dilampiaskan, karena memang tak perlu. Ibaratnya, perbedaan pilihan politik langsung dikubur begitu keluar dari bilik suara. Masyarakat sudah cukup dewasa untuk memahami bahwa kerekatan sosial terlalu berharga untuk dipertaruhkan dalam pertarungan politik.

Ini perkembangan yang patut disyukuri. Masyarakat sudah mengerti bahwa pertarungan kekuasaan bisa dikelola lewat jalan demokrasi--dan tidak melalui adu kekuatan. Kemajuan yang sudah jauh ini sungguh tidak layak dilecehkan, misalnya, dengan cara-cara membabi buta menolak hasil pemilihan.

Tetapi tak bisa dipungkiri, ingar-bingar menyoroti pelaksanaan bukannya sama sekali tak terjadi. Kalangan elite politik dan lembaga swadaya banyak mengungkapkan adanya praktik kecurangan pemilihan di banyak tempat. Jenis kecurangan itu mayoritas bersumber pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang tidak akurat. Hingga peroses rekapitulasi dilakukan, hal ini bahkan memicu dua saksi dari kubu Mega-Prabowo dan Kalla--Wiranto melakukan aksi walk out.

Koran ini mendorong semua pihak menggunakan jalur hukum yang sudah disediakan Undang-Undang Pemilu untuk menuntaskan perkara tersebut. Ada tiga jenis pelanggaran yang tercantum di sana, yakni pelanggaran administrasi pemilu, pelanggaran pidana pemilu, dan perselisihan hasil pemilu. Pelanggaran administrasi menjadi kewenangan KPU untuk mengatasinya, pelanggaran pidana adalah domain penegak hukum, dan perselisihan Pemilu harus dibawa ke Mahkamah Konsitusi.

Lewat koridor inilah pihak-pihak yang memiliki bukti kuat kecurangan menyalurkan pengaduannya. Semua pihak berkepentingan agar pemilihan menghasilkan pemimpin yang legal sekaligus memiliki legitimasi kuat. Jalur hukum ini adalah cara untuk mencapai hal itu.

Pemilihan kali ini harus menjadi pelajaran penting juga dari segi penyelenggarannya. Kami sepakat dengan pandangan kinerja KPU sungguh tak mmeuaskan. Untuk itu parlemen baru yang bertugas memilih anggota Komisi untuk proses pemilihan lima tahun mendatang, harus bekerja profesional. Mereka harus sanggup melepaskan kepentingan politik sempit-nya guna menghasilkan KPU baru yang lebih profesional. Sungguh tak elok jika bangsa ini mesti terperosok (lagi) kedalam lobang yang sama.

*) Veri ediitng naskah ini dimuat sebagai Tajuk Rencana dalam Koran Tempo edisi Sabtu, 25 Juli 2009

Sunday, July 12, 2009

Menjaga Solo



Dawet telasih. Saya nyaris tak pernah absen menikmati jajanan minuman itu setiap pulang kampung ke Karanganyar. Aroma dan rasa es dawet yang sangat khas itu selalu menarik minat
saya untuk blusukan ke Pasar Gede, Solo, tempat penjualnya mangkal. "Ritual" itu pulalah yang saya lakoni ketika ngancani acara liburan anak-anak belum lama ini.

Dawet telasih, bagi saya, adalah wakil dari sesuatu yang langgeng pada Kota Solo atau Surakarta Hadiningrat. Posisinya setara dengan kue serabi Notosuman, tengkleng Pasar Klewer, kupat tahu dekat Masjid Solihin, kue intip Pasar Gede, dan tentu saja budaya angkringan. Ini adalah jajaran penganan yang tidak sekadar bisa dinikmati sebagai pengisi usus besar kita, tapi juga menjadi ikon kuliner yang barangkali ikut menyertai sejarah Kota Solo dalam beberapa dekade terakhir.

Ini bukan soal romantisisme. Tapi ini sebenarnya bagian dari harapan yang diam-diam tumbuh di hati saya tentang Kota Solo. Harapan itu kian membesar justru saat saya melihat apa yang kini tengah berkembang di tetangga Kota Solo, yakni Yogyakarta.

Saya berharap Solo mampu meniti perkembangan zaman dengan kepribadian yang kuat. Dengan demikian, kota ini tidak larut dalam gelombang modernitas, tapi mampu melayarinya dengan baik.

Yogyakarta dengan tujuh atau delapan mal yang menumpuk di dalam kota, hampir menjadikan kota itu bak miniatur Jakarta. Dus, kini ada kekuatan dari delapan mata angin yang terus mengembuskan budaya mal di kota kecil ini. Inilah budaya yang bertumpu pada pentingnya hubungan ekonomi dan keserbainstanan.

Memang, masih perlu diteliti, apakah dengan demikian sistem sosial dan budaya di kota ini juga semakin men-Jakarta. Tapi setidaknya ini lebih menimbulkan perasaan khawatir ketimbang
rasa bangga.

Pada Solo, saya menemukan percikan harapan itu masih lebih besar ketimbang rasa khawatir. Bahwa saya masih bisa menikmati dawet telasih di Pasar Gede, itu hanyalah secuil alasan. Ada alasan substansial lain. Dengan mata kepala sendiri, sewaktu blusukan ke sudut-sudut Kota Solo itu, saya melihat penataan kota ini sungguh menjanjikan secara budaya. Pusat kota, misalnya, tak disesaki mal.

Jauh sebelum itu, saya juga membaca berita tentang berbagai acara budaya di kota ini, misalnya World Heritage Cities Conference and Expo, Solo Batik Carnival, Solo International Ethnic Music, dan lain-lain. Acara-acara semacam itu akan menjadi katalisator perkembangan budaya lokal.

Tetapi Solo bukannya tidak menyimpan slilit. Saya juga masih mendengar berita bahwa ada kekuatan modal yang berupaya mendesakkan proyek pembangunan seraya membahayakan
salah satu ikon kebudayaan kota ini, yakni Benteng Vestenberg.


Konon, di sini akan dibangun sebuah hotel dan pusat perdagangan modern. Ini sungguh mencemaskan. Agak sulit masuk dalam logika bahwa sebuah agen kapitalisme bisa bersanding dengan ikon kebudayaan (dan sejarah) tanpa salah satunya cedera atau hancur. Saya berharap petinggi Kota Solo dapat menangani hal itu dengan kecerdasan budaya yang mumpuni.

Seandainya kelak benteng itu lumat oleh tuntutan modal, saya tak tahu masih bisakah saya menyeruput es dawet telasih Pasar Gede dengan nikmat. Saya mungkin akan keselek!

Thursday, July 09, 2009

Runtuhnya MItos Di Balik Kemenangan SBY

Sejumlah pelajaran bisa ditarik dari kemenangan pasangan Susilo
Bambang Yudhoyono--Boediono. Keunggulan duet itu menunjukkan
kian matangnya pemilih dalam menentukan sikap politik. Fenomena
itu juga menegaskan bahwa bangsa kita sudah berada di jalur yang
tepat untuk terus menempuh jalan demokrasi sebagai alat dan
cara mengatasi perbedaan.

Kemenangan Yudhoyono-Boediono memang belum resmi.
Angka kemenangan baru terlihat dari hasil hitung cepat (quick count)
Komisi Pemilihan Umum dan berbagai lembaga riset. Namun,
seperti pada pemilu legislatif yang lalu, perolehan hitung cepat
biasanya tak berbeda jauh dengan hasil resmi.

Maka, dari hasil hitung cepat itu kita bisa membaca berbagai hal
di balik kemenangan duet usungan koalisi pimpinan Partai
Demokrat tersebut. Pada awal kontes presiden berlangsung,
pasangan Yudhoyono-Boediono menuai kritik karena tak mengikuti
mitos bahwa pasangan calon harus merepresentasikan Jawa
dan luar Jawa. Muncul opini, pasangan yang sama-sama Jawa ini
akan menimbulkan resistansi dari pemilih di luar Jawa.

Mitos itu terbukti runtuh. Pasangan Yudhoyono-Boediono
mampu mengeduk suara terbanyak di beberapa kantong suara
penting luar Jawa. Kemenangan besar diraih di Sumatera
(termasuk Nanggroe Aceh Darussalam), Kalimantan Barat dan
Selatan, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Maluku, dan Papua.
Bahkan, di Bali, Yudhoyono mampu mendapatkan suara
mendekati pasangan Megawati-Prabowo.

Hasil itu menunjukkan bahwa pemilih kian rasional dan pragmatis
dalam menentukan sikap politik. Pemilih tak mempersoalkan
apakah Yudhoyono-Boediono kombinasi antara Jawa dan non-Jawa
atau bukan. Bagi pemilih, tak peduli dari mana mereka, yang
penting pasangan itu dipercaya mampu memenuhi harapan.

Berkaitan dengan isu runtuhnya primordialisme ini, apresiasi
patut disematkan kepada Jusuf Kalla. Keteguhannya untuk maju
sebagai calon presiden mampu memberi inspirasi bahwa
yang bukan Jawa pun harus berani berlaga sebagai calon presiden.
Kalah-menang soal lain. Yang penting, keberanian untuk
bersaing meruntuhkan mitos primordialisme.

Kalla juga telah membuka jalan bagi tokoh-tokoh terbaik di luar
Jawa kelak, untuk mengikuti jalannya. Khalayak pun kian
memahami posisi tertinggi di republik ini adalah hak siapa saja.


Duet Yudhoyono-Boediono juga unggul di wilayah-wilayah
yang selama ini dikenal sebagai basis pesaing, seperti Jawa Barat
dan Jawa Tengah. Pada pemilihan legislatif yang lalu, Partai
Golkar menguasai Jawa Barat dan PDIP mendominasi Jawa Tengah.
Tapi kali ini duet “Lanjutkan” menang di sana.

Lagi-lagi, sikap rasional-pragmatislah yang membuat
Yudhoyono-Boediono memimpin perolehan suara. Pemilih di
wilayah itu tak menghendaki tawaran perubahan kandidat
lainnya. Mereka ragu untuk mempertaruhkan apa yang
telah dinikmati selama ini. Pemilih enggan mengambil risiko.
Apalagi rekam jejak dua pasangan lainnya juga dianggap
menyimpan “cacat politik”.

Pada akhirnya hal ini menunjukkan bahwa kedewasaan politik
masyarakat semakin tinggi. Masyarakat tak lagi bisa dirayu
dengan pendekatan-pendekatan non-rasional. Khalayak akan
mempertimbangkan hal-hal yang masuk akal sebelum bersikap.
Maka, sungguh aneh jika kedewasaan politik khalayak ini
tidak diimbangi dengan kedewasaan politik para elitenya.
Demokrasi tak bisa lagi menerima sikap kekanak-kanakan.











Friday, May 29, 2009

Jangan Penjarakan Prita Mulyasari

Tindakan aparat penegak hukum menahan Prita Mulyasari karena
surat elektroniknya yang dinilai mencemarkan nama baik pihak lain
tidak selayaknya dilakukan. Tindakan tersebut nyata-nyata telah
memberangus kebebasan berpendapat dan fungsi kontrol sosial yang
dilakukan warga masyarakat.

Prita Mulyasari, seorang ibu rumah tangga, dituduh telah
mecemarkan nama baik Rumah Sakit Omni Internasional
Alam Sutera Tangerang. Oleh rumah sakit ini ia digugat
secara perdata dan (lalu) pidana. Hakim telah memenangkan
gugatan perdata RS Omni dan memvonis Prita untuk mengganti
kerugian materiil dan immateriil.

Belakangan Prita juga digugat secara pidana dengan pasal-pasal
UUInformasi dan Transaksi Elektronik (ITE ), serta Pasal 310
KUHP tentang pencemaran nama baik. Sejak pertengahan Mei
lalu, Prita menjadi tahanan titipan Kejaksaan Negeri Tangerang
di Lembaga Pemasyarakatan Wanita.

Kasus ini bermula ketika Prita merasa dipaksa menjalani rawat
inap saat memeriksakan kesehatan awal Agustus 2008. Kala
itu dokter jaga mendiagnosis Prita terkena demam berdarah
karena kadar trombositnya hanya 27 ribu. Keesokan harinya
dokter rawat inap mendapati trombosit Prita mencapai 181
ribu alias normal. Lima hari kemudian Prita memaksa pulang.

Merasa ditipu, Prita kemudian menulis surat elektronik berjudul
“Penipuan yang Dilakukan oleh RS Omni Internasional Alam
Sutera” dan mengirimkannya ke sebuah mailing-list (milis).
Dalam surat itu ia mengaku dipaksa menjalani rawat inap.
Ia juga mengaku sudah meminta hasil laboratorium, tetapi
ditolak rumah sakit.

Sebenarnya Rumah Sakit Omni sudah memberikan klarifikasi
di milis yang sama. Tetapi karena merasa tidak cukup lantas
membawa masalah ini ke ranah hukum.

Sepanjang yang tercatat, inilah untuk kedua kalinya sebuah
tulisan di internet teleh menyeret penulisnya ke meja hijau.
Kasus pertama dialami Nurliswandi Piliang, seorang jurnalis,
yang dituduh mencemarkan nama baik seorang anggota
parlemen.

Pasal pencemaran nama baik itu tercantum dalam Pasal 27
ayat 3 UU ITE. Sementara Pasal 45 menyatakan mereka
yang sengaja mendistribusikan atau menransmisikan dokumen
elektronik yang memuat penghinaan, diancam hukuman maksimal
enam tahun atau denda paling banyak Rp 1 Miliar.

Sejak diundangkan pada tahun silam, UU ITE ini telah mendapat
kecaman dan kritik tajam berbagai kalangan. Apa yang tersirat
–terutama-- dalam Pasal 27 dan Pasal 28 berpotensi mengancam
kebebasan berpendapat. Muatan isi dari pasal ini dapat
dikategorikan sebagai pasal karet yang penerapannya
bisa digunakan untuk kepentingan tertentu. Misalnya
untuk melindungi kekuasaan politik atau pemilik
modal kuat.

Selain itu, penerapan aturan itu juga berpotensi menghambat
penggunaan teknologi informasi untuk kepentingan orang
banyak. Pengguna internet akan selalu merasa was-was setiap
kali memposting informasi penting yang mesti diketahui
khalayak.

Sejumlah kalangan sebenarnya telah mengajukan judicial
review atas pasal-pasal karet tersebut. Namun, hakim
di Mahkamah Konstitusi masih menggunakan paradigma
lama dalam memandang “pencemaran nama baik”,
sehingga tuntutan itu ditolak.

Saatnya polisi, jaksa, dan hakim agar tidak terlalu mudah
menggunakan pasal-pasal karet tersebut. Apalagi mengingat
di banyak negara delik pencemaran nama baik telah dihapus
karena kerap digunakan untuk mengekang nilai-nilai
demokrasi.

Kasus Prita juga menunjukkan posisi konsumen masih
terlalu lemah dihadapan penyedia layanan publik. Konsumen
kerap tak bisa berbuat apa-apa ketika, misalnya, hak-hak
mereka belum terpenuhi.

Sikap proaktif dari lembaga-lembaga konsumen amat
diharapkan agar individu yang terlibat dalam persoalan
sejenis mendapat dukungan politis kuat. Terlebih apa
yang dilakukan Prita itu –yakni menulis surat
keluhan— dijamin Undang-Undang Perlindungan
Konsumen.

Sudah saatnya, aktivitas menyatakan pendapat tidak
dihadang oleh pasal-pasal hukum yang ambigu. Hal-hal
semacam itu hanya berlaku di negara anti-demokrasi.

Sunday, February 22, 2009

Film Horor Menghantui Kita


Maraknya film-film lokal bertema horor belakangan ini sungguh
tak menguntungkan bagi perkembangan budaya masyarakat.
Sebagai bagian dari produk budaya populer, film yang menjajakan
irasionalitas ini, akhirnya ikut melanggengkan kebiasaan berpikir
dan bertindak irasional di dalam masyarakat kita. Sudah saatnya
kalangan insan perfilman dan masyarakat luas mengerem laju
produksi “film-film hantu” ini.

Sejatinya serbuan film hantu ke layar-layar bioskup kita sudah
berlangsung dua tahun terakhir. Pada 2007 dari total produksi
film sepertiganya adalah film berbau mistik-horor. Tahun lalu
prosentasenya tak banya berubah. Pada tahun ini, belum lagi
dua bulan dilalui, kita sudah melihat judul-judul seperti ini:
Setan Budeg, Hantu Jamu Gendong,
Kuntilanak Beranak, Hantu
Biang Kerok
, dan lain-lain.

Sangat mudah dipahami dibalik gentayangannya film-film pocong
dan keluarganya ini alasan daganglah yang berbicara. Produser
film, sineas, pekerja film, dan pemain-pemainnya semata digerakkan
alasan ekonomi ketika bahu-membahu memproduksi film hantu.

Biaya produksinya memang murah. Hanya dengan modal perekam
video, pemain-pemain baru (dengan honor alakadarnya tentu), dan
lokasi yang itu-itu saja, sudah cukup untuk menghasilkan satu film
horor. Sedapnya, film dengan anggaran super irit ini akan
menghasilkan pemasukan yang besar. Bayangkan, tak jarang satu
film ditonton sekitar 1 hingga 1,5 juta orang. Siapa yang tak ngiler?

Hampir semua kisah film-film ini diangkat dari legenda atau
kepercayaan yang berkembang di masyarakat. Kuntilanak, pocong,
sundel bolong, suster ngesot, dan masih banyak lagi adalah ikon-ikon
hantu yang diyakini ada oleh sebagian masyarakat. Mengangkut
mereka (dengan segala kemampuan gaib yang dimiliki) dari “alam”-
nya ke layar bioskup, tentu saja kian menabalkan eksistensi warga
dari dunia arwah ini.

Sebagian masyarakat kita yang memang percaya pada hal-hal
irasional, kian merasa mendapat penegasan. Ini bisa berbahaya.
Karena banyak soal riil lalu disikapi dan dicari penyelesaiannya
secara irasional pula. Ribuan orang yang antre untuk mendapat
pengobatan gaib dari dukun cilik Ponari hanyalah salah satu
contohnya. (Ah, jangan-jangan tak lama
lagi akan muncul film tentang Ponari ini).

Menjadikan dalih dagang dalam memproduksi sebuah sinematografi
pada akhirnya juga memasung kreativitas masyarakat film.
Beragamnya persoalan yang berkembang di masyarakat tidak dilihat
sebagai inspirasi dalam berkarya. Mereka tersandera formula yang
diciptakan sendiri, yakni problem masyarakat sulit dikemas menjadi
film yang menghibur sehingga pasti gagal di pasaran.

Yang terjadi sebenarnya adalah malas berpikir dan berkreasi. Para
pemilik modal ingin cepat meraup keuntungan. Sementara kalangan
sineas tak bisa berbuat banyak, selain menuruti keinginan produser.
Bisa juga mereka enggan susah-susah mengerahkan kreatifitas –untuk
tidak mengatakan kemampuan mereka memang pas-pasan--, jika
dengan film yang seadanya itu masyarakat berduyun-duyun
menonton.

Padahal sudah beberapa kali formula dagang itu terpatahkan oleh
film-film yang diproduksi dengan kerja keras dan sarat kreatifitas,
misalnya: Petualangan Sherina, Ayat-ayat Cinta, Denias, hingga
Laskar Pelangi
. Kualitas film-film ini dapat dipertanggung-jawabkan,
sekaligus sukses di pasaran karena sangat menghibur.

Sudah saatnya kalangan warga perfilman menyadari hasil kerja
mereka dapat mempengaruhi budaya masyarakat. Oleh karena itu
mereka bertanggung jawab hanya memproduksi film-film bermutu.
Jika gerojokan film-film hantu itu tak dikurangi, bukan tak mungkin
akan terjadi pembusukan dan menggiring perfileman kita kembali mati
suri seperti lebih 12 tahun lalu.

Khalayak pun pelan-pelan harus belajar untuk hanya menonton
film-film bermutu. Para agen kebudayaan dituntut ikut menciptakan
kondisi agar masyarakat mampu memilih tontonan yang layak.

*) Catatan ini dimuat di ruang Editorial Koran Tempo 20/02/2009

**) Gambar diambil dari forumkafegaul.com

Sunday, February 15, 2009

BOULEVARD


Tulisan seorang teman mengomentari foto yang kupasang di
akun Facebook itu membuat tertegun. "Kang, wit cemoro-ne
koyo nang foto kuwi saiki wis gari sithik. Malah meh punah,"
tulisnya. Deg! Lalu saya pandangi foto yang dijepret pada
akhir tahun 1980-an itu. Tampak kami berempat duduk di
ujung boulevard UGM (Universitas Gadjah Mada) dengan
latar belakang jalan lebar dan jajaran pohon cemara.
Terasa hijau dan damai.

Rasanya aku ingat. Saat itu dengan teman-teman seindekos,
kami menyusuri boulevard pada sebuah pagi. Udara segar.
Dan cericit suara burung di sela dahan cemara seperti
memfasilitasi relaksasi murah ala mahasiswa berkantong
pas-pasan seperti kami ini. Cemara yang teduh.
Boulevard yang utuh.

Boulevard yang terasa mengayomi itu hanyalah salah satu
atmosfer yang disuguhkan kawasan itu. Sebab, di avenue
itu pula tercipta demikian banyak lakon tak terlupakan oleh
mereka yang pernah ngangsu kawruh di UGM. Mulai dari
kisah romantis pasangan yang pernah mengikat janji.
Hingga rentetan pergolakan mahasiswa yang mengubah
sejarah bangsa kita.

Di boulevard itu, di bawah desis daun cemara yang dihela
angin, benih-benih perlawanan mahasiswa pernah ditaburkan
pada pertengahan 1980-an. Itulah saat pertama kalinya
mahasiswa bergerak setelah 10 tahun dibelenggu kebijakan
Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Satu dekade
kemudian, lagi-lagi boulevard menjadi saksi pemberontakan
anak-anak muda pemberang dalam menjungkalkan rezim
fasis Orde Baru.

Tak hanya menampung keringat dan elan perlawanan.
Boulevard pada masa itu juga pernah ikut menghantarkan
doa-doa khusyuk para perantau. Itu terjadi pada malam-
malam Ramadhan, ketika sebagian jalan digunakan untuk
salat tarawih. Maklum, kala itu sang kampus rakyat belum
memiliki masjid semegah saat ini. Hmm, dapatkah engkau
rasakan syahdunya salat di bawah bayangan pohon cemara,
sedangkan bulan mengintip di sela dahan?

Semua itu telah menjadi bagian dari boulevard. Barangkali
ia tersimpan rapat di akar rerumputan dan perdu taman.
Atau ia tergurat di kulit batang cemara yang kemudian
mewariskan kisahnya kepada mahasiswa-mahasiswa era
kiwari. Pada boulevard, sejarah dan kenangan, juga daya
hidup para intelektual Kampus Biru terawat sempurna.

Tapi apakah boulevard akan tetap menjadi demikian
ketika deretan cemaranya kini musnah? Kawabata pernah
menulis sebait sajak: hijau yang abadi/tapi pohon cemara
itu lebih hijau pada musim semi.

Saya (ingin) percaya: boulevard--dan dengan demikian
UGM--senantiasa abadi dengan pengabdiannya.


*) Catatan ini dimuat di rubrik "Angkringan" Koran Tempo edisi Yogjakarta (Senin 16 Februari). http://epaper. korantempo. com/KT/KT/ 2009/02/16/ index.shtml

Friday, February 13, 2009

Dandy-isme

Sungguh menarik panorama kepemimpinan kita ditinjau dari
segi psikiatri: seberapa jauhkah nasib kita sebagai bangsa diutak-
atik oleh segerombolan psikopat? Revolusi kita ini terlalu padat
dengan para dandy. Terlalu sesak oleh gerombolan pesolek
yang suka nampang di mana-mana dan ke mana-mana.

Jangan salah, dandy bukanlah istilah rekaan saya. Itu adalah sebutan
yang ditahbiskan sastrawan Iwan Simatupang (almarhum)
kepada para elite politik tahun 1960-an. Saya membaca dalam
sebuah refleksinya yang terkumpul dalam buku terbitan LP3ES
(1986) berjudul Surat-surat Politik Iwan Simatupang 1964-1966.

Terasa Iwan demikian intens mengeksplorasi sindrom dandy yang
diidap para pemimpin saat itu. Dia bilang setiap kita adalah psikopat.
Tetapi di antara kita masih banyak yang sadar untuk tak
mengungkapkannya secara eksesif. Nah, sebaliknyalah yang terjadi
kepada para pemimpin dandy itu. Dia menyarankan untuk melacak
masa kecil para tokoh politik tersebut guna memahami sebab-
musababnya.

Misalnya siapa orang tuanya, bagaimana lingkungannya, siapa
kawan-kawannya, kisah atau dongeng apa saja yang ia baca,
fantasi apa yang pernah timbul di masa bocahnya, siapa tokoh
heronya, dan sebagainya.

Para pemimpin dandy juga mesti diteliti perkembangan terbarunya:
kata-kata apa saja yang ia gemari, apa hobinya, bagaimana kisah
asmaranya dulu, dan lain-lain. Dengan mencari jawab atas
pertanyaan itu, akan diketahuilah mutu para pemimpin.

Sebenarnya tak bisa dimungkiri sejarah dunia juga ditorehkan oleh
para dandy. Rousseau adalah seorang dandy. Nehru, dengan
sapu tangan sutra dan kembang di lubang kancingnya, adalah
dandy. Juga Sun Yat Sen, George Washington, dan Stalin dengan
kemeja satin dan minyak rambut Prancis. Tentu saja Soekarno
adalah seorang dandy par excellence dengan gaya berpakaian,
cara berjalan, gaya pidato, serta alegori kesukaannya.

Dengan demikian, dandy-isme kurang-lebih bisa diartikan
sebagai gemar akan kekenesan. Seorang dandy hanya suka
bergaul dengan dandy lainnya. Dan kita-kita ini hanya dianggap
sebagai audiens. Kita hanyalah papan resonansi. Kita adalah para
tukang keplok--tak peduli para dandy itu selip kata dalam pidatonya
atau keliru menempati blocking. Plok! Plok! Plok!

Bagi seorang dandy, yang terpenting adalah berada di
pusat perhatian. Dia akan frustrasi jika lampu sorot tak
mengarah lagi kepadanya.

Saya menutup halaman buku yang kubaca itu dengan
susah payah menyadari bahwa Iwan Simatupang sedang
berbicara tentang tokoh politik 1960-an. Bukan zaman sekarang!