Monday, May 05, 2008

Antre


Mari kita dengar sambatan Sri Astuti, seorang ibu rumah tangga
di Gunung Ketur Yogjakarta. Setiap sepuluh hari, kata dia,
persediaan minyak tanah di rumahnya sudah ludes. Tapi untuk
menggantinya, bukan soal gampang. ”Harus antre panjang,
mas,” keluhnya.

Hari-hari ini, urusan minyak tanah memang bikin Sri mumet.
Juga Sri-Sri lain di Semarang, Solo, Magelang, Bekasi, Jakarta,
dan kota-kota lain. Minyak tanah seperti siluman. Ujug-ujug ngilang.
Maka titah hukum ekonomi berlaku. Barangnya langka, harga pun
ngelunjak
. Seliter minyak tanah, kini harus ditebus dengan harga
Rp 4 sampai 5 ribu rupiah. Opo tumon?


Sri barangkali tak mampu memahami, bahwa pemerintah tengah
keteteran dipukul harga minyak yang terus melejit. Cadangan emas
hitam ini di perut bumi pun kian tipis. Maka sumber energi lain
mesti dicari. Pilihannya adalah gas.

Lalu masyarakat dipaksa beralih ke bahan pengganti ini.
Caranya? Gerojokan minyak ke pasaran disunat
hingga 50 persen. Gantinya tabung-tabung gas dikirim
ke pelosok kampung. Tapi, ternyata distribusi gas
belum merata, sementara minyak kadung menguap.
Antrean pun mengular dimana-mana. Di Semarang,
bahkan sudah ada yang memakai kayu bakar!

Kaum cerdik pandai menilai tujuan pemerintah bagus.
Tetapi pertanyaannya, kenapa yang paling menanggung
kerepotan adalah kaum-nya Sri itu? Lagi-lagi wog cilik
yang kelimpungan. Pernahkah media menayangkan gambar
antrean orang kaya—dan apalagi pejabat?

”Ah, sampeyan itu nyinyir saja,” celetuk Kang Torik suatu
malam ketika ngancani saya wedangan di Tipes, Solo.
Juragan wartel ini bilang orang kaya juga antre. Begitu
pula pejabat dan anggota parlemen.

”Tetapi tidak antre minyak,” cepat ia melanjutkan omonganya.
Ups! Kalau sudah begini biasanya ia mulai sedikit sengak.
Dia lalu menunjuk mal-mal yang masih ramai sepanjang waktu.
Bahkan, katanya, ada gerai roti yang amat laris hingga
pelanggannya selalu antre. ”Padahal, di sana sepotong roti
hargaya lebih mahal ketimbang seliter minyak!”

Bagaimana dengan pejabat dan wakil rakyat? ”Mereka antre
masuk penjara, karena KPK semakin kereng,” celetuknya
cuek sambil terus melahap sego kucing-nya.

Saya diam saja. Tampaknya negeri ini sudah menjadi negeri antre.
Semuanya antre. Seperti malam itu, saya harus ngantri bakaran kikil
dan tahu bacem yang saya pesan sambil terus mendengar
pidato Kang Torik
.

Foto: ANTARA/MUSYAWIR

No comments: