Saturday, May 03, 2008

Lembaga Sensor Bukan Jamannya Lagi


Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak pembubaran
Lembaga Sensor Film (LSF) patut disayangkan. Dipertahankannya
institusi yang berhak menggunting sebuah karya kreatif ini
jelas bertentangan dengan semangat demokratisasi yang kini
tengah bergulir. Masih tetap eksisnya LSF juga mencerminkan
bahwa anggota masyarakat dianggap belum mampu menseleksi
sendiri untuk memutuskan mana film yang baik dan buruk.

Keputusan Mahkamah itu ditetapkan dalam sidang pleno uji
materi terhadap Undang-Undang No 8/1992 tentang perfileman
yang diajukan Masyarakat Perfilman Indonesia (MFI). Dalam undang-
undang ini tercantum pasal-pasal tentang pensensoran yang oleh
MFI digugat agar dihapuskan. Menurut MFI, aturan tersebut sangat
otoritarian karena bersifat menekan dan memvonis kepatutan sebuah
film.

Mahkamah menolak permohonan penggugat karena menilai
keberadaan LSF sesuai dengan konstitusional. Namun demikian,
Mahkamah juga berpendapat bahwa UU 8/1992 beserta dengan
LSF sudah tak sesuai lagi dengan semangat zaman. Tampaknya
Mahkamah memilih jalan aman dengan mengambil keputusan
”banci” semacam ini.

Secara ringkas Lembaga Sensor Film dibentuk untuk menjaga agar
karya film tetap bersifat edukatif dan sesuai dengan nilai budaya
bangsa. Sebuah film juga diharamkan menerabas ketertiban umum
dan rasa kesusilaan. (Pasal 3 dan 4). Untuk kepentingan itulah LSF
diberi wewenang menggunting, menolak, atau meloloskan sepenuhnya
sebuah karya sinema.

Wewenang yang demikian besar itu menurut kalangan pembuat
filem merupakan bentuk upaya pemasungan kreatifitas. Adapun
sebagian masyarakat menilainya sebagai monopoli tafsir terhadap
sebuah karya kreatif. Bagaimana tidak, sebuah film yang dibuat
dengan mengerahkan segala sumber daya materi dan kreatifitas,
dengan gampang dapat digunting begitu saja --bahkan ditolak--
jika tak sesuai dengan penilaian dan ”selera” LSF.

Dengan kewenangan itu pula LSF kerap menjadi alat perpanjangan
kekuasaan. Tak sedikit film yang dianggap kritis terhadap
kekuasaan diganjal peredarannya kepada publik, seperti Djakarta 66
atau Max Havelaar. Masyarakat pun terampas haknya menonton
film-film bermutu dan mencerahkan.

Sepanjang undang-undang yang memungkinkan sensor ini menjadi
legal, selama itu pula ancaman terhadap kebebasan berkarya terus
mengintai. Sepanjang itu pula masyarakat tak memiliki kebebasan
memilih sendiri karya sinema yang ingin ditontonnya. Keadaan
semacam ini mesti diakhiri—salah satunya dengan pembubaran LSF.

Bukan berarti menghapus lembaga sensor ini sama sekali akan
membebaskan sebuah film terjun bebas ke tengah masyarakat.
Usulan mengganti LSF dengan sebuah sistem klasifikasi film layak
didukung. Sistem ini akan memberi sejenis label kepada produk
film mengenai tingkat kekerasan, kadar adegan seksual, juga
kepekaan terhadap isu sensitif seperti agama atau ras. Dengan
demikian masyarakat akan mendidik diri sendiri film manakah
yang ia (dan keluarganya) layak untuk ditonton.

Akhirnya, konklusi Mahkamah Konstitusi bahwa UU perfilman
saat ini tak sesuai lagi dengan semangat zaman, selayaknya menjadi
pesan agar undang-undang yang baru segara digodog DPR. Sekarang
menjadi tugas MFI dan masyarakat untuk mendesak parlemen
segera menuntaskan kerjanya tersebut. Proses di parlemen itu pun
juga harus dikawal agar hasilnya tak mencederai semangat
demokratisasi.

*) tulisan ini dimuat di Koran Tempo edisi Sabtu 3 Mei sebagai Tajuk

*) foto di atas adalah salah satu adegan dari film Max Havelaar.

No comments: