Thursday, October 12, 2006

Surat (14)

Pengantar:
Seorang kawan dari masa silam, dan yang terus berkelana
ke negeri-negeri yang jauh, tiba-tiba mengirimka surat untuk
anaknya, Kalam, lewat inbox-ku. Dia meminta aku untuk meneruskan
ke anak semata-wayangnya itu.

Kawan ini, sebut saja Old Bohemian, telah terpisah bertahun-
tahun dengan anak istrinya untuk sebuah alasan yang tak
bisa dipahami setiap orang.

Ramadhan, ternyata membikin dia tak kuasa
mebendung gelora rindunya pada keluarga.

Saya tak tahu lagi dimana keluarganya tinggal--dulu
mereka tinggal di sebuah kota kecil di Jawa Tengah, di
lereng Gunung Lawu.

Untuk sekedar mengurangi rasa bersalah, kuposting
surat menggetarkan itu di sini--atas seizin dia.
=======================================

Kalam, anakku sayang,

Jika mungkin, ingin kuhapus kata ‘lebaran’ dari kenangan kita.
Aku hanya bisa merasakan betapa luka kian perih kau

tanggungkan, justru ketika saat khusuk itu selayaknya
menggetarkan pori-pori kita.

Dan, ampunkan bapakmu ini anakku, perjalanan tak pernah

mampu kutaklukan agar tersedia waktuku menemanimu menyimak
takbir dari masjid di kampung kita. Bahkan, ketika janji pernah
kuniscayakan kepadamu awal tahun ini. Janji yang kurapal
diam-diam dalam hatiku.

Perjalanan, anakku Kalam, telah menyimpangkan kepulanganku

saat itu, dan mendamparkanku ke Illinois. Kini, di sebuah masjid
kecil DeKalb, dengan--hanya—ratusan muslim dari penjuru bumi,
kami kembali mengenang kisah pengorbanan Ibrahim dan Ismail.

Engkau tahu, aku merasa bagai Ibrahim yang telah

mengorbankanmu--untuk hal yang entah sudahkah engkau
pahami?. Perjalanan ini, anakku, tak pernah untuk diriku sendiri.
Demikianlah, ‘rasa benar’ kuyakini ketika tangisku runtuh diam-
diam untukmu.

Di tengah hempasan angin dingin Illinois, ingin kuhangatkan hatiku
kedalam gema takbir. Dan, di tengah hamparan tanah pertanian

Midwest Amerika yang datar ini, kulafalkan kerinduanku pada tangis
kecilmu. Semampuku.

Ampunkan bapakmu, Kalam. Anakku sayang.


old bohemian


Tuesday, October 10, 2006

Kematian Kedua Sang Presiden

Presiden Republik BBM telah mati untuk kedua kalinya.
Hari-hari ini, penonton Indosiar tak bisa lagi menikmati
penampilan Taufik Savalas sebagai Presiden Republik
Benar-Benar Mabok (BBM) di acara Ramadhan di Istana.
Tak ada lagi gaya bicara, gestur, dan cara berpakaian
Taufik yang mengingatkan kita pada Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY).

“Karena ada telepon dari Istana, (katanya) tidak boleh ada
‘penginaan’ terhadap presiden, maka acara Ramadhan di
Istana mohon pamit.” Selarik SMS itu masuk ke ponsel
saya menjelang tengah malam. Yang dimaksud “dari istana”
, adalah Istana Kepresidenan tempat SBY berkantor. Dia
juga menyebut nama sang penelepon—seseorang yang
dikenal dekat SBY.

Tetapi, ternyata acara –Ramadhan di Istana (RdI)-- yang
tayang setiap menjelang sahur itu tetap hadir. Hanya Taufik
tak lagi memerankan Presiden. Dikisahkan sang presiden
sedang safari ramadhan. Maka Taufik berganti
memerankan apa saja—selain presiden.

Saya mencari tahu pada seorang kawan di jajaran elit redaksi
Indosiar. Ia mengakui ada pihak luar yang menelepon pemilik
Indosiar, meminta agar acara RdI tak kritis pada SBY. Ia tak
menyebut siapa sang penelepon, tetapi jelas memiliki kekuasaan.
Buktinya “ancaman” itu dituruti. Presiden BBM absen.
Padahal, kata kawan ini, sejak awal tak ada skenario menghilangkan
peran presiden. “Seharusnya Presiden hadir sampai episode terakhir.”

Jika pengakuan di atas benar adanya, ini adalah kematian kedua
Presiden BBM. Sebelumnya acara Republik BBM juga tak diteruskan,
karena kasus serupa. Lalu acara itu pecah menjadi “Istana BBM”
(sebuah sitcom di Indosiar) dan (pemain) lainnya meneruskan ke
Metro TV dalam acara “Republik Mimpi: Newsdotcom”.

Kembali kita disadarkan, kekuasaan ternyata masih belum steril
dari sawab Orde Baru. Orde Baru belum benar-benar jadi
hantu. Secara fisik kita melihat perwakilannya pada beberapa
sosok di pemerintahan. Secara alam pikir, kita lebih banyak lagi
menyaksikan pada mereka yng kini tengah bancakan di sekitar
pusat kekuasaan.

Sawab itu adalah sikap anti kritik, dan menganggap citra presiden
bisa dijaga dengan membungkam kebebasan berekspresi. Sawab
yang memandang kritik sebagai “penginaan”. Sawab itu adalah
sejenis ancaman jika kritik tetap bandel dilakukan, silakan menerima
akibatnya (yang akan dirasakan secara langsung atau tak langsung).

Siapakah mereka ini yang gemar memelihara sawab masa
lalu itu? Apakah Andi Malarangeng, Dino Pati Jalal, Sudi Silalahi,
Hamid Awaludin, dan lain-lain dan sebagainya? Ataukah justru dia
yang ada di pusat kekuasaan sendiri: SBY dan JK?

Mungkin salah satu atau dua dari mereka. Mungkin juga bukan
mereka sama sekali. Tetapi "telepon sensor" telah dilakukan.
Dan, kita tahu, kekuasaan ini belum steril dari sawab Orba!

Monday, October 09, 2006

Lagu Gagak

sepertinya engkau yang mengirimkan bayangan tembaga
pada air mataku. Sakitkah saat engkau selinapkan
selarik cahaya dari pucuk bambu, ketika seorang
penyair menangisimu, dan ilalang menusuk kenanganmu?

pernah kucoba mengajukmu, mendekati ujung cahayamu
malam segelap sayap hitamku, dan kudengar
pesanmu membenturbentur awan sendirian.
udara terkoyak.

dunia tak lagi sejati
dunia tak lagi sejati
dunia tak lagi sedaun
jati


sepertinya memang engkau yang biarkan mega
sepepat daun jati, kanakkanak merayapi mimpi,
melucuti kenanganku sendiri.

hingga semesta beku
hingga renjana ragu.

Sendiri

Friday, October 06, 2006

Solilokui untuk Munir

“Munir kok dijadikan tokoh, kayak nggak ada yang lain saja.”

Engkau tahu Cak, siapakah yang mungkin mengeluarkan kata-kata
macam itu? Gerutuan itu melompat dari alat ucap para petinggi serdadu
setelah dari meja redekasi kami mendaulatmu menjadi
“Man of The Year 1998”. Waktu itu awal tahun 1999.

Kita tahu, demikianlah tentara. Seluruh eksistensinya
tergantung pada sebutir timah panas, dan bukan pada kemanusiaan.
Maka, sebuah penobatan yang mencederai “agama” mereka itu,
akan mereka taruh di seberang garis berlawanan.

Aku tak akan pernah melupakan malam itu, Cak—kali pertama
aku bertemu muka denganmu. Di sebuah koridor kampus, dimana
siang tadi sejumlah bunga bangsa gugur diterjang peluru, sisa darah
berceceran masih di depan gedung, dan sungguh menggetarkan, tak
ada bau amis di sana.

Tetapi kita terpana. Sekaleng selongsong peluru tajam berhasil
dikumpulkan para mahasiswa dari halaman kampus mereka!

Para serdadu itu, yang mengendap-endap di ketinggian jalan layang,
mungkin juga diatap-atap bangunan tinggi, rupanya telah memutuskan
akan membasmi anak-anak yang hanya ingin merawat hati nurani itu
dengan berondongan peluru tajam. Kita tahu, demikianlah tentara.
Kebanggaan mereka hanya tergantung pada sebutir peluru.

Saat itu aku mencoba menyelami ke kedalaman matamu.
Sebenarnya itu sesuatu yang sia-sia, karena keringat dan ketulusanmu
telah menemani mereka yang dihilangkan, malam dan siangmu
milik mereka yang terampas, senyum dan tangismu bersanding
dalam doa-doa mereka yang ditindas.

Lalu aku tahu engkau tak pernah beranjak dari posisi itu
ketika kekuasaan berganti, keculasan datang dan pergi,
dan tentara masih menggantungkan harga dirinya pada
sebutir peluru.

kalau takut pada teror, katamu suatu saat, itulah saatnya
kemenangan sang peneror.

Cak, aku tahu engkau bukan tak memiliki rasa takut
tetapi koyak-moyak negeri butuh lebih dari sekadar takluk
pada ketakutan. Sungguh tidak ada waktu untuk membeku
di bilik kamar.

dan engkau menolak takluk, hingga Sang Maha Kekasih
menjemputmu demikian indah.

Cak, maafkan aku belum sempat menunaikan janji
menemuimu---meski aku yakin engkau tak pernah menagih.

Selamat jalan, Cak
temanilah kami menjalani hari-hari yang penuh teror ini.
-----------------------------------
(Setelah Membaca HL Koran Tempo, Kamis 5 Oktober 2006 berjudul
Hakim: Polly Bukan Pembunuh Munir)

Mukadimah

Apa yang sudah terjadi pada dunia sepanjang hari ini?