Tuesday, November 27, 2007

CEMARA MENDERAI DI CEMOROSEWU


Trekking di pinggang Gunung Lawu, menyimak kisah alam dalam menjalani darmanya.



Di hamparan sekitar setengah hektar itu pandangan saya nanar.
Kulihat puluhan –mungkin seratusan-- batang cemara menjulang
mengenaskan: meranggas tak berdaun, dengan batang terkelupas
menghitam bekas terbakar. Dari tempatku berdiri ini, di ujung kelokan
sebuah bukit, pemandangan itu mengesankan aku sebagai sebuah
karya instalasi tentang keperihan.

Untunglah angin dingin yang berhembus di pinggang Gunung Lawu,
pada pertengahan Oktober itu, bisa mengurangi perasaan haru biru
yang menyergap. Juga tanaman sayur-mayur dan bunga wedusan
yang menghampar di sana-sini membuat kehijauan masih bertahan
di jalur pendakian gunung molek ini. Semua itu bak mengirimkan
pesan sederhana: alam tak akan pernah menyerah oleh kerusakan apa pun.

Sekurangnya itu yang kuharapkan terjadi ketika tiba di kawasan ini
setelah sekitar satu jam mendaki. Sambil duduk mengaso di sebuah
batu besar yang berada di persis di pusat hamparan ini, pikiranku
melayang pada puisi Chairil Anwar berjudul ”Derai-derai Cemara”.

cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
.......

Hm..., apakah yang ingin disampaikan Chairil pada puisi yang ditulis
menjelang kematiannya itu? Sejenis kecemasan akan hari esok? Atau
sebuah keperihan tentang nasib buruk—seperti yang kini menimpa
pinggang gunung yang tegak di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan
Jawa Timur ini?

Kutatap istri dan anakku, juga saudara dan keponakan, yang tergabung
dalam acara trekking keluarga ini. Ya, semula mereka kelihatan masygul
melihat nasib pohon-pohon terbakar itu. Tapi kini mereka sudah ceria
kembali mencecap suguhan orkestra alam yang tak pernah tertemukan
pada lingkungan kota-kota besar nan sibuk.

Kami tadi mulai mendaki dari desa Cemorosewu, yang secara administratif
masuk Kabupaten Magetan (Jawa Timur). Desa ini adalah satu dari dua
pintu masuk jalur pendakian Gunung Lawu yang kondang di kalangan
aktivis pecinta alam. Satu gerbang lagi adalah di desa Cemorokandang,
di Kabupaten Karanganyar (Jawa Tengah), dan jarak keduanya
hanya terpisah setengah kilometer saja. Kedua homebase pendakian
ini dapat dicapai dari Solo kira-kira dua jam perjalanan kendaraan bermotor.

Kami sebenarnya punya impian ingin mendaki sampai puncak. Tapi
kami sudah bukan remaja dengan energi bergelora lagi. Dulu,
dengan darah remaja yang mendidih, kami sering gagah-gagahan
mendaki gunung-gunung di Pulau Jawa. Dan, Lawu tentu saja adalah
gunung yang paling akrab karena dekat dengan kediaman kami
(waktu itu) di Karanganyar.

Tetapi kini kami mesti tahu diri. Setelah belasan tahun tak mendaki,
stamina tak lagi bisa digaransi. Maka, trekking menjadi pilihan paling
masuk akal. Karena dengan demikian kami bisa memutuskan
berhenti kapan saja dan kembali pulang. Tak ada target. Yang
penting bisa melepas kangen pada atmosfer gunung yang sudah
meluap sejak sebelum liburan panjang lebaran ini tiba. Keuntungan
lain, anak-anak bisa diajak untuk mengenal ”tempat main” masa
remaja bapaknya ini. Haha!

Garis start pendakian dimulai dari sebuah gapura yang tampaknya
belum lama dibangun. Di depan gapura ada sebuah pos tempat para
pendaki rehat sejenak sebelum mulai perjalanan. Bagi yang ingin sekedar
berkemah, tenda dapat didirikan di camping ground tak jauh dari gapura.
”Per orang cuma bayar Rp 5 ribu, mas,” kata Danu yang berjaga
di bilik mirip loket persis di balik gapura.

Waktu sudah lewat tengah hari ketika kami mulai melangkah. Lintasan
pendakian terbuat dari makadam. Matahari ada di atas kepala, tapi
sinarnya tak terasa menyengat. Langit begitu biru dengan serakan
awan putih sporadis. Aku tengadah. Dan, kuhirup sepuasnya bau
gunung yang lama tak kurasakan ini.

Hawa sejuk. Aroma tanah. Kemurnian dedaunan—cemara, pohon
puspa serta flora lainnya. Lalu suara-suara binatang yang khas.
Seluruhnya bagai menyiangi panca-inderamu hingga segar kembali.
Jika saat itu sang kekasih ada di sisimu, tanganmu pasti akan
menggendeng lebih erat. Jika engkau penyair, mungkin akan lahir
bait-bait puisi romantis nan liris.

Berbeda dengan trek Cemorokandang yang lebih landai namun panjang,
jalur ini didominasi tanjakan curam dan ndedel. Dikiri-kanan, berbagai
tetumbuhan seperti memagari lintasan selebar 1,5 meter ini. Saya
berusaha melangkah dengan santai dan mengatur nafas agar tak
cepat ngos-ngosan. Tapi, lihatlah, para bocah lebih suka berlari-lari
kecil sambil bercanda. Ya, sebuah kegembiraan yang jujur kurasa
merupakan doping manjur bagi jiwa-jiwa polos tersebut.

Siang itu rombongan kami tidak sendirian menyusuri Lawu. Beberapa
kelompok pendaki ganti-berganti mendahului kami menuju puncak.
Tak sedikit pula rombongan yang sudah turun dengan wajah lelah.
Melihat tongkrongan mereka kenanganku melayang ke masa silam
saat masih aktif munggah (mendaki). Ransel besar, baju flanel,
celana jins, slayer di leher, sepatu gunung, kadang kepala diikat
kain agar terlihat sebagai anak gunung sejati. Hm, aku tersenyum
kecil mengenang masa-masa nan genit itu.

Genit? Ah, kalau melihat seorang anak muda gondrong yang tengah
berjalan turun dengan serenceng bawaan menuju arahku, tampaknya
ia telah melampaui periode itu. Penampilannya seperti laiknya pendaki
gunung biasa. Yang membedakan adalah puluhan bekas botol air minum
yang genteyongan di pinggangnya. Kuduga ia telah memunguti
botol-botol yang dibuang sembarangan itu di sepanjang lintasan turun.

”Wah, bersih-bersih bung?” sapaku saat berpapasan.
”Ya, pak,” jawabnya pendek.

Kuacungka jempol tangan kananku padanya. Ia hanya tersenyum.
Lalu kami berpisah melanjutkan langkah masing-masing.

Kulemparkan pandanganku ke sekeliling. Botol minuman bernergi,
air minum kemasan, bungkus mi instan, tercecer dibuang begitu
saja oleh pendaki lain. Ah, pendaki, seberapa besarkah cintamu
pada alam—atau engkau cuma gagah-gagahan saja dengan segala
akseseoris yang menempel di tubuhmu itu?

Ini kesempatan bagus untuk memberi tahu anakku, Rausyan,
bahwa gunung pun sejatinya layak disayangi dengan menjaga
kebersihannya. ”Tiru om gondrong tadi ya,” nasehatku sok
bijak. Entah, apakah hal semacam ini bisa dipahami
bocah 2,5 tahun itu.

Sudah setengah jam kami mendaki. Suara kendaraan bermotor
tak lagi terdengar. Saya kira posisi saat ini sudah cukup tinggi.
Kini alamlah yang sepenuhnya berdaulat. Hutan, serangga, burung
jalak, angin, awan, dan matahari. Juga nafas kami yang mulai
satu-satu. Rombongan mulai terpecah-pecah. Sebagian anak-anak
dan orang dewasa sudah melesat di depan. Aku dan istri gantian
menggandeng Rausyan mengiringi langkah-langkah kecilnya itu.

Aku ingat, jika mendaki lewat Cemorokandang, dengan waktu
tempuh yang kurang lebih sama, saat ini pasti sudah tercium aroma
belerang. Tapi di jalur ini bau itu sama sekali tak terendus. Gantinya
adalah pemandangan hutan yang mulai memperlihatkan bekas
”luka bakar” di sana-sini. Beberapa batang cemara yang terkelupas
menghitam mulai tampak diantara semak atau flora lainnya.

Sejatinya, kebakaran yang terjadi akhir tahun 2006 lalu itu bukan
sebuah kebakaran hebat seperti tahun 1980-an silam. Kebakaran
terakhir ini hanya terjadi di kawasan dekat Pos 1. Namun saat itu
api sempat menjulur turun ke pemukiman penduduk lewat
semak-semak. Gombloh, warga sekitar, menuturkan saa itu
penduduk sigap menggali tanah guna membendung amukan si
jago merah.

Setelah kebakaran usai warga menanami sayuran dan bunga-bunga
di area bekas kebakaran untuk menggantikan nuansa hijau yang hilang.
”Tak ada yang memerintah, kami lakukan sendiri,” kata Gombloh.
Penduduk juga sudah menanam benih-benih cemara baru untuk
menggantikan pohon yang sudah mati terbakar--agar kelak hijau
tetap abadi di Lawu.

Tentang cemara dan keabadian, aku ingat Kawabata yang mengutip
sebuah puisi Jepang kuno dalam novelnya berjudul
”Seribu Burung Bangau”.

hijau yang abadi,
tapi pohon cemara itu lebih hijau pada musim semi


Musim semi, tentu saja tak akan berlangsung secara harfiah di
gunung setinggi 3265 di atas permukaan laut ini. Tetapi melihat
cara penduduk berhubungan dengan alam sekitar, engkau akan
tahu, bahwa harapan bagai musim semi yang abadi bersemayam
di hati mereka. Dan, kelak, Lawu akan selalu balik menyuguhkan
kehijauannya kepada warga pelindungnya itu. Mungkin juga pada
hatimu yang telah kering digerus mesin kota besar saat engkau
berkunjung ke sana.

Setengah jam berikutnya kami sampai di sebuah gubug kayu beratap
seng. Nampaknya inlah Pos 1. Saat itu kudengar sayup-sayup tawa
canda para bocah di balik bukit. Kulayangkan pandanganku ke lintasan
di depan mata kami. Dari gubuk ini ada sebuah tanjakan curam dan
berkelok di ujung puncaknya. Sepertinya, suara-suara itu berasal dari
ujung kelokan tersebut.

Kukanthi jemari kecil anakku, dan kuajak terus melangkah. Satu tanjakan
lagi nak, jangan menyerah, bisikku dalam hati. Kami melangkah satu-satu.
Nafas berhembus setarikan demi setarikan. Pelahan sekali. Akhirnya sampai
juga kami diujung kelokan, dan di depan kami terpaparlah pemandangan
yang kemudian menjadi lead catatan perjalanan ini:

Di hamparan sekitar setengah hektar itu pandangan saya nanar.
Ratusan batang cemara menjulang mengenaskan: meranggas tak
berdaun, dengan batang terkelupas menghitam bekas terbakar...

Kulepas tangan Rausyan yang segera bergabung dengan saudara
dan kerabatnya. Ia mencoba naik ke batu besar, namun gagal.
Kami tertawa. Aku duduk dan mengempos seluruh pancaindera
untuk mencecap panorama di sini. Kucoba mengingat bait terakhir
”Derai-derai Cemara”-nya Chairil Anwar. Katanya:

hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

Sekali lagi kulihat sekeliling kawasan ini. Ratusan cemara bekas terbakar
di sana-sini. Tetapi tunas-tunas baru telah siap menunaikan darmanya:
hidup dan memberi kehidupan. Kupenuhi rongga dadaku dengan
oksigen sebanyak-banaknya, lalu kulepaskan penuh kelegaan.

hari semakin sore. Angin berhembus dan kurasakan semakin dingin
saja. Setelah beberapa saat larut di kawasan ”Cemara Menderai” ini,
kami memutuskan turun. Kali ini aku tak sepakat dengan Chairil.
Di Lawu, hidup tidak untuk menunda kekalahan. Di sini hidup
adalah musim semi bagi seluruh harapan akan kebaikan.