Sunday, October 12, 2008

Fenomena Laskar Pelangi


Tidak banyak karya sinema di negeri ini yang bisa dipertanggung
jawabkan secara estetik, sekaligus pada saat yang sama mampu
memberikan inspirasi kepada khalayak penontonnya. Film Laskar
Pelangi adalah salah satu dari yang sedikit itu. Film ini sangat enak
ditonton. Tetapi ia akan jauh lebih bernilai jika sejumlah kearifan
yang tersimpan didalamnya dijadikan inspirasi untuk bekerja lebih
keras menghadapi persoalan riil.

Tidak ada hero dalam film ini. Yang ada adalah kisah anak manusia
biasa-biasa saja, tetapi mereka percaya bahwa mimpi merupakan
hak setiap orang dan kerja keras adalah sebuah pilihan. Dan, para
tokoh Laskar Pelangi memilih kerja keras untuk mewujudkan
mimpi-mimpinya.

Laskar Pelangi yang dibesut Riri Reza ini sudah memecahkan
rekor jumlah penonton ketika pemutaran filmnya memasuki
hari keempat. Penonton saat itu mencapai lebih dari 300 ribu
orang. Ini angka yang belum pernah dicapai film-film box-office
lain. Sejumlah kalangan memperkirakan Laskar Pelangi akan
melampaui rekor penonton Ayat-Ayat Cinta yang mencapai
3,8 juta orang selama dua bulan masa pemutaran.

Keberhasilan tersebut tentu tak bisa dilepaskan dari novel
dengan judul sama karya Andrea Hirata yang menjadi dasar
pembuatan filmnya. Novel terbitan Bentang (Mizan Group) ini
pun sukses dalam penjualan. Lebih dari setengah juta eksemplar
sudah laku sejak diterbitkan pertama kali. Ada yang mengatakan
inilah novel paling berpengaruh di Indonesia saat ini—terlepas
dari kegenitan sebagian “priyayi” sastra Indonesia yang
mempersoalkan kadar kesastraannya.

Laskar Pelangi berkisah tentang daya tahan luar biasa 10 anak
Belitong yang miskin dalam menjalani pendidikan ditengah
keterbatasan ekstrim. Bangunan SD Muhamadiyah tempat
mereka belajar, misalnya, demikian rapuh, hingga “bisa saja
roboh tersenggol kambing yang ngebet kawin”, demikian
metafora Hirata dalam bukunya. Bangunan sekolah itu memang
berfungsi sebagai kandang kambing begitu malam tiba.

Dikisahkan betapa ke-10 anak itu selalu saling menguatkan
dalam segala keadaan. Seorang murid, misalnya, mesti menempuh
jarak 80 kilometer bersepeda setiap hari untuk ke pulang-pergi
sekolah. Seorang lainnya yang mengalami keterbalakangan
mental selalu diterima baik dalam lingkungan mereka. Pendeknya
mereka menjalin persahabatan yang indah.

Ke 10 anak ini dibimbing dua guru yang memandang pendidikan
sebagai penggilan jiwa: Ibu Muslimah dan Pak Harfan. Maka,
bahkan meskipun dibayar seadanya, mereka ikhlas mencurahkan
kasih sayang membimbing Laskar Pelangi.

Tekad dan kerja keras mewujudkan mimpi, itulah kebajikan
kisah ini. Dan para penikmat Laskar Pelangi “tercekam” karena
ini bukan cerita fiktif. Kemiskinan akut dan 10 anak yang menolak
tunduk pada keterbatasan itu benar-benar nyata. Ini adalah kisah
sejati Andrea Hirata dan kawan-kawannya yang dikemas secara
sastrawi, dan lalu difilmkan Riri dengan apik.

Jika Hirata dan kawan-kawan menolak menyerah, kita tahu nilai
itulah yang mestinya diterapkan untuk menangani sejumlah
persoalan pendidikan di negeri ini. Di sekitar kita masih ada lebih
setengah juta anak usia sekolah dasar dan madrasyah ibtidaiyah
yang putus sekolah. Bangunan sekolah yang memprihatinkan pun
masih ditemui dari Siberut Utara, Garut, hingga Samarinda.

Dari Belitong kebajikan moral itu telah diajarkan anak-anak
yang hidup dalam kemiskinan. Hanya kepicikan dan kebebalan
pikiran jika kita dan para pemegang kuasa tak bisa belajar darinya.