Wednesday, June 04, 2008

Bola Sang Alkemis (Menuju Euro 2008)



Tinggal beberapa hari lagi menuju Euro 2008,
perhelatan akbar yang rasanya bakal menjadi
mimpi sejenak bangsa ini seraya melupakan sejuta persoalan. Berikut artikel yang saya tulis berkaitan dengan Piala Dunia 2006 silam.
==================================


Di Fan Fest, dekat Jembatan Brandenburg, Berlin, itu, Paulo Coelho
berdiri takjub. Di hadapan layar raksasa yang menayangkan tarung
duatim, ribuan manusia berbagai bangsa tumplek di sana. Kibasan
berbagai bendera. Koor membahana. Dan, nasionalisme
menggelegak ke udara. “Ini sebuah festival…,” bisiknya pada diri
sendiri. Ia merasakan umat manusia tengah merayakan impian
kolektif dan menitipkannya pada 22 laki-laki yang berlaga di
lapangan.

Impian tentang kemuliaan sebuah bangsa? Tidak, karena Coelho
lalu menyaksikan pendukung tim yang berbeda saling
bergandengan tangan begitu pertempuran usai. Saat itu musik
kembali dimainkan. Fan Fest senantiasa dalam keriaan. Dan,
dia melihat impian anak manusia untuk bisa hidup saling
berdampingan telah dihantarkan sebuah permainan bernama
sepak bola. Tanpa kecanggungan.

Mungkin ia segera teringat Santiago, tokoh utama dalam novelnya
yang menggetarkan, Sang Alkemis. Inilah bocah penggembala yang
memilih berpihak pada mimpi-mimpinya. Bedanya, Santiago
mencarinya dalam pengembaraan sepanjang Andalusia hingga
Mesir—dalam kesendirian. Kepada Santiago ini, Coelho seperti
mecangkingkan mimpinya tentang dunia yang ia harapkan.

Apakah Coelho telah terpilih untuk memberikan kesaksian: sastra
dan sepakbola sama-sama memberikan harapan membuat dunia
menjadi lebih baik? Ini kedengarannya mengada-ada. Uniknya,
Klaus Maine memberikan kesaksian mirip. “Musik dan sepakbola
dapat mengubah dunia. Karena inilah bahasa dunia,” titah vokalis
Scorpions itu.

Sastra lebih dari sekadar bahasa dunia. Dia adalah bahasa
kemanusiaan. Padanyalah harapan paling sederhana dari
kemanusiaan kerap dibisikkan. Ya, karena sastra merawat mimpi
kemanusiaan jauh dari hiruk pikuk. Juga dengan kesabaran.
Dr Zhivago yang ditulis Boris Pasternak, misalnya, baru bisa
dinikmati publiknya sendiri setelah 25 tahun. Nasibnya mirip
tetralogi Pulau Buru.

Beberapa pekan sebelum Piala Dunia dibuka, sebuah simposiom
bertema “Sastra Dunia Jumpa Sepak Bola Dunia “ digelar di Berlin.
Acara yang dihadiri sastrawan terkemuka beberapa negara ini
hendak melacak relasi sastra dan sepak bola dalam merespon jaman.
Hanning Mankell, penulis kondang Swedia, berceloteh, sastra dan
sepak bola berurusan dengan hal sama, yakni konflik, kontradiksi,
solusi. “Sastrawan dan pemain sepakbola harus membuatnya
menarik, agar bisa dinikmati,” katanya.

Menarik atau tidak adalah soal lain. Tetapi misi suci sastra maupun
sepakbola tak bisa dicapai instan. Toh, itu mesti tetap
diperjuangkan. Terngiang kata-kata Santiago,” Kemungkinan
mewujudkan mimpi menjadi kenyataan, akan membuat hidup
lebih menarik.”

Untuk itu Pasternak bersedia menunggu 25 tahun. Dan, sepak
bola bersedia menunggu lebih lama lagi. Lihatlah, Sheffield, klub
sepak bola pertama di dunia itu didirikan pada 1875. Saat itu
pertandingan hanya dimainkan antar sesama angota klub: tim
yang sudah menikah melawan tim para lajang. Atau anggota
yang sudah bekerja melawan pengangguran.

Kini, 131 tahun kemudian, anak segala bangsa saling bertemu di
Jerman untuk merawat persahabatan. Dan, Coelho pelan-pelan
merasa, sang mimpi mulai mengetuk pintu kenyataan. ***