Friday, December 05, 2008

Sego Segawe

Ketika warga Yogjakarta mendeklarasikan gerakan Sego Segawe, saya tak heran. Kota ini memang selalu ada di garda depan dalam setiap dinamika kebudayaan. Gerakan Sepeda Kanggo Sekolah Lan Nyambut Gawe (akronim Sego Segawe) jelas bagian dari aksi budaya yang tak main-main.

Mari kita lihat. Saat ini umat manusia tengah ramai-ramai melakukan penghancuran diri-sendiri. Alam yang semestinya menjadi pelindung kita, diganyang habis-habisan. Hutan-hutan digunduli, kekayannya dirampas untuk memenuhi nafsu serakah para mega-cukong.

Garis pantai diporak-porandakan, katanya untuk penambangan biji besi. Dataran luas diacak-acak demi pembangun pabrik semen. Bahwa , kandungan air tanah yang menjadi gantungan jutaan manusia sekitarnya tercemar, dianggap angin lalu. Uang-lah yang bicara, dab!.

Di kota, orang berlomba-lomba memenuhi jalanan dengan kendaraan bermotor. Mereka ramai-ramai mengecat langit (yang semula) biru menjadi abu-abu dengan asap knalpot.

Tetapi tampaknya tak banyak yang mahfum bahwa semua itu adalah penyumbang terbesar gejala pemanasan global. Inilah keadaan dimana suhu permukaan bumi meningkat akibat efek rumah kaca. Jika dibiarkan terus, bagian Utara belahan Bumi Utara akan memanas. Lalu gunung-gunung es mencair dan daratan mengecil. Permukaan laut naik. Dan, kita semua diambang mara bahaya!

Memang, ada, sih, yang sejatinya tahu soal itu. Tetapi ia memilih cuek dan menganggap ancaman itu masih lama. Belanda masih jauh, katanya. Maka apakah pedulinya tentang data bahwa kota-kota didunia adalah penyumbang tiga perempat emisi CO2 ke langit luas?

Untunglah tak semua tenggelam dalam “kebodohan” itu. Polusi harus dikurangi. Sebagian melakukanya dengan cara sederhana, namun sangat berarti: kembali menggunakan sepeda untuk bepergian. Di Jakarta dan kota-kota besar ada gerakan Bike To Work (B2W). Dan di Yogjakarta, ya Sego Segawe itu.

Ini adalah gerakan budaya karena bertujuan memercikan kesadaran baru di benak setiap orang. Orang perlu disadarkan, ancaman kehancuran sejatinya sudah ada di depan mata.

Tetapi gerakan itu hanya akan jatuh menjadi aksi-aksian saja belaka jika tak berkelanjutan. Pemerintah kota mesti mendukung dengan langkah nyata, misalnya membangun jalur khusus sepeda. Kalau perlu menerbitkan peraturan yang melindungi kenyamanan pejalan kaki dan pesepeda.

Itulah yang dilakukan di Bogota, ibukota Colombia. Pemerintah setempat telah membangun jalur sepeda sepanjang 350 kilometer. Dengan dukungan seperti itu, kini 30 persen warga Bogota menggunakan sepeda sebagai alat transportasi utama.

Walikota Yogjakarta Herry Zudianto juga bisa meniru langkah Walikota London Boris Johnson. Agar gerakan bersepeda menular ke setiap warganya, Johnson menggunakan sepeda untuk bepergian ke manapun—dan tidak hanya jika ke kantor saja.

Monggo, Pak Wali…

*) Gambar dimbil dari http://www.podjok.com