Wednesday, September 17, 2008

Opo-opo Kerso

Kupat duduhe santen, menawi lepat nyuwun pangapunten.

Senyum saya terbit menerima balasan pesan pendek dari Kelik
Pelipur Lara itu. Makna pesan dalam parikan kiriman pemeran
tokoh Ucup Kelik itu adalah sebuah permohonan maaf
(pangapunten) jika ada kesalahan (lepat). Saya mesem karena
simbolisasi yang dipakai Kelik, yakni kupat (alias ketupat) dan
santen, sungguh tepat belaka. Siapakah yang bisa memisahkan
ketupat dari suasana puasa dan Lebaran ini?

Simbolisasi memang masih kental mewarnai aktivisme masyarakat
di banyak momentum sosial dan religi. Juga pada bulan suci kali ini.

Pada setiap Lebaran, kupat tak akan pernah absen di meja-meja
makan keluarga. Dan itu bukan tanpa alasan "filosofis". Tahukah
Anda kupat adalah perlambang dari suasana saling memaafkan?
Ya, karena kupat berasal dari kata ngaku-lepat (bahasa Jawa)
yang berarti mengaku salah. Pada hari Lebaran itulah setiap
muslim saling mengakui kesalahannya untuk kemudian saling
memaafkan.

Dalam khazanah bahasa Jawa, "teknik" mencari kepanjangan
sebuah kata yang klop dengan suasana tertentu semacam ini
disebut jarwodosok atau keratabasa. Contoh lain adalah
gedang (pisang) yang diartikan di-geged bar madhang alias
disantap setelah makan besar. Kenyataannya, buah pisang
memang dinikmati sebagai pencuci mulut setelah makan besar.

Jauh sebelum sampai Lebaran, tepatnya hari-hari menjelang
puasa, masyarakat Jawa masih ada yang menjalani tradisi
padusan. Ini adalah kegiatan yang menyimbolkan upaya
penyucian diri sebelum memulai puasa atau poso dalam bahasa
Jawa. Vokal o di sana dibaca seperti orang mengucapkan kata
dodol.

Padusan berasal dari kata adus yang artinya mandi. Padusan
biasanya dilakukan beramai-ramai di sebuah kedung, sungai,
atau kolam. Di seputar Solo, tempat yang lumayan kondang
adalah kolam pemandian Cokrotulung (Klaten) dan Pengging.

Bersama lalunya waktu, tradisi padusan mengalami pengayaan
format. Sekarang padusan sudah jadi komoditas wisata lokal.
Momentum padusan biasanya diramaikan dengan pertunjukan
dangdut atau keriaan lainnya untuk menarik pengunjung.

Kadang padusan juga harus menyesuaikan dengan kehendak alam. ]
Waktu kecil, teman-teman sekampung saya ber-padusan di Kali
Krangkeng. Tahun lalu ketika mudik, saya temui kali itu sudah
lenyap "dimakan" kemarau. Saya tak tahu, apakah dengan demikian
padusan tak dilakukan lagi atau masyarakat mencari lokasi lain.

Selain padusan, masyarakat masih menjalani beberapa tradisi,
yakni ruwahan dan nyadran. Keduanya menyimpan simbol-
simbol tertentu yang berkaitan dengan penyucian diri
dan penghormatan pada leluhur.

Kemudian masuklah pada bulan puasa (poso). Uniknya, setahu
saya tak ada simbolisasi apa pun yang berkaitan dengan inti
ibadah saum ini. Tak ada ritual bikinan masyarakat pengiring
puasa. Juga tak ada jarwodosok untuk kata poso.

Tapi saya ingat, kata poso dipelesetkan menjadi opo-opo kerso
(semuanya mau). Ini ditujukan kepada para bocah yang malas
puasa. Saya pernah distempel dengan pelesetan itu karena
hingga kelas 2 SD masih malas puasa.

Kini, saya ingin menyematkan pelesetan itu di jidat para koruptor
yang setiap bulan puasa ikut shaum, tapi ternyata tetap gemar
menilap harta haram. Mereka yang ikut terlihat suci pada Ramadan,
tapi ternyata tetap opo-opo kerso pada apa saja: dari wanita hingga
uang suap. Mereka yang kini terlihat sok kalem di depan publik,
main akrobat pernyataan membersihkan diri, tapi sebenarnya tahu
Allah SWT tak dapat dikibuli.

Mereka ini tampaknya poso, tapi sejatinya tetap rakus menyikat
semua yang berbau haram untuk kepentingan sendiri. Mereka
kebanyakan ada di parlemen, instansi pemerintah, pengusaha
hitam, pengacara busuk, dan lain-lain...

*) Gambar diambil dari www.geocities.com

No comments: