Wednesday, September 10, 2008

Puasa Klotekan

Kenapa bulan ramadhan begitu mudah membawa kenanganku kepada masa kanak-kanak? Saya tergoda mencari tahu soal itu sesaat setelah terbangun untuk sahur pada hari pertama Ramadhan tahun ini. Saat itu saya jaga oleh suara tetabuhan disertai teriakan ajakan sahur rombongan anak-anak yang lewat di depan rumah. Ramai sekali—jika tak ingin disebut berisik.

Tetapi suara tetabuhan itu telah melemparkan kenanganku ke masa bocah. Dulu saya pernah melakukan hal serupa. Posisi saya adalah pemukul kaleng bekas dalam ”orkestra sahur” yang kami sebut klothekan itu. Dengan berkalung sarung penahan hawa dingin, rombongan kami menyusuri seluruh pelosok kampung di kaki Gunung Lawu itu tanpa lelah. Asyik sekali.

Hal demikian selalu terulang setiap tahun. Maka setiap Ramadhan kami lalui dengan bergairah. Karena selain klothekan kami menjalani tradisi lainnya. Pada siang hari, misalnya, kami adu mercon bumbung sampai sore. Malamnya, sehabis sholat taraweh, anak-anak main petak umpet beregu—istilahnya cece-bence. Imbauan peceramah agar memperbanyak ibadah selama puasa hilang begitu saja saat kaki melangkah keluar masjid.

Kini saya curiga, Ramadhan begitu memancing kenangan dan romantika karena pekatnya tradisi yang menyertai. Sebenarnyalah saya menikmati hal itu. Hanya saja rasa tak berdaya kerap mengusik ketika menyadari justru perhatian kepada tradisi kerap lebih besar ketimbang pada instisari puasa. Bahkan hingga kini.

Tentu saja saya tidak klothekan lagi sekarang. Tetapi, sumpah, saya kerap tergiur memenuhi undangan buka bersama yang datang dari sana-sini itu. Saya selalu suka ber-haha-hihi dengan kenalan atau orang-orang yang baru kenal di acara itu. Saya juga kerap tak kuasa menahan godaan untuk melalap semua acara teve lucu-lucuan yang marak sepanjang Ramadhan dengan iklan super banyak itu. Semua tradisi masa kini itu sungguh menyenangkan hati.

Tetapi setelah semua itu, pada suatu malam, saya kelelahan sendiri di rumah. Lalu malam merambat tua. Sunyi mendaulat sekeliling. Saya belum bisa terlelap ketika sebuah suara --entah dari mana datangnya-- menyapu telinga saya. ”Sudah berapa jauhkah engkau berjalan dari masa kanak-kanakmu? Atau jangan-jangan engkau tak melangkah kemana-mana? Apakah bedanya klothekan yang kau lakukan dulu dengan sibuk wira-wiri kesana-kemari sekarang ini?”

Saya nyaris emosi. Tetapi suara itu terdengar lagi. ”Tak ada yang salah dengan tradisi. Hanya saja engkau gagal meletakkan biji timbangannya dengan tepat.”

Malam itu saya tetap terjaga, hingga seruan imsak berkumandang dari corong masjid...

No comments: