Monday, March 17, 2008

Sebuah Sore Bersama Scott HT


”Sendiri saja pak?” tanya mas Joko Thor begitu saya turun dari sepeda persis di depan rumah. Keringat belum lagi kering setelah sekitar 1,5 jam
saya nggowes. Tetapi tentu saja saya senang bisa ngobrol dengan tetangga.

Hanya satu kalimat saja pertanyaanya. Tapi dari sorot matanya tampak ia meyimpan beberapa pertanyaan lain. Kayaknya, sih, demikian...
Tapi saya maklum. Saat itu sudah menjelang maghrib ketika saya baru nyampai. Bukan waktu yang lumrah untuk nggowes. Ngapain nyepeda sore-sore? Sendirian lagi. Kira-kira demikian keheranan Mas Joko dalam terawangan saya--pada saat senjakala begini, indera keenam saya memang lagi tajam-tajamnya.

Alasan saya sih sederhana. Minggu pagi tadi tak sempat nggenjot karena ada
acara. Maka sore sekitar pukul 16.15, Scott Hardtail kukeluarkan dari
parkirannya. Apalagi cuaca lumayan mendukung. Hujan yang beberapa hari
terakhir menyerbu bumi, sore ini absen.

Di sepanjang ruas jalan depan rumah, anak-anak gembira bermain menikmati
sore. ”Hm, nikmatilah masa kanak-kanakmu sepuasnya, nak. Dan biarkan orang
tua ini ikut mencicipi sore yang cerah dengan pit-pit-an...,” kataku dalam hati
seperti dialog-dialog dalam pertunjukan teater pas bandrol itu.

Saya memutuskan tak akan masuk ke singletrack. Kalau terjadi apa-apa, bakal
repot. Maka keluar dari komplek Graha Harapan saya menyusuri jalan aspal
ke arah Ciketing. Aspal? Ya, demikianlah formalitasnya. Tetapi kalau ada kerbau
berkeliaran di sini pasti akan menemukan surganya. Makhluq mamalia itu punya
banyak pilihan untuk berkubang.

Melihat parahnya kerusakan di sini, jalan aspal ini saya usulkan dialihkan fungsikan
saja untuk tempat bercengkerama kerbau! Hahaha...!

Tapi "syukurlah" jalanan hancur ini bukan hanya ada di sini. Hampir di seluruh
Bekasi sangat sulit untuk mencari jalan yang 100% mulus. Dan syukur pula hal
semacam ini tidak dianggap sebagai masalah serius oleh Pemrintah Kota Bekasi,
sehingga jalan hancur-lebur benar-benar dilestarikan di wilayah ini.
Terima kasih, Pak!

Sampai di pertigaan Ciketing, saya berbelok ke kiri. Biasanya saya menyusuri
jalan yang menghubungkan Bantargebang-Setu ini dari arah berlawanan.
Tetapi biarlah sore ini saya akan membuatnya berbeda. Tetapi apa bedanya
jika di jalur utama semacam ini, seepda tetaplah dianggap sebagai moda angkutan
kelas sudra?

Dari arah belakang, klakson mobil, truk, dan sepeda motor silih berganti
meminta kita minggir. Dari arah depan mereka akan merampas jalur kita
jika kebetulan melewati jalan yang –lagi-lagi— amburadul. Sungguh, tidak
ada tenggang rasa sedikit saja. Saya yakin, jika pengendara semacam itu
diberi kesempatan berkuasa dia akan jadi tukang serobot apapun.

Tetapi saya cuek. Sore begitu cerah, dan saya tak ingin merusaknya dengan
larut dalam emosi. Saya menikmati goesan sekayuh demi sekayuh. Angin,
panorama sekitar, langit yang mulai merah tembaga di beberapa tempat, dan
seluruh sketsa alam karya Sang Pelukis Agung ini ingin saya resapkan ke seluruh
pori-pori tubuhku. Ah, tetapi kenapa orang-orang itu selalu terburu-buru seolah
waktu tak pernah cukup?

Sampai di warung Sengon tempat para Gragoters (dulu) biasa rehat, saya
belok kiri memasuki jalur asam urat. Begitu masuk kampung, seluruh hiruk-
pikuk seperti raib begitu saja.

Tak ada yang berubah dari kawasan ini. Tetapi melintasinya menjelang sore,
rasanya sedikit lain. Karena rimbunnya pepohonan di halaman rumah dan
pinggir jalan, beberapa sudut tampak lebih gelap dari yang lain. Waktu kecil dulu
di kampung, saya selalu merasa ada misteri di tempat-tempat semacam itu.
Kini saya mengenangnya di atas sadel yang melaju pelan—gir depan dan belakang
di paling rendah. Toh, misteri itu masih terasa juga kini.

Jalur asam urat ini terus membawa saya ke arah Danau Cibereum. Dan, eits,
di sebuah warung menjelan tembok Danau Ciberueum, tampak beberapa
perempuan berdandan menyolok lagi asyik main kartu di bagian depan.
Saya hanya melirik sekilas, tetapi merasa pandangan mereka membuntuti saya.

Apakah mereka ini, ah...., saya tak berani melanjutkan fikiran saya.
Dan setelah melewati trek tanah yang super becek, tiba-tiba saya sampai
di lokasi perumahan elit yan tengah giat dibangun: Grand Wisata. Inilah
kawasan real-etstate yang paling hot di Bekasi saat ini. Sebuah kawasan
ribuan hektar yang melahap lahan sawah, kebub karet, padang ilalang,
dan perkampungan.
”Beberapa keluaga di kampung Kopen sudah mula
pindah,” kata seorang remaja yang tengah duduk di tumpukan lembaran
beton pinggir jalan. Ia bersama dua temannya menikmati sore seraya
memandang kampungya di seberang danau. Apakah yang tengah mereka
pikirkan? Saya tidak tahu.

Setelah itu saya memacu Scott saya membelah komplek dan melewati
beberapa cluster: East Esplanade, Garden Fiesta, Festive Garden, dan....
saya tak ingat lagi nama-nama aneh itu. Jalanan di komplek ini semua mulus.

Konstruksi unit rumah begitu menawan. Setiap cluster haya memiliki satu
pintu dengan tembok besi nan menjulang. Saya ikut bahagia, karena pasti
mereka yang tinggal di kawasan kemilau ini pasti juga orang-orang yang
bahagia.

Begitu keluar komplek impian ini, saya kembali mendapati Real-Bekasi.
Jalanan hancur lebur seperti habis perang dunia, kendaraan motor saling
berebut akses, pejalan kaki tak punya jalur khusus, wajah-wajah miskin
senyum seperti diburu setan bernama waktu, dan semacam itulah...

Scott saya gowes di antara seluruh carut-marut itu. Nafas memburu. Emosi
mulai mendidih. Sepedaku berzig-zag diantara kecamk lalu-lintas tak beraturan
sore itu. Secara tak sadar, ternyata saya sudah larut di dalam belantara yang
sudah tak mengindahkan aturan itu.

Ah, apakah akhirnya kita memang tak bisa mengelak dari arus besar
ketergesaan semacam ini? Saya sampai di Graha Harapan sekitar pukl 17.45,
dan datanglah sapaan itu, ”Sendiri saja, Pak?”

Kini, saya tahu, saya tak sendiri dalam gerusan arus jaman yang serba terburu ini

No comments: