Friday, July 24, 2009

Jangan Lecehkan Pilihan Rakyat!

Ditengah tudingan banyaknya kecurangan dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009, Komisi Pemilihan Umum akhirnya merampungkan rekapitulasi suara nasional. Bisa dipastikan hasil rekapitulasi yang rencananya disahkan pada hari ini (Sabtu) tersebut akan menimbulkan reaksi pro-kontra dari peserta Pemilu maupun masyarakat. Meski demikian semua kalangan semestinya bisa menerima hasil penghitungan tersebut secara dewasa dan bijak. Ini tidak dimaksudkan untuk mengabaikan berbagai temuan kecurangan Pemilu. Seluruh kecurangan itu justru harus diselesaikan dalam koridor hukum demi tegaknya demokrasi.

Dari hasil rekapitulasi Komisi menyatakan pemilihan berakhir dalam satu putaran. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono--Boediono tercatat meraih suara terbanyak dengan 60,8 persen. Ini jauh diatas syarat minimal untuk menjadi pemenang, yakni 50 persen plus satu suara. Porsentase itu melamapaui perolehan suara dua kandidat lain, yakni Megawati Soekarnoputeri--Prabowo Soebianto dengan 26,79 persen, dan Jusuf Kalla--Wiranto sebesar 12,41 persen. Di lebih 50 persen jumlah propinsi, suara Yudhoyono--Boediono juga melampaui 20 persen. Sesuai ketentuan, dengan terpenuhinya dua hal tersebut sudah tercukupi syarat untuk menentukan pemilihan selesai dalam satu putaran.

Bersikap bijak dan dewasa menerima keputusan tersebut tak lain merupakan refleksi untuk menghormati pilihan rakyat. Bisa dipastikan pemilihan kali ini berlangsung bebas tanpa tekanan. Rakyat memiliki keleluasan 100 persen untuk menentukan pilihan berdasar preferensi masing-masing. Dan kini mereka telah memilih --sekali lagi tanpa paksaan-- siapakah yang akan menjadi nahkoda negeri ini untuk lima tahun ke depan.

Kita juga melihat sejak hari pencontrengan hingga sekarang tak terjadi gejolak di tingkat masyarakat terkait pemilihan. Usai pencontrengan masyarakat kembali ke rutinitas harian secara normal. Tak ada dendam yang dilampiaskan, karena memang tak perlu. Ibaratnya, perbedaan pilihan politik langsung dikubur begitu keluar dari bilik suara. Masyarakat sudah cukup dewasa untuk memahami bahwa kerekatan sosial terlalu berharga untuk dipertaruhkan dalam pertarungan politik.

Ini perkembangan yang patut disyukuri. Masyarakat sudah mengerti bahwa pertarungan kekuasaan bisa dikelola lewat jalan demokrasi--dan tidak melalui adu kekuatan. Kemajuan yang sudah jauh ini sungguh tidak layak dilecehkan, misalnya, dengan cara-cara membabi buta menolak hasil pemilihan.

Tetapi tak bisa dipungkiri, ingar-bingar menyoroti pelaksanaan bukannya sama sekali tak terjadi. Kalangan elite politik dan lembaga swadaya banyak mengungkapkan adanya praktik kecurangan pemilihan di banyak tempat. Jenis kecurangan itu mayoritas bersumber pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang tidak akurat. Hingga peroses rekapitulasi dilakukan, hal ini bahkan memicu dua saksi dari kubu Mega-Prabowo dan Kalla--Wiranto melakukan aksi walk out.

Koran ini mendorong semua pihak menggunakan jalur hukum yang sudah disediakan Undang-Undang Pemilu untuk menuntaskan perkara tersebut. Ada tiga jenis pelanggaran yang tercantum di sana, yakni pelanggaran administrasi pemilu, pelanggaran pidana pemilu, dan perselisihan hasil pemilu. Pelanggaran administrasi menjadi kewenangan KPU untuk mengatasinya, pelanggaran pidana adalah domain penegak hukum, dan perselisihan Pemilu harus dibawa ke Mahkamah Konsitusi.

Lewat koridor inilah pihak-pihak yang memiliki bukti kuat kecurangan menyalurkan pengaduannya. Semua pihak berkepentingan agar pemilihan menghasilkan pemimpin yang legal sekaligus memiliki legitimasi kuat. Jalur hukum ini adalah cara untuk mencapai hal itu.

Pemilihan kali ini harus menjadi pelajaran penting juga dari segi penyelenggarannya. Kami sepakat dengan pandangan kinerja KPU sungguh tak mmeuaskan. Untuk itu parlemen baru yang bertugas memilih anggota Komisi untuk proses pemilihan lima tahun mendatang, harus bekerja profesional. Mereka harus sanggup melepaskan kepentingan politik sempit-nya guna menghasilkan KPU baru yang lebih profesional. Sungguh tak elok jika bangsa ini mesti terperosok (lagi) kedalam lobang yang sama.

*) Veri ediitng naskah ini dimuat sebagai Tajuk Rencana dalam Koran Tempo edisi Sabtu, 25 Juli 2009

Sunday, July 12, 2009

Menjaga Solo



Dawet telasih. Saya nyaris tak pernah absen menikmati jajanan minuman itu setiap pulang kampung ke Karanganyar. Aroma dan rasa es dawet yang sangat khas itu selalu menarik minat
saya untuk blusukan ke Pasar Gede, Solo, tempat penjualnya mangkal. "Ritual" itu pulalah yang saya lakoni ketika ngancani acara liburan anak-anak belum lama ini.

Dawet telasih, bagi saya, adalah wakil dari sesuatu yang langgeng pada Kota Solo atau Surakarta Hadiningrat. Posisinya setara dengan kue serabi Notosuman, tengkleng Pasar Klewer, kupat tahu dekat Masjid Solihin, kue intip Pasar Gede, dan tentu saja budaya angkringan. Ini adalah jajaran penganan yang tidak sekadar bisa dinikmati sebagai pengisi usus besar kita, tapi juga menjadi ikon kuliner yang barangkali ikut menyertai sejarah Kota Solo dalam beberapa dekade terakhir.

Ini bukan soal romantisisme. Tapi ini sebenarnya bagian dari harapan yang diam-diam tumbuh di hati saya tentang Kota Solo. Harapan itu kian membesar justru saat saya melihat apa yang kini tengah berkembang di tetangga Kota Solo, yakni Yogyakarta.

Saya berharap Solo mampu meniti perkembangan zaman dengan kepribadian yang kuat. Dengan demikian, kota ini tidak larut dalam gelombang modernitas, tapi mampu melayarinya dengan baik.

Yogyakarta dengan tujuh atau delapan mal yang menumpuk di dalam kota, hampir menjadikan kota itu bak miniatur Jakarta. Dus, kini ada kekuatan dari delapan mata angin yang terus mengembuskan budaya mal di kota kecil ini. Inilah budaya yang bertumpu pada pentingnya hubungan ekonomi dan keserbainstanan.

Memang, masih perlu diteliti, apakah dengan demikian sistem sosial dan budaya di kota ini juga semakin men-Jakarta. Tapi setidaknya ini lebih menimbulkan perasaan khawatir ketimbang
rasa bangga.

Pada Solo, saya menemukan percikan harapan itu masih lebih besar ketimbang rasa khawatir. Bahwa saya masih bisa menikmati dawet telasih di Pasar Gede, itu hanyalah secuil alasan. Ada alasan substansial lain. Dengan mata kepala sendiri, sewaktu blusukan ke sudut-sudut Kota Solo itu, saya melihat penataan kota ini sungguh menjanjikan secara budaya. Pusat kota, misalnya, tak disesaki mal.

Jauh sebelum itu, saya juga membaca berita tentang berbagai acara budaya di kota ini, misalnya World Heritage Cities Conference and Expo, Solo Batik Carnival, Solo International Ethnic Music, dan lain-lain. Acara-acara semacam itu akan menjadi katalisator perkembangan budaya lokal.

Tetapi Solo bukannya tidak menyimpan slilit. Saya juga masih mendengar berita bahwa ada kekuatan modal yang berupaya mendesakkan proyek pembangunan seraya membahayakan
salah satu ikon kebudayaan kota ini, yakni Benteng Vestenberg.


Konon, di sini akan dibangun sebuah hotel dan pusat perdagangan modern. Ini sungguh mencemaskan. Agak sulit masuk dalam logika bahwa sebuah agen kapitalisme bisa bersanding dengan ikon kebudayaan (dan sejarah) tanpa salah satunya cedera atau hancur. Saya berharap petinggi Kota Solo dapat menangani hal itu dengan kecerdasan budaya yang mumpuni.

Seandainya kelak benteng itu lumat oleh tuntutan modal, saya tak tahu masih bisakah saya menyeruput es dawet telasih Pasar Gede dengan nikmat. Saya mungkin akan keselek!

Thursday, July 09, 2009

Runtuhnya MItos Di Balik Kemenangan SBY

Sejumlah pelajaran bisa ditarik dari kemenangan pasangan Susilo
Bambang Yudhoyono--Boediono. Keunggulan duet itu menunjukkan
kian matangnya pemilih dalam menentukan sikap politik. Fenomena
itu juga menegaskan bahwa bangsa kita sudah berada di jalur yang
tepat untuk terus menempuh jalan demokrasi sebagai alat dan
cara mengatasi perbedaan.

Kemenangan Yudhoyono-Boediono memang belum resmi.
Angka kemenangan baru terlihat dari hasil hitung cepat (quick count)
Komisi Pemilihan Umum dan berbagai lembaga riset. Namun,
seperti pada pemilu legislatif yang lalu, perolehan hitung cepat
biasanya tak berbeda jauh dengan hasil resmi.

Maka, dari hasil hitung cepat itu kita bisa membaca berbagai hal
di balik kemenangan duet usungan koalisi pimpinan Partai
Demokrat tersebut. Pada awal kontes presiden berlangsung,
pasangan Yudhoyono-Boediono menuai kritik karena tak mengikuti
mitos bahwa pasangan calon harus merepresentasikan Jawa
dan luar Jawa. Muncul opini, pasangan yang sama-sama Jawa ini
akan menimbulkan resistansi dari pemilih di luar Jawa.

Mitos itu terbukti runtuh. Pasangan Yudhoyono-Boediono
mampu mengeduk suara terbanyak di beberapa kantong suara
penting luar Jawa. Kemenangan besar diraih di Sumatera
(termasuk Nanggroe Aceh Darussalam), Kalimantan Barat dan
Selatan, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Maluku, dan Papua.
Bahkan, di Bali, Yudhoyono mampu mendapatkan suara
mendekati pasangan Megawati-Prabowo.

Hasil itu menunjukkan bahwa pemilih kian rasional dan pragmatis
dalam menentukan sikap politik. Pemilih tak mempersoalkan
apakah Yudhoyono-Boediono kombinasi antara Jawa dan non-Jawa
atau bukan. Bagi pemilih, tak peduli dari mana mereka, yang
penting pasangan itu dipercaya mampu memenuhi harapan.

Berkaitan dengan isu runtuhnya primordialisme ini, apresiasi
patut disematkan kepada Jusuf Kalla. Keteguhannya untuk maju
sebagai calon presiden mampu memberi inspirasi bahwa
yang bukan Jawa pun harus berani berlaga sebagai calon presiden.
Kalah-menang soal lain. Yang penting, keberanian untuk
bersaing meruntuhkan mitos primordialisme.

Kalla juga telah membuka jalan bagi tokoh-tokoh terbaik di luar
Jawa kelak, untuk mengikuti jalannya. Khalayak pun kian
memahami posisi tertinggi di republik ini adalah hak siapa saja.


Duet Yudhoyono-Boediono juga unggul di wilayah-wilayah
yang selama ini dikenal sebagai basis pesaing, seperti Jawa Barat
dan Jawa Tengah. Pada pemilihan legislatif yang lalu, Partai
Golkar menguasai Jawa Barat dan PDIP mendominasi Jawa Tengah.
Tapi kali ini duet “Lanjutkan” menang di sana.

Lagi-lagi, sikap rasional-pragmatislah yang membuat
Yudhoyono-Boediono memimpin perolehan suara. Pemilih di
wilayah itu tak menghendaki tawaran perubahan kandidat
lainnya. Mereka ragu untuk mempertaruhkan apa yang
telah dinikmati selama ini. Pemilih enggan mengambil risiko.
Apalagi rekam jejak dua pasangan lainnya juga dianggap
menyimpan “cacat politik”.

Pada akhirnya hal ini menunjukkan bahwa kedewasaan politik
masyarakat semakin tinggi. Masyarakat tak lagi bisa dirayu
dengan pendekatan-pendekatan non-rasional. Khalayak akan
mempertimbangkan hal-hal yang masuk akal sebelum bersikap.
Maka, sungguh aneh jika kedewasaan politik khalayak ini
tidak diimbangi dengan kedewasaan politik para elitenya.
Demokrasi tak bisa lagi menerima sikap kekanak-kanakan.