Wednesday, December 26, 2007

Duka Menderai di Tawangmangu

Hampir sebulan tak menulis (Sejak "Cemara Menderai di Cemoro
sewu"), hari ini sebuah kabar penuh tangis datang dari Tawang
mangu--sekitar 15 kilometer dibawah Cemorosewu. Hujan dua
hari dua malam menggocoh ribuan kubik tanah di pebukitan,
menciptakan longsor yang dahsyat, dan menewaskan 71 anak
manusia yang tengah lelap dibuai mimpi.

Hari itu, Rabu 26 Desember, pukul 04.00, dini hari menjadi
semakin kelam. Hawa dingin di lereng Gunung Lawu, kian
terasa mengiris hati Sadi, 58 tahun, warga desa Mogol,
Ledoksari, Tawangmangu, karena sebagian besar tetangganya
menjadi korban.

Keperihan tentu juga menyayat hati siapa saja yang menyimak
bencana di penghujung tahun ini. Apalagi, bersama tragedi
di Tawangmangu itu, berita duka lain datang dari penjuru
tanah Jawa. Banjir menggenangi kota-kota di Jawa Tengah
dan Jawa Timur.

Tuhan Semesta Alam rupanya belum mengijinkan bangsa ini
menyobek lembar terakhir alamanak 2007 dengan keriaan.
Sebuah pesan telah dikirimkan dari langit, dan kita
musti mencari-cari maknanya di tengah letupan kembang
api di angkasa, denting gelas anggur, dan gelak tawa
yang meriap-riap di ruang pesta.

Hari ini, ingin sekali aku menengok kampung halaman,
sebuah kota kecil di lereng Gunung Lawu, yang tengah
menanggung duka.

Hari ini, semoga doaku sampai ke langit.

Tuesday, November 27, 2007

CEMARA MENDERAI DI CEMOROSEWU


Trekking di pinggang Gunung Lawu, menyimak kisah alam dalam menjalani darmanya.



Di hamparan sekitar setengah hektar itu pandangan saya nanar.
Kulihat puluhan –mungkin seratusan-- batang cemara menjulang
mengenaskan: meranggas tak berdaun, dengan batang terkelupas
menghitam bekas terbakar. Dari tempatku berdiri ini, di ujung kelokan
sebuah bukit, pemandangan itu mengesankan aku sebagai sebuah
karya instalasi tentang keperihan.

Untunglah angin dingin yang berhembus di pinggang Gunung Lawu,
pada pertengahan Oktober itu, bisa mengurangi perasaan haru biru
yang menyergap. Juga tanaman sayur-mayur dan bunga wedusan
yang menghampar di sana-sini membuat kehijauan masih bertahan
di jalur pendakian gunung molek ini. Semua itu bak mengirimkan
pesan sederhana: alam tak akan pernah menyerah oleh kerusakan apa pun.

Sekurangnya itu yang kuharapkan terjadi ketika tiba di kawasan ini
setelah sekitar satu jam mendaki. Sambil duduk mengaso di sebuah
batu besar yang berada di persis di pusat hamparan ini, pikiranku
melayang pada puisi Chairil Anwar berjudul ”Derai-derai Cemara”.

cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
.......

Hm..., apakah yang ingin disampaikan Chairil pada puisi yang ditulis
menjelang kematiannya itu? Sejenis kecemasan akan hari esok? Atau
sebuah keperihan tentang nasib buruk—seperti yang kini menimpa
pinggang gunung yang tegak di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan
Jawa Timur ini?

Kutatap istri dan anakku, juga saudara dan keponakan, yang tergabung
dalam acara trekking keluarga ini. Ya, semula mereka kelihatan masygul
melihat nasib pohon-pohon terbakar itu. Tapi kini mereka sudah ceria
kembali mencecap suguhan orkestra alam yang tak pernah tertemukan
pada lingkungan kota-kota besar nan sibuk.

Kami tadi mulai mendaki dari desa Cemorosewu, yang secara administratif
masuk Kabupaten Magetan (Jawa Timur). Desa ini adalah satu dari dua
pintu masuk jalur pendakian Gunung Lawu yang kondang di kalangan
aktivis pecinta alam. Satu gerbang lagi adalah di desa Cemorokandang,
di Kabupaten Karanganyar (Jawa Tengah), dan jarak keduanya
hanya terpisah setengah kilometer saja. Kedua homebase pendakian
ini dapat dicapai dari Solo kira-kira dua jam perjalanan kendaraan bermotor.

Kami sebenarnya punya impian ingin mendaki sampai puncak. Tapi
kami sudah bukan remaja dengan energi bergelora lagi. Dulu,
dengan darah remaja yang mendidih, kami sering gagah-gagahan
mendaki gunung-gunung di Pulau Jawa. Dan, Lawu tentu saja adalah
gunung yang paling akrab karena dekat dengan kediaman kami
(waktu itu) di Karanganyar.

Tetapi kini kami mesti tahu diri. Setelah belasan tahun tak mendaki,
stamina tak lagi bisa digaransi. Maka, trekking menjadi pilihan paling
masuk akal. Karena dengan demikian kami bisa memutuskan
berhenti kapan saja dan kembali pulang. Tak ada target. Yang
penting bisa melepas kangen pada atmosfer gunung yang sudah
meluap sejak sebelum liburan panjang lebaran ini tiba. Keuntungan
lain, anak-anak bisa diajak untuk mengenal ”tempat main” masa
remaja bapaknya ini. Haha!

Garis start pendakian dimulai dari sebuah gapura yang tampaknya
belum lama dibangun. Di depan gapura ada sebuah pos tempat para
pendaki rehat sejenak sebelum mulai perjalanan. Bagi yang ingin sekedar
berkemah, tenda dapat didirikan di camping ground tak jauh dari gapura.
”Per orang cuma bayar Rp 5 ribu, mas,” kata Danu yang berjaga
di bilik mirip loket persis di balik gapura.

Waktu sudah lewat tengah hari ketika kami mulai melangkah. Lintasan
pendakian terbuat dari makadam. Matahari ada di atas kepala, tapi
sinarnya tak terasa menyengat. Langit begitu biru dengan serakan
awan putih sporadis. Aku tengadah. Dan, kuhirup sepuasnya bau
gunung yang lama tak kurasakan ini.

Hawa sejuk. Aroma tanah. Kemurnian dedaunan—cemara, pohon
puspa serta flora lainnya. Lalu suara-suara binatang yang khas.
Seluruhnya bagai menyiangi panca-inderamu hingga segar kembali.
Jika saat itu sang kekasih ada di sisimu, tanganmu pasti akan
menggendeng lebih erat. Jika engkau penyair, mungkin akan lahir
bait-bait puisi romantis nan liris.

Berbeda dengan trek Cemorokandang yang lebih landai namun panjang,
jalur ini didominasi tanjakan curam dan ndedel. Dikiri-kanan, berbagai
tetumbuhan seperti memagari lintasan selebar 1,5 meter ini. Saya
berusaha melangkah dengan santai dan mengatur nafas agar tak
cepat ngos-ngosan. Tapi, lihatlah, para bocah lebih suka berlari-lari
kecil sambil bercanda. Ya, sebuah kegembiraan yang jujur kurasa
merupakan doping manjur bagi jiwa-jiwa polos tersebut.

Siang itu rombongan kami tidak sendirian menyusuri Lawu. Beberapa
kelompok pendaki ganti-berganti mendahului kami menuju puncak.
Tak sedikit pula rombongan yang sudah turun dengan wajah lelah.
Melihat tongkrongan mereka kenanganku melayang ke masa silam
saat masih aktif munggah (mendaki). Ransel besar, baju flanel,
celana jins, slayer di leher, sepatu gunung, kadang kepala diikat
kain agar terlihat sebagai anak gunung sejati. Hm, aku tersenyum
kecil mengenang masa-masa nan genit itu.

Genit? Ah, kalau melihat seorang anak muda gondrong yang tengah
berjalan turun dengan serenceng bawaan menuju arahku, tampaknya
ia telah melampaui periode itu. Penampilannya seperti laiknya pendaki
gunung biasa. Yang membedakan adalah puluhan bekas botol air minum
yang genteyongan di pinggangnya. Kuduga ia telah memunguti
botol-botol yang dibuang sembarangan itu di sepanjang lintasan turun.

”Wah, bersih-bersih bung?” sapaku saat berpapasan.
”Ya, pak,” jawabnya pendek.

Kuacungka jempol tangan kananku padanya. Ia hanya tersenyum.
Lalu kami berpisah melanjutkan langkah masing-masing.

Kulemparkan pandanganku ke sekeliling. Botol minuman bernergi,
air minum kemasan, bungkus mi instan, tercecer dibuang begitu
saja oleh pendaki lain. Ah, pendaki, seberapa besarkah cintamu
pada alam—atau engkau cuma gagah-gagahan saja dengan segala
akseseoris yang menempel di tubuhmu itu?

Ini kesempatan bagus untuk memberi tahu anakku, Rausyan,
bahwa gunung pun sejatinya layak disayangi dengan menjaga
kebersihannya. ”Tiru om gondrong tadi ya,” nasehatku sok
bijak. Entah, apakah hal semacam ini bisa dipahami
bocah 2,5 tahun itu.

Sudah setengah jam kami mendaki. Suara kendaraan bermotor
tak lagi terdengar. Saya kira posisi saat ini sudah cukup tinggi.
Kini alamlah yang sepenuhnya berdaulat. Hutan, serangga, burung
jalak, angin, awan, dan matahari. Juga nafas kami yang mulai
satu-satu. Rombongan mulai terpecah-pecah. Sebagian anak-anak
dan orang dewasa sudah melesat di depan. Aku dan istri gantian
menggandeng Rausyan mengiringi langkah-langkah kecilnya itu.

Aku ingat, jika mendaki lewat Cemorokandang, dengan waktu
tempuh yang kurang lebih sama, saat ini pasti sudah tercium aroma
belerang. Tapi di jalur ini bau itu sama sekali tak terendus. Gantinya
adalah pemandangan hutan yang mulai memperlihatkan bekas
”luka bakar” di sana-sini. Beberapa batang cemara yang terkelupas
menghitam mulai tampak diantara semak atau flora lainnya.

Sejatinya, kebakaran yang terjadi akhir tahun 2006 lalu itu bukan
sebuah kebakaran hebat seperti tahun 1980-an silam. Kebakaran
terakhir ini hanya terjadi di kawasan dekat Pos 1. Namun saat itu
api sempat menjulur turun ke pemukiman penduduk lewat
semak-semak. Gombloh, warga sekitar, menuturkan saa itu
penduduk sigap menggali tanah guna membendung amukan si
jago merah.

Setelah kebakaran usai warga menanami sayuran dan bunga-bunga
di area bekas kebakaran untuk menggantikan nuansa hijau yang hilang.
”Tak ada yang memerintah, kami lakukan sendiri,” kata Gombloh.
Penduduk juga sudah menanam benih-benih cemara baru untuk
menggantikan pohon yang sudah mati terbakar--agar kelak hijau
tetap abadi di Lawu.

Tentang cemara dan keabadian, aku ingat Kawabata yang mengutip
sebuah puisi Jepang kuno dalam novelnya berjudul
”Seribu Burung Bangau”.

hijau yang abadi,
tapi pohon cemara itu lebih hijau pada musim semi


Musim semi, tentu saja tak akan berlangsung secara harfiah di
gunung setinggi 3265 di atas permukaan laut ini. Tetapi melihat
cara penduduk berhubungan dengan alam sekitar, engkau akan
tahu, bahwa harapan bagai musim semi yang abadi bersemayam
di hati mereka. Dan, kelak, Lawu akan selalu balik menyuguhkan
kehijauannya kepada warga pelindungnya itu. Mungkin juga pada
hatimu yang telah kering digerus mesin kota besar saat engkau
berkunjung ke sana.

Setengah jam berikutnya kami sampai di sebuah gubug kayu beratap
seng. Nampaknya inlah Pos 1. Saat itu kudengar sayup-sayup tawa
canda para bocah di balik bukit. Kulayangkan pandanganku ke lintasan
di depan mata kami. Dari gubuk ini ada sebuah tanjakan curam dan
berkelok di ujung puncaknya. Sepertinya, suara-suara itu berasal dari
ujung kelokan tersebut.

Kukanthi jemari kecil anakku, dan kuajak terus melangkah. Satu tanjakan
lagi nak, jangan menyerah, bisikku dalam hati. Kami melangkah satu-satu.
Nafas berhembus setarikan demi setarikan. Pelahan sekali. Akhirnya sampai
juga kami diujung kelokan, dan di depan kami terpaparlah pemandangan
yang kemudian menjadi lead catatan perjalanan ini:

Di hamparan sekitar setengah hektar itu pandangan saya nanar.
Ratusan batang cemara menjulang mengenaskan: meranggas tak
berdaun, dengan batang terkelupas menghitam bekas terbakar...

Kulepas tangan Rausyan yang segera bergabung dengan saudara
dan kerabatnya. Ia mencoba naik ke batu besar, namun gagal.
Kami tertawa. Aku duduk dan mengempos seluruh pancaindera
untuk mencecap panorama di sini. Kucoba mengingat bait terakhir
”Derai-derai Cemara”-nya Chairil Anwar. Katanya:

hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

Sekali lagi kulihat sekeliling kawasan ini. Ratusan cemara bekas terbakar
di sana-sini. Tetapi tunas-tunas baru telah siap menunaikan darmanya:
hidup dan memberi kehidupan. Kupenuhi rongga dadaku dengan
oksigen sebanyak-banaknya, lalu kulepaskan penuh kelegaan.

hari semakin sore. Angin berhembus dan kurasakan semakin dingin
saja. Setelah beberapa saat larut di kawasan ”Cemara Menderai” ini,
kami memutuskan turun. Kali ini aku tak sepakat dengan Chairil.
Di Lawu, hidup tidak untuk menunda kekalahan. Di sini hidup
adalah musim semi bagi seluruh harapan akan kebaikan.

Saturday, October 27, 2007

Selamat untuk Para Blogger

Sebagai blogger pinggiran, saya ingin mengucapkan selamat atas
penyelenggaraan acara Pesta Blogger Indonesia pada hari ini,
2 Oktober 2007.

Semoga blog dan blooger mampu memberikan kontribusi
positif pada kondisi bangsa yang tengah karut-marut ini.
Semoga tagline yang diusung dalam pesta tersebut, yakni
"Suara Baru Indonesia" bukan sekedar frasa kosong
dan sekadar agar terlihat gagah.

Pencanangan tgl 27 Oktober sebagai Hari Blogger Nasional
oleh Menteri Nuh, harusnya hanyalah sekadar dianggap sebagai
seremoni yang membutuhkan bukti konkret dan kerja keras
para blogger di ranah nyata kehidupan.

Sanggup?

Saturday, October 06, 2007

Kenapa Harus Libur Lama-lama?

Ada keleluasaan yang kita nikmati pada Lebaran tahun ini.
Pemerintah menambah hari libur dari lima hari menjadi delapan
hari. Tentu saja penambahan itu disambut dengan sukacita oleh
masyarakat karena mendapat waktu silaturahmi lebih banyak.
Tapi, di sisi lain, kita prihatin karena waktu produktif bangsa ini
semakin berkurang.

Itulah hasil revisi atas Surat Keputusan Bersama Menteri Agama,
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 481 Tahun 2006 tentang
Hari-hari Libur Nasional dan Cuti Bersama 2007. Sebelumnya, libur
Lebaran ditetapkan dari 12 hingga 16 Oktober, kini menjadi 12-19
Oktober dan enam hari di antaranya merupakan cuti bersama.

Sebelum direvisi, pada 2007 ini seluruhnya ada 13 hari libur
nasional ditambah 6 hari cuti bersama. Kini ada tambahan 3
hari cuti bersama sehingga waktu berleha-leha menjadi 22 hari.
Kalau ditambah libur Sabtu dan Minggu, pada tahun ini total ada
117 hari pakansi! Luar biasa, karena itu merupakan 30 persen
dari waktu yang ada sepanjang tahun ini.

Libur untuk menghormati hari keagamaan tentu sah-sah saja.
Begitu juga libur yang terkait dengan hari nasional. Semua
negara juga pasti memilikinya. Soalnya, berapa banyak jumlah
libur yang pas agar malah tidak berbalik menjadi melenakan?

Mari kita bandingkan dengan negara lain. Jepang tercatat hanya
memiliki 15 hari libur nasional. Di Cina, kesempatan libur muncul
pada hari pekerja, paling lama 10 hari. Sedangkan di Korea Selatan
hanya 11 hari. Jika ditambah libur Sabtu dan Minggu, jumlah hari
libur di negara-negara itu tetap belum mencapai 100 hari.

Membengkaknya jumlah hari libur kita karena pemerintah
menerapkan konsep cuti bersama. Hari libur jenis ini dibikin
untuk mengadopsi praktek karyawan membolos pada
"hari kejepit nasional". Jadi, ketimbang dipakai membolos,
mending hari itu dijadikan hari libur sekalian.
Tapi ini sama saja dengan menoleransi sikap malas bekerja.

Yang memprihatinkan, kebijakan itu diambil justru pada
saat produktivitas bangsa masih rendah. Menurut United
Nations Development Programme, peringkat kualitas
sumber daya manusia kita berada di urutan ke-111 dari
175 negara. Sedangkan daya saing produk nasional ada di
peringkat ke-58 dari 60.

Bandingkan dengan Cina, yang dalam beberapa tahun terakhir
berhasil melejitkan indeks produktivitas nasional mereka. Hingga
1978, tingkat produktivitas negeri itu hanya 1,1 persen. Setelah
reformasi ekonomi, angkanya menjadi 6,5 persen pada 2002.
Tak mengherankan, Cina lalu ditabalkan menjadi bangsa dengan
pertumbuhan produktivitas tertinggi di dunia.

Tentu saja banyak faktor yang menentukan produktivitas
suatu bangsa. Kami berpendapat bulan Ramadan mestinya mampu
menggembleng bangsa ini menjadi lebih berdisiplin, memiliki
etos kerja lebih baik, dan menumbuhkan sikap jujur. Semua itu
variabel penting bagi tumbuhnya produktivitas. Tapi sayang,
nilai-nilai positif itu bisa hilang begitu saja akibat libur yang lebih
panjang dan waktu bersantai yang lebih lama....

ORKES MUDIK

masihkah kenangan tersimpan pada tajuk pepohonan
yang mengaris jendela kerata biru malam
setelah jingga hari-hari
digurat nafas gemetar kaum urban,
(malam-malam sonder impian).

Ratatap, ratatap, ratatap, ratatap...
kereta bergerak
kenangan terserak

Selaksa kunang-kunang tinggalkan ladang,
Serahkan kebimbangan pada terang fajar

”kembali, kembalilah esok hari,
Atau kapan saja—apa bedanya?
sebab hanya tetes keringat
yang pantas untuk bikin perhitungan.”

Ratatap, ratatap, ratatap, ratatap...
gerbang desa di rembang mata
leluhur rapalkan doa-doa.

Seribu kunang-kunang menempa harap
Seribu kunang-kunang meratap lumat

Saturday, September 29, 2007

(Bukan) Suap?

Untung saya bukan seorang jenderal. Pertama, saya
memang tak punya potongan untuk jadi orang berpangkat.
"Potongan" adalah kata ganti untuk kompetensi, reputasi,
dan kredibilitas. Tak punya potongan, alias tanpa semua
kualitas itu, minder saya untuk menyandang pangkat dan
jabatan tertentu. Saya tak seberani Nurdin Halid, misalnya,
yang tetap merasa punya potongan memimpin PSSI
meski sudah masuk penjara.

Kedua, saya merasa beruntung bukan jenderal, karena
pasti akan bingung jika tiba-tiba ada yang datang ke kantor
dan tanpa ba-bi-bu ngasih sebuah rumah berlokasi di kawasan
elite Ibu Kota. Bingung, kok ya ada, sebuah rumah yang
harganya mungkin bisa untuk membangun sekitar
10 puskesmas itu diberikan cuma-cuma.

Jangan bertanya kenapa saya bingung, sedangkan Jenderal
Purnawirawan R. Hartono saja bisa enteng menerima
pemberian semacam itu dari seorang pengusaha
bernama Henry Leo. Tentu saja Pak Jenderal
menerimanya ketika dulu masih menjadi petinggi militer.

Bagaimana saya tidak bingung bin linglung, lha menurut
Pak Hartono yang pasti ahli strategi militer itu, pemberian
tersebut ternyata tidak diketahui maksudnya.
"Saya tak tahu apa maksud pemberian itu," katanya
seperti dikutip surat kabar. Bayangkan, rumah di kawasan
elite diberikan begitu saja seperti membagikan permen.
Dan, ehm, meski tak tahu maksudnya, Pak Hartono pun
menerima pemberian itu dengan ikhlas nan rela.

Saya bingung, barangkali karena saya orang kuno.
Waktu saya kecil, orang tua mengajarkan setiap
orang harus bekerja keras untuk mendapatkan
sesuatu. Bahkan untuk mendapatkan sepotong
permen, misalnya, waktu itu saya harus membantu
mengepel rumah. Jadi, kalau (misalnya) saya jenderal,
apakah yang harus saya pel untuk mendapatkan
sebuah rumah mewah?

Waktu kecil, pernah memang seorang teman memberi
permen agar saya tak mengadu ke orang tuanya.
Sebelumnya dia habis berantem di sekolah. Tapi
belakangan saya yang kena batunya dimarahi
Bapak setelah menceritakan itu kepada beliau.
"Itu namanya kamu telah disuap. Disogok!" hardiknya.

Sejak itulah saya tahu, suap tak hanya berkenaan
dengan kegiatan ibunda memberi asupan makanan
kepada adik bayi. Suap-menyuap juga merujuk pada
kegiatan ilegal. Pelakunya bisa macam-macam orang.
Yang disuapkan bukan pula susu atau bubur, melainkan
mulai permen, uang, hingga rumah mewah.
Motifnya bukan kasih sayang, melainkan mencuri
keuntungan sebesarnya.

Waduh, betapa rakusnya para pemburu keuntungan
haram itu. Lihat, tak hanya uang yang dirampas.
Bahkan makna kata suap pun ikut mereka rampok.
Bukankah semula "suap" mengisyaratkan pekerjaan
mulia karena merujuk pada aktivitas kasih sayang
ibu-anak?

Jika makna saja sudah dirampok, tak terbayangkan
kedigdayaan anggota komunitas suap ini. Pengawas
hakim saja bisa (dan bersedia) disuap, apalagi yang lain.

Lihat bupati ataupun gubernur disuap agar hutan bisa
dibalak secara liar. Ratusan triliun rupiah masuk kantong
sang cukong, dan sebagian kecilnya lalu di-icrit-icrit untuk
menyuap penegak hukum, pengambil keputusan,
hingga orang-orang yang mengaku wartawan.
Demikianlah lingkaran setan per-suap-an
menjadi langgeng adanya.

Kembali ke rumah R. Hartono, Pak Jenderal sudah
menyatakan pemberian itu bukan penyuapan. Toh,
rumah itu tetap diserahkannya juga ke Kejaksaan
Agung--setelah Henry Leo menjadi tersangka korupsi.
Tidak usah ditanyakan kenapa bukan dari dulu-dulu
ketika kasus Henry belum terungkap.

Oh ya, Kejaksaan Agung pun menyatakan pemberian
rumah itu bukan merupakan penyuapan. Ah, kalau begini,
saya menyesal, kenapa saya bukan seorang jenderal?

*) tulisan ini dimuat di Koran Tempo,
edisi Minggu 29 September 2007




Monday, July 16, 2007

Surat Cinta kepada Ponaryo dkk

Pernahkan anda merasakan jatuh cinta lagi—dengan kualitas
dan getaran yang sama ketika pertama kali kasmaran dulu?
Saya sepertinya merasakan hal itu kembali saat di stadion
Gelora Bung Karno menonton tim nasional bertarung melawan
Arab Saudi Sabtu pekan lalu. Melihat gelagatnya, itulah juga
yang dirasakan 80 ribu penonton lain di dalam stadion.
Belakangan saya tahu, jutaan pecinta sepak bola tanah
air tertimpa ”nasib” serupa.

Ya, jatuh cinta massal nan akbar telah terjadi. Cinta
yang kembali bersemi kepada tim nasional sepak bola
sendiri. Tahun-tahun yang dirajam perasaan kering
dan tawar pada skuad nasional, mulai pupus. Dan
ketika cinta menuntut kerelaan, ribuan penonton
itu ikut berkeringat dan berdarah bersama para
pemain yang jatuh bangun di lapangan.

Saya tak tahu kapankan hal semacam ini terakhir
terjadi. Stadion bergetar. Sejak beberapa jam
sebelum kick off dan selama 90 menit sepanjang laga,
penonton terus bernyanyi.
Oooo, oooo/Ooo, Indonesia/Kuingin/Kita kan
menang/ Oooo-ooo...
Semangat dipompa maksimal. Yel-yel heroik
tak pernah putus berkumandang: Indonesia! Indonesia!

Dari tribun trimur kulayangkan pandangan ke
penjuru stadion. Lautan warna merah dan putih
menggelorakan stadion tua ini. Puluhan ribu jiwa
yang tengah tersedot pusaran energi cinta itu
terus bergerak. Melonjak-lonjak tanpa lelah.
Mereka mengibarkan bendera, atau memutar-
mutar gulungan kain merah ke udara. Lalu sesekali
menciptakan mexican wave yang sangat teatrikal.

Seluruh energi itu seolah hendak ditransfer ke
lapangan guna mengempos semangat perjuangan
para pemain kita. Tetapi benarkah ini semua cinta sejati?

Ujian itu terjadi pada masa injury time, ketika bola
sundulan Saad Al-Harthi menggetarkan jala gawang
Yandry Pitoy. Gol yang memenangkan Arab Saudi
itu terbukti tak menggerus cinta yang baru tumbuh.

Yel terus berkumandang sampai menit terakhir.
Bahkan hingga satu jam setelah pertandingan usai
ribuan penonton bertahan di dalam stadion. Mereka
terus bernyanyi. Meneriakan yel. Mengibarkan merah
putih. Dan ber-aplaus panjang untuk tim nasional.
Semangat ini masih terus terbawa hingga keluar stadion,
di jalan-jalan, ketika masing-masing pulang ke rumah.

Tumbuhnya cinta itu sejatinya tak lain karena
persembahan yang telah diberikan Ponaryo Astaman
dan kawan-kawan juga. Cara mereka bertarung
ketika mengalahkan Bahrain dan menghadapi Arab
Saudi telah membangkitkan hal yang selama ini
hilang: harga diri bangsa!

Mereka telah memberikan pelajaran langsung,
bahwa kehormatan tak bisa diraih dengan cara
instan. Anak-anak muda itu bersedia memberikan
segalanya, –darah dan air mata—, demi kebanggaan
bumi Pertiwi.

Itu sebabnya, masyarakat rela mewakilkan semua
impian atas harga diri bangsa kepada 11 pemain yang
bertarung di lapangan. Bersama tim Garuda masyarakat
merasa Bangsa ini masih layak dipertahankan—setelah
luluh lantak karena kekayaannya dikuras para
koruptor, pembalak liar, atau petualang-petualang
berkedok cerdik cendekia.

Kepada Eka Rhamdani dan kawan-kawan, khalayak
menemukan heronya, setelah tak mendapatkannya
pada para politisi yang berkeliaran di berbagai
panggung politik. Bahkan kepada para pemimpin
pun kepercayaan masyarakat sudah lama terkikis.

Corat-coret ini anggap saja sebuah surat cinta
kepada Ellie Eboy dan kawan-kawan atas pengabdian
mereka. Besok, saat melawan Korea Selatan, kita yakin,
semangat mereka tak berkurang seinci pun.

Sunday, July 08, 2007

Angkringan Pilkada

Saya sangat suka melihat pose foto yang dimuat suratkabar ibukota itu.
Tiga pria berdiri berjajar dengan senyum lepas di bibir. Bagi warga
Jakarta, ketiganya merupakan sosok paling kondang di jagat politik
ibukota saat ini. Siapa lagi mereka kalau bukan Fauzi Bowo dan Adang
Daradjatun . Dan pria ketiga --dalam foto itu berdiri di tengah-- adalah
Sutiyoso, Gubernur DKI Jakarta.

Saya perlihatkan foto itu kepada Mas War yang tengah duduk di balik
gerobak angkringannya. ”Kompak, kan?” kataku sambil memesan segelas
teh jahe dan sebungkus sego (nasi) kucing. Bagaimana tidak kompak, Bang
Yos (sapaan Sutiyoso) ada di tengah, dengan kedua tangan mengait lengan
Bang Foke (pangglan Fauzi) dan Bang Adang. Dengan senyum di bibir,
sungguh tak terlihat aura persaingan antara Foke dan Adang yang tengah
mengincar kursi gubernur Jakarta itu.

Tapi respon mas War sungguh tak terduga. “Kalau di kampungku, gaya
seperti Bang Yos itu biasanya digunakan untuk memisah dua anak yang
lagi berantem, mas,” katanya cengengesan sambil mengangsurkan pesanan
saya.

”Hush!” kataku. ”Meski lagi bersaing berebut jabatan gubernur, ndak ada
itu perasaan bermusuhan apalagi saling benci. Ada-ada saja sampeyan ini.”

Lalu meluncurlah ceramah sok pintar dari mulut saya disela kesibukanku
mengunyah nasi putih berlauk sepotong kecil bandeng plus sambal itu.
Kataku, mereka ini bukan seperti kucing yang tengah berebut bandeng.
Mereka tidak saling mengintai untuk menjatuhkan—apalagi saling mencakar.

Mereka adalah pria terhormat: yang satu wakil gubernur, satunya mantan
Wakil Kepala Polri. ”Sego kucing sampeyan ini memang mak nyus, mas,” kataku
sambil menggigit bandeng. ”Tapi bapak-bapak itu bukan kucing yang kalau
berpolitik gemar main cakar-cakaran.”

”Lha itu apa, bos?” tanya mas War menunjuk tebaran spanduk di seberang
jalan. Ya, di bawah cahaya lampu mercury, memang kulihat berbagai spanduk
kampanye saling ”serang.”. Sebuah spanduk menyindir Foke yang mengusung
tema kampanye ”Serahkan pada Ahlinya.” Spanduk lainnya berlagak serupa,
cuma yang dikilik-kilik adalah Adang yang gencar berkampanye ”Ayo Benahi
Jakarta.”.

Saya berusaha menjelaskan bahwa maksud kedua kandidat baik. Mereka
berjanji akan membawa Jakarta lebih maju jika jadi gubernur. Saling sindir
itu cuma bumbu saja. ”Kalau Bang Foke menang, usaha angkringan
sampeyan ini, juga usaha sedulur-sedulur wong cilik lainnya, akan
dibina. Beliau, kan, ahlinya.”

Kuseruput teh-jahe hangat dulu, sebelum kuteruskan celotehku. ”Lha
kalau Bang Adang yang terpilih, dia akan membenahi semua infrsatruktur
yang memungkinkan usaha Mas War makin oke. Piye, mas, sip, kan?”
Aku berharap dia akan terkagum dengan pidato ngalor-ngidul ini.

Bukan itu maksudku bos, sela Mas War. Lalu dengan masih cengengesan
dia bertanya kenapa para calon pemimpin itu sudah rebutan kampanye,
padahal belum waktunya. ”Lha kalau belum jadi pemimpin saja sudah
ngakalin aturan, gimana kalau sudah naik?”

Hm, aku merasa kalau diskusi ala angkringan ini diteruskan, pasti bakal
dead-lock seperti perundingan Indonesia-Singapura itu. Sulit bagi saya
menjelaskan bahwa itu cuma sosialisasi—dan bukan kampanye.

Kalau dia bertanya, ”Lantas itu apa bedanya?” Pasti saya cuma bisa
cengengesan. Mending saya nikmati saja sego kucing plus tah jahe
hangat yang nyamleng ini.

Friday, April 27, 2007

SBY Takut Mencopot Yusril dan Hamid?

Apakah ukuran reshuffle kabinet yang akan dilakukan
Presiden SBY layak disambut baik—atau sebaliknya?
Sederhana sekali cara melihatnya. Yaitu, apakah SBY
berani mencopot Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza
Mahendra dan Menteri Kehakiman dan HAM Hamid
Awaluddin—selain mengganti menteri-menteri lain
yang sakit dan tidak berprestasi.

Kenapa?
Pemerintahan SBY, adalah pemerintah yang menjanjikan
akan memberangus praktik KKN, sejak dari kantornya sendiri.
Saya memahami hal itu tidak secara harafiah belaka. Selain
di kantor kepresidenan, KKN mestinya juga harus diganyan
sejak dari kalangan terdekatnya sndiri, yakni para menteri-
menterinya!

Yusril dan Hamid, seperti gencar diberitakan media,
terbelit conflict of interest dalam beberapa kasus.
Yusril mengijinkan penunjukan langsung pangadaan
mesin sidik jari di kantor Menteri Hukum dan Perundangan
senilai Rp 18,48 M saat ia pimpin. KPK yang sedang menyelidiki
kasus ini menduga ada mark up sekitar Rp 6 M.

Kedua menteri itu juga terlibat dalam pencairan duit
Tommy Soeharto di Bank Paribas Inggris. Kantor
pengacara milik Yusril, yakni Ihza&Ihza, ikut jadi
pemain kunci dalam kasus ini.

Dan, eloknya, Hamid Awaluddin menyediakan rekening
negara untuk menjadi penampungan duit itu. Mustahil,
Jenderal SBY tak melihat konflik kepentingan dalam kasus
ini.

Oh ya, Hamid juga sempat diperiksa sebagai saksi dalam kasus
korupsi di Komisi Pemilihan Umum, saat dia “mengabdi”
(mengabdi?) di sana sebagai Ketuanya.

Dalam sebuah acara talk show di SCTV, akhir April,
Yusril "dibantai" Deny Indryana. Dia dicecar soal etika pejabat
tinggi negara yang terlibat bisnis pribadi (tentu ini merujuk
keterlibatan kantor pengacara Yusril dalam pencairan duit
Tommy Soeharto—anak “mbahe” Orde Baru yang masih
sentausa dan tak terjerat hukum itu)

Yusril hanya bisa berkelit, bahwa keterlibatan Ihza dan Ihza
dalam pencairan dana Tomy, (juga kasus Gelora Senayan), tak
melanggar hukum positif. Yusril juga bilang bahwa pejabat negara
tak kehilangan hak perdatanya, termasuk untuk berbinis.

Ini sungguh mirip dengan kata-kata Soeharto yang berkomentar
tentang bisnis anak-anaknya dulu: Apa kalau sudah jadi anak
presiden tidak boleh berbinis?

Lalu terdengarlah oleh saya bisik-bisik itu. SBY
Akan mempertahankan Yusril dan Hamid Awaludin,
dalam kabinetnya. Alias, mereka akan lolos dari reshuffle.

Sebuah reshuffle, tanpa mengganti keduanya, hanya
menunjukkan SBY tak pernah serius membersihkan KKN
seperti yang dia janjikan akan dimulai dari kantornya sendiri.

Mari kita hitung kancing: apakah SBY benar-benar takut
mencopot mereka?

Wednesday, March 21, 2007

Hamid Awaludin Masih Lenggang Kangkung

Satu lagi tersangka koruptor masuk bui.
Selasa, 20 April, Widjanarko Puspoyo, Direktur Utama Bulog
ditahan Kejaksaan Agung. Ia disangka melakukan tindakan
korupsi dalam kasus sapi impor fiktif yang merugikan negara
sebesar Rp 11 miliar.

Beberapa nama beken lain yang dalam waktu berdekatan
juga mengalmi nasib serupa adalah Suwarna, Gubernur
non aktif Kalimantan Timur.

Beberapa nama yang lebih beken, masih bisa lenggang
kangkung. Adalah Hamid Awaludin, Menteri Hukum dan
HAM, yang lagi disorot karena menyediakan rekening
kantornya untuk penampungan dana Tommy Soeharto
dari BNP Paribas. Jumlahnya sekitar Rp 10 Miliar.

Ini jelas tindakan melanggar hukum. Menteri Keuangan
Sri Mulyani tegas mengatakan semua rekening yang dibuat
departemen pemerintah harus sepengetahuan Menkeu.

Lagipula, tak lazim rekening departemen pemerintah
digunakan untuk menampung duit yang belum jelas
setatusnya, dari swasta lagi. Dari anak bekas penguasa
Orde Baru lagi!

Bagaimana mungkin kantor pemerintah bisa melakukan
hal semacam itu? Kemana dana itu mengalir, akhirnya?

Ada dimanakah logika dari cerita nan unik ini--atau
hal semacam ini hanya terjadi di negeri tercinta Indonesia,
dimana segala kemuskilan menjadi wajar-wajar saja?

Ada dimanakah Presiden Republik Indonesia hingga
tak terdengar komentarnya sepatah kata pun,
meski para pembantu utamanya melakukan berbagai
tindakan "unik"? (Oh Ya, cerita ini bermula dari Yusril
Ihza Mahendra yang ketika menjabat sebagai Menteri
Kehakiman menyatakan dana Tommy itu halal belaka)

Ada dimanakah komitmen sang presiden yang
katanya akan memberantas korupsi, dan dimulai
dari kantornya sendiri itu?

Anehkah kalau saya sudah kehabisan harapan terhadap
para pemimpin macam itu?

Monday, March 12, 2007

Lik Sronto "Nalangin" Ical

Negeri macam apakah ini yang demikian "memanjakan"
seorang bernama Aburizal Bakrie alias Ical?

Mari kita mulai dari PT Lapindo Brantas, sebuah anak
perusahaan PT Energi Mega Persada, yang terkait
dengan Ical. Inilah perusahaan yang telah menyebabkan
lumpur penas menyembur di Porong, dan menyebabkan
ribuan jiwa tergebah dari kampung halamannya.

Jaringan infrastruktur juga rusak karenanya.
Seluruh kerugian mencapai lebih Rp 7 triliun!

Dan untuk memperbaiki kerusakan hebat itu,
pemerintah turun tangan menggerojokan
dana talangan. Uang siapa ini?

Tentu saja uang Pak Wiro, Yu Ginah, Kang Diro,
Lik Sronto, dan lain-lain sebagainya, yang sehari-hari
cuma jadi tukang patri di Pati, sopir angkutan di
Jumapolo, bakul pecel di gerbong-gerbong kereta
ekonomi jurusan Jakarta-Solo, dan sebagainya.

Merekalah yang kini menalangi segala kerugian
yang ditimbulkan oleh perusahaan yang terkait
dengan Pak Menteri yang tinggal di Menteng
dan tak sembarang orang boleh menjamah
pagarnya itu!

Mereka dipajeki, uangnya masuk anggaran,
lalu dicowok sebagian untuk nalangin kerusakan
akibat Lumpur Panas Lapindo!

Skor 1-0 untuk Ical.

Dan, eloknya, kini perusahaan Pak Menteri yang lain,
yakni PT Semesta Marga Raya yang dibawah Kelompok
Usaha Bakrie itu mendapat proyek senilai
Rp 1,38 Triliun untuk membangun tol Kanci-Pejagan.

Edan, tenan!
Kelompok Usaha yang salah satu perusahaannya
bermasalah kok dapet proyek raksasa!

Eloknya lagi, uang untuk membangun jalan tol
itu disalurkan oleh BNI dan BRI dalam bentuk
kredit. Sebagai wong ndeso, saya bertanya:
Jadi, modal apakah yang disediakan oleh
PT Semesta untuk mengerjakan ruas tol yang
kelak menjadi bagian dari Tol Jawa itu?
(geleng-geleng kepala mode: on)

Kini, 2-0.

Yu Ginah dan sak brayat sekalian,
inilah negeri kita. Inilah nasib kita.
Ojo kroso nelongso, amargo hanya itulah
yang baru bisa dibikin para pemimpin kita.

Di nurani mereka, tak terselip catetan tentang
nasib panjenengan sedoyo.

Monday, March 05, 2007

Awas Si Lusi!

Sebuah gerakan sistematis mengganti istilah Lumpur
Lapindo menjadi Lumpur Sidoarjo (disingkat Lusi) sepertinya
tengah dilakukan.

Gampang ditebak, gerakan ini ingin menghilangkan citra
bahwa PT Lapindo Brantas adalah biang kerok dari petaka
semburan lumpur panas dari sumur Banjar Panji-1 yang
telah menggebah 25 ribu keluarga dari 13 desa itu.

Jangan heran, salah satu eksponen gerakan itu adalah
Tim Nasional Penanggulangan Lumpur, yang mestinya
berpihak pada rakyat. Lewat buletin bulanan, Tim ini
gencar mempopulerkan istilah Lusi--langsung maupun
tidak langsung. Buletin bulanan itu diberi nama: Media
Center Lusi.

Pengacara Lapindo, Trimoleja D Soerjadi, juga emoh
penggunaan Lumpur Lapindo. Kata dia, istilah itu
mengasumsikan bahwa Lapindo bersalah--padahal
secara hukum belum pernah terbukti.

Celakanya, beberapa media nasional, entah dengan
alasan apa, juga memilih menggunakan istilah Lusi.

Bersambung....:-)

Friday, March 02, 2007

Mimpi Si Sofyan

Sofyan Djalil, Menteri Komunikasi dan Informatika, itu
bikin pernyataan ganjil. Dia tak suka dengan acara parodi
bertajuk Newsdotcom, Rapublik Mimpi, di Metro TV.
Katanya,"Kalau presiden diolok-olok, mau kemana negeri ini?"
Lalu dia mengancam akan melayangkan somasi.

Ganjil, karena cara berpikir seperti itu, bahwa penguasa
tak dapat dikritik, hanya berlaku di jaman yang telah
lewat. Zaman Orde Baru!

Sofyan tampaknya sedang bermimpi, bahwa ia masih
hidup di era seperti itu.

Atau ia tengah bermimpi bahwa dengan jurus mengambil
hati macam itu bakal dapat menyelamatkannya dari
kemungkinan di-reshufle presiden?

Orang seperti ini benar-benar tak layak menjadi pejabat
di jaman yang telah berubah ini.

Bangun pak Menteri,
matahari telah tinggi.

Thursday, March 01, 2007

Musim

awan berarak di serat kaca
lalai menarik tirai
selingkuh semalaman

engkaulah musim
yang menandai kesetiaan
pada tetes hujan
juga sisa kemarau

sedang di tepi
rembulan menanti.

26/02/07

Setelah 2,5 Bulan

Dua bulan tanpa catatan, dan ternyata banyak hal telah
terjadi. Banyak hal? Sebenarnya cuma sedikit, sebab
semua peristiwa itu dapat diringkas menjadi satu
pengertian saja: T R A G E D I.

Ya, tragedi, dengan huruf kapital, dan setiap aksara
disela satu spasi.

Di titik pergantian tahun, ratusan jiwa serentak menjumpai
sang khaliq lewat sejenis ironi. Sebuah pesawat menghunjam
laut. Sebuah kapal tenggelam.

Lalu ibu kota menuai petaka akibat kebebalan para pemimpin-
nya. Banjir bandang menenggelamkan lebih 50% wilayahnya.
Saat itu, apakah gunanya puluhan mall dan square yang telah
dibangun dan merampok ratusan hektar lahan serapan air?

Sebuah pesawat kembali menunjukan kerentaanya --dan
kecongkakan mesin bisnis dibelakangnya--, sebelum sebuah
kapal terbakar (lagi).

Setelah 2,5 bulan tanpa catatan, banyak yang telah terjadi.
Dan, pada saat yang sama, tak banyak yang sudah dilakukan
para pemimpin itu.