Friday, May 23, 2008

Menghormati Demonstrasi

Gelombang demonstrasi menentang kenaikan harga bahan bakar
minyak yang marak belakangan ini harus dihargai sebagai
konsekuensi demokrasi. Aksi itu seyogianya tidak dihadapi
dengan kekerasan oleh aparat keamanan. Meski demikian,
sudah selayaknya aksi politik ini juga tak mengarah pada
pemakzulan presiden, karena hal itu sudah melenceng dari
koridor demokrasi.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 9/1998, unjuk rasa
merupakan perwujudan kemerdekaan menyampaikan pendapat
di muka umum. Sepanjang kegiatan itu sesuai dengan aturan yang
berlaku, aparat keamanan tak berhak membubarkannya, apalagi
menanganinya dengan kekerasan.

Begitu pula demonstrasi menolak kenaikan harga BBM akhir-akhir
ini. Mereka berpendapat kebijakan pemerintah ini bakal lebih
menyengsarakan rakyat. Pemerintah seharusnya punya opsi lain
untuk mengurangi beban anggaran akibat membengkaknya subsidi.
Pendapat pengunjuk rasa ini harus tetap dihargai dan tak boleh
dilawan dengan senjata.

Maka, ketika dalam aksi unjuk rasa pada 21 Mei seorang mahasiswa
mengalami luka yang diduga berasal dari peluru karet polisi, kasus
ini harus diusut hingga tuntas. Beberapa saksi yang menyatakan
melihat penembakan itu sebaiknya memberikan keterangan resmi
kepada penyidik. Jika terbukti benar telah terjadi penembakan,
sanksi disiplin harus diterapkan sesuai dengan aturan. Saat ini
sudah bukan zamannya lagi cara kekerasan dipilih untuk
meredam demonstrasi.

Imbauan serupa sudah pasti perlu disampaikan pula kepada
kalangan pengunjuk rasa. Akan sangat elok jika dalam melaksanakan
hak demokrasinya tersebut mereka senantiasa menghindari
aksi-aksi yang menjurus pada anarki. Apa yang terekam dalam
kamera televisi, juga foto-foto di media cetak, menunjukkan
sebagian demonstrasi sudah mengarah pada kekacauan.
Keadaan ini hanya akan mengaburkan tujuan unjuk rasa
itu sendiri.

Jangan sampai demonstrasi menjurus pada kerusuhan, apalagi
mengarah pada gerakan menjatuhkan pemerintah. Tinggal
setahun lagi kepemimpinan saat ini menduduki kursinya. Tahun
depan, 2009, negeri ini akan menggelar pemilihan umum guna
menentukan pemimpin periode berikutnya. Mendesak duet
pemimpin sekarang turun dari jabatannya hanya menunjukkan
betapa kebeletnya mereka mendapatkan kursi kekuasaan.

Ada lagi alasan yang lebih mendasar: Susilo Bambang
Yudhoyono-Jusuf Kalla naik ke kursi kekuasaan melalui pemilihan
umum yang demokratis. Mereka adalah pemimpin nasional
pertama di era reformasi ini yang dipilih secara langsung
oleh rakyat. Dengan demikian, menjatuhkan presiden hanya
bisa dilakukan lewat koridor demokrasi yang tersedia. Salah
satunya lewat proses impeachment di Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Itu pun prosesnya panjang dan syaratnya tak gampang.

Yang paling realistis tentu menunggu pemilu tahun depan.
Dan, jika terbukti bahwa kenaikan BBM kali ini menambah
kesengasraan rakyat, sanksi politik masih bisa dijatuhkan
pada pemerintah sekarang. Caranya? Jangan pilih mereka
pada Pemilu 2009.


*) artikel ini --dengan sedikit editing-- dimuat sebagai Tajuk
dalam Koran Tempo, edisi 23 Mei 2008

No comments: