Friday, August 21, 2009

Ramadhan--Saatnya Islah

Bulan Ramadhan yang dimulai hari ini akan menjadi momentum penting bagi bangsa Indonesia untuk menata diri (kembali). Ada banyak peristiwa besar yang terjadi tahun ini—yang sebagiannya sejatinya tak diharapkan terjadi. Beragam kejadian itu sedikit banyak telah menimbulkan ekses, yakni munculnya benih keretakan sesama elemen bangsa. Sunguh sayang, jika datangnya bulan yang penuh barokah ini tidak dimanfaatkan untuk menimba sebanyak mungkin amal kebaikan, termasuk menguatkan lagi silaturahmi ke-Indonesiaan kita.

Salah satu peristiwa besar itu adalah pelaksaan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden. Muara dari peristiwa ini adalah kekuasaan. Tak pelak, selama berbulan-bulan energi elite politik dan masyarakat terkuras dalam kubangan pertarungan politik yang meletihkan ini. Tentu berbagai gesekan terjadi. Entah itu antara sesama elite politik, anggota masyarakat, atau benturan antara elite politik dengan masyarakat.

Dan, saat ini ketika hasil pemilihan presiden sudah dinyatakan final, sebagian luka itu belum lagi pulih. Percikan ketidak-puasan masih meletup. Baik ditunjukkan secara terbuka, atau diekspresikan dalam media alternatif –misalnya di ranah maya— dengan kadar kebencian yang masih tinggi.

Betapa indahnya jika setiap kalangan mampu bersikap wajar dan normal kembali begitu pertarungan politik usai. Kebersamaan kembali dijalin dan kebencian dipupus. Tetapi jika hal itu gagal dicapai, mesti dimahfumi mengingat bangsa ini dirajut oleh keberagaman latar belakang yang demikian majemuk. Mulai dari fakta perbedaan agama, ras, suku bangsa, sosial, ekonomi, dan lain-lain. Masih adanya benih ketidak akuran setelah pertarungan politik yang sengit, dapatlah dimengerti.

Sejatinya momentum untuk kembali merasa satu bangsa itu sempat muncul, justru ketika negeri ini kembali diguncang bom awal Juli lalu. Semua kalangan berbagai lapisan saling menguatkan untuk melawan aksi terorisme. Sebuah kampanye juga digemakan guna menundukkan rasa takut.

Sayangnya, ketika perasaan bersatu itu mulai menjalar, benih-benih perpecahan malah dimunculkan lagi. Ironisnya, pemicu hal itu justru dari petingi keamanan sendiri. Adalah pejabat keamanan di Jawa Tengah yang mengimbau masyarakat melaporkan kepada polisi jika melihat orang berbusana gamis, bersorban, dan memelihara jenggot. Imbauan ini dikeluarkan merujuk pada pelaku terorisme yang umumnya berpanampilan fisik seperti itu.

Hasilnya adalah penangkapan belasan anggota jemaah tabligh di Jawa tengah yang sedang menjalankan amalan khuruj (perjalanan dakwah dari masjid ke masjid). Hasil lainnya adalah munculnya rasa curiga di kalangan khalayak. Setiap komunitas masyarakat mulai berprasangka kepada setap orang –dikenal atau tidak—yang mengenakan jubah dan memelihara jenggot.

Sikap saling curiga itu sejatinya sudah ada sebelumnya, mengingat ada saja anggota masyarakat yang tak menentang terorisme. Masih ada ada segelintir orang yang mengangap para teroris sebagai mujahid. Dus, mereka dianggap sebagai pahlawan. Maka komplit sudah, bara curiga yang sudah hangat itu, kian menyala setelah dikipasi aparat keamanan.

Mumpung belum terlanjur, keratakan itu mesti segera diatasi. Benih-benih kebencian dan rasa curiga harus dibenamkan sampai ke dasar. Ramadhan sesungguhnya membawa pesan damai. Puasa adalah “statuta” yang lugas bahwa semua manusia sama belaka dihadapan Allah SWT. Maka relasi terbaik antara indvidu adalah menjalin kedamaian ketimbang perpecahan. Sedangkan apabila (benih) perpecahan telanjur terjadi, selalu ada jalan islah alias rekonsiliasi. Dan saat ini, pada Ramadhan yang suci, adalah waktu yang sangat afdhol untuk itu.

Selamat menjalani ibadah puasa.

No comments: