Friday, February 13, 2009

Dandy-isme

Sungguh menarik panorama kepemimpinan kita ditinjau dari
segi psikiatri: seberapa jauhkah nasib kita sebagai bangsa diutak-
atik oleh segerombolan psikopat? Revolusi kita ini terlalu padat
dengan para dandy. Terlalu sesak oleh gerombolan pesolek
yang suka nampang di mana-mana dan ke mana-mana.

Jangan salah, dandy bukanlah istilah rekaan saya. Itu adalah sebutan
yang ditahbiskan sastrawan Iwan Simatupang (almarhum)
kepada para elite politik tahun 1960-an. Saya membaca dalam
sebuah refleksinya yang terkumpul dalam buku terbitan LP3ES
(1986) berjudul Surat-surat Politik Iwan Simatupang 1964-1966.

Terasa Iwan demikian intens mengeksplorasi sindrom dandy yang
diidap para pemimpin saat itu. Dia bilang setiap kita adalah psikopat.
Tetapi di antara kita masih banyak yang sadar untuk tak
mengungkapkannya secara eksesif. Nah, sebaliknyalah yang terjadi
kepada para pemimpin dandy itu. Dia menyarankan untuk melacak
masa kecil para tokoh politik tersebut guna memahami sebab-
musababnya.

Misalnya siapa orang tuanya, bagaimana lingkungannya, siapa
kawan-kawannya, kisah atau dongeng apa saja yang ia baca,
fantasi apa yang pernah timbul di masa bocahnya, siapa tokoh
heronya, dan sebagainya.

Para pemimpin dandy juga mesti diteliti perkembangan terbarunya:
kata-kata apa saja yang ia gemari, apa hobinya, bagaimana kisah
asmaranya dulu, dan lain-lain. Dengan mencari jawab atas
pertanyaan itu, akan diketahuilah mutu para pemimpin.

Sebenarnya tak bisa dimungkiri sejarah dunia juga ditorehkan oleh
para dandy. Rousseau adalah seorang dandy. Nehru, dengan
sapu tangan sutra dan kembang di lubang kancingnya, adalah
dandy. Juga Sun Yat Sen, George Washington, dan Stalin dengan
kemeja satin dan minyak rambut Prancis. Tentu saja Soekarno
adalah seorang dandy par excellence dengan gaya berpakaian,
cara berjalan, gaya pidato, serta alegori kesukaannya.

Dengan demikian, dandy-isme kurang-lebih bisa diartikan
sebagai gemar akan kekenesan. Seorang dandy hanya suka
bergaul dengan dandy lainnya. Dan kita-kita ini hanya dianggap
sebagai audiens. Kita hanyalah papan resonansi. Kita adalah para
tukang keplok--tak peduli para dandy itu selip kata dalam pidatonya
atau keliru menempati blocking. Plok! Plok! Plok!

Bagi seorang dandy, yang terpenting adalah berada di
pusat perhatian. Dia akan frustrasi jika lampu sorot tak
mengarah lagi kepadanya.

Saya menutup halaman buku yang kubaca itu dengan
susah payah menyadari bahwa Iwan Simatupang sedang
berbicara tentang tokoh politik 1960-an. Bukan zaman sekarang!

No comments: