Sunday, July 12, 2009

Menjaga Solo



Dawet telasih. Saya nyaris tak pernah absen menikmati jajanan minuman itu setiap pulang kampung ke Karanganyar. Aroma dan rasa es dawet yang sangat khas itu selalu menarik minat
saya untuk blusukan ke Pasar Gede, Solo, tempat penjualnya mangkal. "Ritual" itu pulalah yang saya lakoni ketika ngancani acara liburan anak-anak belum lama ini.

Dawet telasih, bagi saya, adalah wakil dari sesuatu yang langgeng pada Kota Solo atau Surakarta Hadiningrat. Posisinya setara dengan kue serabi Notosuman, tengkleng Pasar Klewer, kupat tahu dekat Masjid Solihin, kue intip Pasar Gede, dan tentu saja budaya angkringan. Ini adalah jajaran penganan yang tidak sekadar bisa dinikmati sebagai pengisi usus besar kita, tapi juga menjadi ikon kuliner yang barangkali ikut menyertai sejarah Kota Solo dalam beberapa dekade terakhir.

Ini bukan soal romantisisme. Tapi ini sebenarnya bagian dari harapan yang diam-diam tumbuh di hati saya tentang Kota Solo. Harapan itu kian membesar justru saat saya melihat apa yang kini tengah berkembang di tetangga Kota Solo, yakni Yogyakarta.

Saya berharap Solo mampu meniti perkembangan zaman dengan kepribadian yang kuat. Dengan demikian, kota ini tidak larut dalam gelombang modernitas, tapi mampu melayarinya dengan baik.

Yogyakarta dengan tujuh atau delapan mal yang menumpuk di dalam kota, hampir menjadikan kota itu bak miniatur Jakarta. Dus, kini ada kekuatan dari delapan mata angin yang terus mengembuskan budaya mal di kota kecil ini. Inilah budaya yang bertumpu pada pentingnya hubungan ekonomi dan keserbainstanan.

Memang, masih perlu diteliti, apakah dengan demikian sistem sosial dan budaya di kota ini juga semakin men-Jakarta. Tapi setidaknya ini lebih menimbulkan perasaan khawatir ketimbang
rasa bangga.

Pada Solo, saya menemukan percikan harapan itu masih lebih besar ketimbang rasa khawatir. Bahwa saya masih bisa menikmati dawet telasih di Pasar Gede, itu hanyalah secuil alasan. Ada alasan substansial lain. Dengan mata kepala sendiri, sewaktu blusukan ke sudut-sudut Kota Solo itu, saya melihat penataan kota ini sungguh menjanjikan secara budaya. Pusat kota, misalnya, tak disesaki mal.

Jauh sebelum itu, saya juga membaca berita tentang berbagai acara budaya di kota ini, misalnya World Heritage Cities Conference and Expo, Solo Batik Carnival, Solo International Ethnic Music, dan lain-lain. Acara-acara semacam itu akan menjadi katalisator perkembangan budaya lokal.

Tetapi Solo bukannya tidak menyimpan slilit. Saya juga masih mendengar berita bahwa ada kekuatan modal yang berupaya mendesakkan proyek pembangunan seraya membahayakan
salah satu ikon kebudayaan kota ini, yakni Benteng Vestenberg.


Konon, di sini akan dibangun sebuah hotel dan pusat perdagangan modern. Ini sungguh mencemaskan. Agak sulit masuk dalam logika bahwa sebuah agen kapitalisme bisa bersanding dengan ikon kebudayaan (dan sejarah) tanpa salah satunya cedera atau hancur. Saya berharap petinggi Kota Solo dapat menangani hal itu dengan kecerdasan budaya yang mumpuni.

Seandainya kelak benteng itu lumat oleh tuntutan modal, saya tak tahu masih bisakah saya menyeruput es dawet telasih Pasar Gede dengan nikmat. Saya mungkin akan keselek!

1 comment:

Wahyu W. Basjir said...

Toel,

Kabare Bapak karo Ibu neng Karanganyar piye?