Sunday, February 15, 2009

BOULEVARD


Tulisan seorang teman mengomentari foto yang kupasang di
akun Facebook itu membuat tertegun. "Kang, wit cemoro-ne
koyo nang foto kuwi saiki wis gari sithik. Malah meh punah,"
tulisnya. Deg! Lalu saya pandangi foto yang dijepret pada
akhir tahun 1980-an itu. Tampak kami berempat duduk di
ujung boulevard UGM (Universitas Gadjah Mada) dengan
latar belakang jalan lebar dan jajaran pohon cemara.
Terasa hijau dan damai.

Rasanya aku ingat. Saat itu dengan teman-teman seindekos,
kami menyusuri boulevard pada sebuah pagi. Udara segar.
Dan cericit suara burung di sela dahan cemara seperti
memfasilitasi relaksasi murah ala mahasiswa berkantong
pas-pasan seperti kami ini. Cemara yang teduh.
Boulevard yang utuh.

Boulevard yang terasa mengayomi itu hanyalah salah satu
atmosfer yang disuguhkan kawasan itu. Sebab, di avenue
itu pula tercipta demikian banyak lakon tak terlupakan oleh
mereka yang pernah ngangsu kawruh di UGM. Mulai dari
kisah romantis pasangan yang pernah mengikat janji.
Hingga rentetan pergolakan mahasiswa yang mengubah
sejarah bangsa kita.

Di boulevard itu, di bawah desis daun cemara yang dihela
angin, benih-benih perlawanan mahasiswa pernah ditaburkan
pada pertengahan 1980-an. Itulah saat pertama kalinya
mahasiswa bergerak setelah 10 tahun dibelenggu kebijakan
Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Satu dekade
kemudian, lagi-lagi boulevard menjadi saksi pemberontakan
anak-anak muda pemberang dalam menjungkalkan rezim
fasis Orde Baru.

Tak hanya menampung keringat dan elan perlawanan.
Boulevard pada masa itu juga pernah ikut menghantarkan
doa-doa khusyuk para perantau. Itu terjadi pada malam-
malam Ramadhan, ketika sebagian jalan digunakan untuk
salat tarawih. Maklum, kala itu sang kampus rakyat belum
memiliki masjid semegah saat ini. Hmm, dapatkah engkau
rasakan syahdunya salat di bawah bayangan pohon cemara,
sedangkan bulan mengintip di sela dahan?

Semua itu telah menjadi bagian dari boulevard. Barangkali
ia tersimpan rapat di akar rerumputan dan perdu taman.
Atau ia tergurat di kulit batang cemara yang kemudian
mewariskan kisahnya kepada mahasiswa-mahasiswa era
kiwari. Pada boulevard, sejarah dan kenangan, juga daya
hidup para intelektual Kampus Biru terawat sempurna.

Tapi apakah boulevard akan tetap menjadi demikian
ketika deretan cemaranya kini musnah? Kawabata pernah
menulis sebait sajak: hijau yang abadi/tapi pohon cemara
itu lebih hijau pada musim semi.

Saya (ingin) percaya: boulevard--dan dengan demikian
UGM--senantiasa abadi dengan pengabdiannya.


*) Catatan ini dimuat di rubrik "Angkringan" Koran Tempo edisi Yogjakarta (Senin 16 Februari). http://epaper. korantempo. com/KT/KT/ 2009/02/16/ index.shtml

No comments: