Sunday, September 21, 2008

Surat Kepada Sedulur

Assalamualaikum Wr Wb


Sedulur kinasih, bagaimana kabar njenengan sedoyo di Yogyakarta?
Semoga Allah SWT tansah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
kepada kita semua. Semoga, ketika nanti saya mudik ke kota
tercinta ini, kita semua bertemu dalam keadaan yang suci dan
murni bersama datangnya Lebaran yang fitri. Amin.

Sedulur, saya tak tahu pasti tanggal berapa bisa pulang. Maklum,
pekerjaan menumpuk. Tapi pasti saya akan mudik. Tidak
mungkin saya melepaskan kesempatan berharga bertemu
njenengan sami, menguatkan lagi silaturahmi, yang mungkin
mulai longgar karena kita terpisahkan oleh jarak dan waktu tak
terperi.

Poro sanak kadang, melewatkan kesempatan itu akan membuat
saya seperti layang-layang putus benang. Saya akan kehilangan
ikatan--dengan masa lalu, dan lebih-lebih dengan nilai-nilai luhur
yang telah membekali kita dalam bermasyarakat.

Saya ingat ujaran Pak Umar Kayam (suwargi), bahwa mudik
berasal dari kata "udik". Dan udik adalah tempat asal-muasal
segala kemurnian. Barangkali yang dimaksud adalah ihwal tantang
kesederhanaan, kekerabatan, paseduluran, juga kerekatan
silaturahmi. Mungkin itulah sebabnya, jutaan jiwa yang hidup di
kota-kota besar perlu mudik setiap Lebaran. Mereka ingin
menemukan kembali kemurnian itu.

Ya, saya tahu Yogyakarta kita bukan kampung lagi--apalagi
sebuah udik. Yogya kita sudah bersalin rupa--katakanlah--
dibanding 20 atau 30 tahun yang lalu. Kota budaya ini sudah
dikepung mal-mal di segala penjurunya. Jalan Kaliurang kilometer
5 ke atas, yang dulu banyak kos-kosan sederhana, sekarang
sudah begitu gemerlap. Seorang teman yang dulu kos di kamar
berdinding gedek kini bahkan tak bisa menemukan secuil pun
jejak kosnya itu.

Dan, ah ya, Yogya kita sudah pula kecemplung ke kehebatan
dunia maya, karena jaringan Wi-Fi ada di mana-mana. Bahkan
saat nongkrong di angkringan pun, konon, kita bisa nglemboro
berinternet dengan laptop. Dahsyat, bukan?

Poro sedulur, sanak-kadang, dan tonggo-teparo, tetapi, toh, saya
tetap akan mudik. Saya yakin gelombang "kemajuan" itu tak
mampu menggerus segalanya. Masih ada yang tidak bisa kita beli
bahkan di mal terlengkap sekalipun. Itulah persaudaraan dan
hangatnya kekerabatan.

Juga, ada yang tak bisa digantikan oleh e-mail atau SMS. Itulah
sungkem pada orang-orang yang kita hormati.

Saudaraku sekalian, sekian dulu suratku ini.

Wassalamualaikum Wr Wb.



(Dulurmu lanang)


*) Gambar diambil dari goosei.info/category/perjalanan/page/2/

Saturday, September 20, 2008

Kontroversi Surat Sukanto Tanoto kepada SBY



Selayaknya kasus dugaan manipulasi pajak Asian Agri diselesaikan lewat mekanisme hukum. Itu sebabnya, sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menolak memberikan perlindungan kepada Sukanto Tanoto, pemilik perusahaan ini, sudah tepat.

Demikianlah, bagaimana hukum harus ditegakkan, tidak peduli bahwa yang tengah beperkara termasuk salah satu orang
terkaya di Indonesia.

Sukanto mengirim surat itu kepada Presiden pada 7 Januari lalu.
Dia menyampaikan permasalahan pajak yang tengah dialami
Asian Agri. Dia menguraikan persoalan itu selalu dikaitkan
dengan dirinya. Sukanto meminta Presiden memberikan
kesempatan kepada perusahaan untuk membicarakan dan
menyelesaikan persoalan tersebut secara kondusif dengan
Direktorat Jenderal Pajak.

Permintaan itu muncul di kala Dirjen Pajak tengah bekerja keras
mengusut dugaan manipulasi pajak Asian Agri (yang terjadi
sepanjang 2002-2005) senilai Rp 1,3 triliun. Institusi di bawah
Kementerian Keuangan ini telah memeriksa dokumen Asian Agri
sebanyak sembilan truk yang ditemukan tersimpan di sebuah
toko lampu di kawasan Duta Merlin, Jakarta Pusat.

Belum jelas apa yang dimaksud Sukanto agar persoalan pajak
Asian Agri diselesaikan secara “kondusif”. Jika ia berharap
Presiden memerintahkan aparatnya untuk tak menyeret kasus
ini ke wilayah hukum, sungguh itu tindakan yang berbahaya.
Jika presiden menuruti keinginan Sukanto, dipastikan hal itu
akan mencederai supremasi hukum yang tengah dengan susah
payah ditegakkan di negeri ini.

Bagaimanapun, penuntasan kasus Asian Agri akan menjadi salah
satu tonggak apakah hukum masih bisa dijadikan sandaran
keadilan. Dana Rp 1,3 triliun yang diduga ditilap dalam kasus ini
bukanlah jumlah yang ecek-ecek. Dengan uang sebesar itu,
sekurang-kurangnya bisa dibangun 200 gedung puskesmas
lengkap dengan peralatannya. Sisanya masih bisa digunakan
untuk memperbaiki kerusakan jalan di sepanjang pantai utara
Jawa. Pendeknya, rakyat dirugikan jika kasus ini diselesaikan
di bawah meja.

Masih ada ihwal lain yang bisa dipersoalkan di balik pengiriman
surat tersebut. Hal itu berkaitan dengan sikap Sukanto tidak
memenuhi panggilan Dirjen Pajak untuk diperiksa sebagai saksi
dalam kasus Asian Agri. Hingga Maret lalu, Dirjen Pajak sudah
tiga kali melayangkan panggilan kepada dia, tak satu pun
dipenuhi.

Menolak panggilan pemeriksaan, tapi tiba-tiba melayangkan
surat kepada Presiden, hanya akan memunculkan kesan bahwa
dia ingin menggunakan pengaruhnya menyelesaikan persoalan
ini lewat jalur kekuasaan. Alasan bahwa surat panggilan tak
pernah sampai ke alamatnya kelihatan mengada-ada karena
masalah ini telah diberitakan berkali-kali oleh media massa.

Kini sikap pemerintah sudah jelas. Presiden Yudhoyono
menyerahkan soal ini ke koridor hukum. Koran ini berharap
aparat kejaksaan tak lagi "ikut" mengulur waktu dan segera
memproses berkas pemeriksaan yang akan diserahkan Dirjen
Pajak. Mempermainkan lagi soal ini hanya akan membuat wajah
penegakan hukum kian babak belur.

*) Naskah ini juga dimuat sebagai Tajuk Rencana dalam Koran Tempo 19 September.
**) Foto diambil dari www.forbes.com

Wednesday, September 17, 2008

Opo-opo Kerso

Kupat duduhe santen, menawi lepat nyuwun pangapunten.

Senyum saya terbit menerima balasan pesan pendek dari Kelik
Pelipur Lara itu. Makna pesan dalam parikan kiriman pemeran
tokoh Ucup Kelik itu adalah sebuah permohonan maaf
(pangapunten) jika ada kesalahan (lepat). Saya mesem karena
simbolisasi yang dipakai Kelik, yakni kupat (alias ketupat) dan
santen, sungguh tepat belaka. Siapakah yang bisa memisahkan
ketupat dari suasana puasa dan Lebaran ini?

Simbolisasi memang masih kental mewarnai aktivisme masyarakat
di banyak momentum sosial dan religi. Juga pada bulan suci kali ini.

Pada setiap Lebaran, kupat tak akan pernah absen di meja-meja
makan keluarga. Dan itu bukan tanpa alasan "filosofis". Tahukah
Anda kupat adalah perlambang dari suasana saling memaafkan?
Ya, karena kupat berasal dari kata ngaku-lepat (bahasa Jawa)
yang berarti mengaku salah. Pada hari Lebaran itulah setiap
muslim saling mengakui kesalahannya untuk kemudian saling
memaafkan.

Dalam khazanah bahasa Jawa, "teknik" mencari kepanjangan
sebuah kata yang klop dengan suasana tertentu semacam ini
disebut jarwodosok atau keratabasa. Contoh lain adalah
gedang (pisang) yang diartikan di-geged bar madhang alias
disantap setelah makan besar. Kenyataannya, buah pisang
memang dinikmati sebagai pencuci mulut setelah makan besar.

Jauh sebelum sampai Lebaran, tepatnya hari-hari menjelang
puasa, masyarakat Jawa masih ada yang menjalani tradisi
padusan. Ini adalah kegiatan yang menyimbolkan upaya
penyucian diri sebelum memulai puasa atau poso dalam bahasa
Jawa. Vokal o di sana dibaca seperti orang mengucapkan kata
dodol.

Padusan berasal dari kata adus yang artinya mandi. Padusan
biasanya dilakukan beramai-ramai di sebuah kedung, sungai,
atau kolam. Di seputar Solo, tempat yang lumayan kondang
adalah kolam pemandian Cokrotulung (Klaten) dan Pengging.

Bersama lalunya waktu, tradisi padusan mengalami pengayaan
format. Sekarang padusan sudah jadi komoditas wisata lokal.
Momentum padusan biasanya diramaikan dengan pertunjukan
dangdut atau keriaan lainnya untuk menarik pengunjung.

Kadang padusan juga harus menyesuaikan dengan kehendak alam. ]
Waktu kecil, teman-teman sekampung saya ber-padusan di Kali
Krangkeng. Tahun lalu ketika mudik, saya temui kali itu sudah
lenyap "dimakan" kemarau. Saya tak tahu, apakah dengan demikian
padusan tak dilakukan lagi atau masyarakat mencari lokasi lain.

Selain padusan, masyarakat masih menjalani beberapa tradisi,
yakni ruwahan dan nyadran. Keduanya menyimpan simbol-
simbol tertentu yang berkaitan dengan penyucian diri
dan penghormatan pada leluhur.

Kemudian masuklah pada bulan puasa (poso). Uniknya, setahu
saya tak ada simbolisasi apa pun yang berkaitan dengan inti
ibadah saum ini. Tak ada ritual bikinan masyarakat pengiring
puasa. Juga tak ada jarwodosok untuk kata poso.

Tapi saya ingat, kata poso dipelesetkan menjadi opo-opo kerso
(semuanya mau). Ini ditujukan kepada para bocah yang malas
puasa. Saya pernah distempel dengan pelesetan itu karena
hingga kelas 2 SD masih malas puasa.

Kini, saya ingin menyematkan pelesetan itu di jidat para koruptor
yang setiap bulan puasa ikut shaum, tapi ternyata tetap gemar
menilap harta haram. Mereka yang ikut terlihat suci pada Ramadan,
tapi ternyata tetap opo-opo kerso pada apa saja: dari wanita hingga
uang suap. Mereka yang kini terlihat sok kalem di depan publik,
main akrobat pernyataan membersihkan diri, tapi sebenarnya tahu
Allah SWT tak dapat dikibuli.

Mereka ini tampaknya poso, tapi sejatinya tetap rakus menyikat
semua yang berbau haram untuk kepentingan sendiri. Mereka
kebanyakan ada di parlemen, instansi pemerintah, pengusaha
hitam, pengacara busuk, dan lain-lain...

*) Gambar diambil dari www.geocities.com

Wednesday, September 10, 2008

Puasa Klotekan

Kenapa bulan ramadhan begitu mudah membawa kenanganku kepada masa kanak-kanak? Saya tergoda mencari tahu soal itu sesaat setelah terbangun untuk sahur pada hari pertama Ramadhan tahun ini. Saat itu saya jaga oleh suara tetabuhan disertai teriakan ajakan sahur rombongan anak-anak yang lewat di depan rumah. Ramai sekali—jika tak ingin disebut berisik.

Tetapi suara tetabuhan itu telah melemparkan kenanganku ke masa bocah. Dulu saya pernah melakukan hal serupa. Posisi saya adalah pemukul kaleng bekas dalam ”orkestra sahur” yang kami sebut klothekan itu. Dengan berkalung sarung penahan hawa dingin, rombongan kami menyusuri seluruh pelosok kampung di kaki Gunung Lawu itu tanpa lelah. Asyik sekali.

Hal demikian selalu terulang setiap tahun. Maka setiap Ramadhan kami lalui dengan bergairah. Karena selain klothekan kami menjalani tradisi lainnya. Pada siang hari, misalnya, kami adu mercon bumbung sampai sore. Malamnya, sehabis sholat taraweh, anak-anak main petak umpet beregu—istilahnya cece-bence. Imbauan peceramah agar memperbanyak ibadah selama puasa hilang begitu saja saat kaki melangkah keluar masjid.

Kini saya curiga, Ramadhan begitu memancing kenangan dan romantika karena pekatnya tradisi yang menyertai. Sebenarnyalah saya menikmati hal itu. Hanya saja rasa tak berdaya kerap mengusik ketika menyadari justru perhatian kepada tradisi kerap lebih besar ketimbang pada instisari puasa. Bahkan hingga kini.

Tentu saja saya tidak klothekan lagi sekarang. Tetapi, sumpah, saya kerap tergiur memenuhi undangan buka bersama yang datang dari sana-sini itu. Saya selalu suka ber-haha-hihi dengan kenalan atau orang-orang yang baru kenal di acara itu. Saya juga kerap tak kuasa menahan godaan untuk melalap semua acara teve lucu-lucuan yang marak sepanjang Ramadhan dengan iklan super banyak itu. Semua tradisi masa kini itu sungguh menyenangkan hati.

Tetapi setelah semua itu, pada suatu malam, saya kelelahan sendiri di rumah. Lalu malam merambat tua. Sunyi mendaulat sekeliling. Saya belum bisa terlelap ketika sebuah suara --entah dari mana datangnya-- menyapu telinga saya. ”Sudah berapa jauhkah engkau berjalan dari masa kanak-kanakmu? Atau jangan-jangan engkau tak melangkah kemana-mana? Apakah bedanya klothekan yang kau lakukan dulu dengan sibuk wira-wiri kesana-kemari sekarang ini?”

Saya nyaris emosi. Tetapi suara itu terdengar lagi. ”Tak ada yang salah dengan tradisi. Hanya saja engkau gagal meletakkan biji timbangannya dengan tepat.”

Malam itu saya tetap terjaga, hingga seruan imsak berkumandang dari corong masjid...