Friday, October 06, 2006

Solilokui untuk Munir

“Munir kok dijadikan tokoh, kayak nggak ada yang lain saja.”

Engkau tahu Cak, siapakah yang mungkin mengeluarkan kata-kata
macam itu? Gerutuan itu melompat dari alat ucap para petinggi serdadu
setelah dari meja redekasi kami mendaulatmu menjadi
“Man of The Year 1998”. Waktu itu awal tahun 1999.

Kita tahu, demikianlah tentara. Seluruh eksistensinya
tergantung pada sebutir timah panas, dan bukan pada kemanusiaan.
Maka, sebuah penobatan yang mencederai “agama” mereka itu,
akan mereka taruh di seberang garis berlawanan.

Aku tak akan pernah melupakan malam itu, Cak—kali pertama
aku bertemu muka denganmu. Di sebuah koridor kampus, dimana
siang tadi sejumlah bunga bangsa gugur diterjang peluru, sisa darah
berceceran masih di depan gedung, dan sungguh menggetarkan, tak
ada bau amis di sana.

Tetapi kita terpana. Sekaleng selongsong peluru tajam berhasil
dikumpulkan para mahasiswa dari halaman kampus mereka!

Para serdadu itu, yang mengendap-endap di ketinggian jalan layang,
mungkin juga diatap-atap bangunan tinggi, rupanya telah memutuskan
akan membasmi anak-anak yang hanya ingin merawat hati nurani itu
dengan berondongan peluru tajam. Kita tahu, demikianlah tentara.
Kebanggaan mereka hanya tergantung pada sebutir peluru.

Saat itu aku mencoba menyelami ke kedalaman matamu.
Sebenarnya itu sesuatu yang sia-sia, karena keringat dan ketulusanmu
telah menemani mereka yang dihilangkan, malam dan siangmu
milik mereka yang terampas, senyum dan tangismu bersanding
dalam doa-doa mereka yang ditindas.

Lalu aku tahu engkau tak pernah beranjak dari posisi itu
ketika kekuasaan berganti, keculasan datang dan pergi,
dan tentara masih menggantungkan harga dirinya pada
sebutir peluru.

kalau takut pada teror, katamu suatu saat, itulah saatnya
kemenangan sang peneror.

Cak, aku tahu engkau bukan tak memiliki rasa takut
tetapi koyak-moyak negeri butuh lebih dari sekadar takluk
pada ketakutan. Sungguh tidak ada waktu untuk membeku
di bilik kamar.

dan engkau menolak takluk, hingga Sang Maha Kekasih
menjemputmu demikian indah.

Cak, maafkan aku belum sempat menunaikan janji
menemuimu---meski aku yakin engkau tak pernah menagih.

Selamat jalan, Cak
temanilah kami menjalani hari-hari yang penuh teror ini.
-----------------------------------
(Setelah Membaca HL Koran Tempo, Kamis 5 Oktober 2006 berjudul
Hakim: Polly Bukan Pembunuh Munir)

No comments: