Tuesday, October 10, 2006

Kematian Kedua Sang Presiden

Presiden Republik BBM telah mati untuk kedua kalinya.
Hari-hari ini, penonton Indosiar tak bisa lagi menikmati
penampilan Taufik Savalas sebagai Presiden Republik
Benar-Benar Mabok (BBM) di acara Ramadhan di Istana.
Tak ada lagi gaya bicara, gestur, dan cara berpakaian
Taufik yang mengingatkan kita pada Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY).

“Karena ada telepon dari Istana, (katanya) tidak boleh ada
‘penginaan’ terhadap presiden, maka acara Ramadhan di
Istana mohon pamit.” Selarik SMS itu masuk ke ponsel
saya menjelang tengah malam. Yang dimaksud “dari istana”
, adalah Istana Kepresidenan tempat SBY berkantor. Dia
juga menyebut nama sang penelepon—seseorang yang
dikenal dekat SBY.

Tetapi, ternyata acara –Ramadhan di Istana (RdI)-- yang
tayang setiap menjelang sahur itu tetap hadir. Hanya Taufik
tak lagi memerankan Presiden. Dikisahkan sang presiden
sedang safari ramadhan. Maka Taufik berganti
memerankan apa saja—selain presiden.

Saya mencari tahu pada seorang kawan di jajaran elit redaksi
Indosiar. Ia mengakui ada pihak luar yang menelepon pemilik
Indosiar, meminta agar acara RdI tak kritis pada SBY. Ia tak
menyebut siapa sang penelepon, tetapi jelas memiliki kekuasaan.
Buktinya “ancaman” itu dituruti. Presiden BBM absen.
Padahal, kata kawan ini, sejak awal tak ada skenario menghilangkan
peran presiden. “Seharusnya Presiden hadir sampai episode terakhir.”

Jika pengakuan di atas benar adanya, ini adalah kematian kedua
Presiden BBM. Sebelumnya acara Republik BBM juga tak diteruskan,
karena kasus serupa. Lalu acara itu pecah menjadi “Istana BBM”
(sebuah sitcom di Indosiar) dan (pemain) lainnya meneruskan ke
Metro TV dalam acara “Republik Mimpi: Newsdotcom”.

Kembali kita disadarkan, kekuasaan ternyata masih belum steril
dari sawab Orde Baru. Orde Baru belum benar-benar jadi
hantu. Secara fisik kita melihat perwakilannya pada beberapa
sosok di pemerintahan. Secara alam pikir, kita lebih banyak lagi
menyaksikan pada mereka yng kini tengah bancakan di sekitar
pusat kekuasaan.

Sawab itu adalah sikap anti kritik, dan menganggap citra presiden
bisa dijaga dengan membungkam kebebasan berekspresi. Sawab
yang memandang kritik sebagai “penginaan”. Sawab itu adalah
sejenis ancaman jika kritik tetap bandel dilakukan, silakan menerima
akibatnya (yang akan dirasakan secara langsung atau tak langsung).

Siapakah mereka ini yang gemar memelihara sawab masa
lalu itu? Apakah Andi Malarangeng, Dino Pati Jalal, Sudi Silalahi,
Hamid Awaludin, dan lain-lain dan sebagainya? Ataukah justru dia
yang ada di pusat kekuasaan sendiri: SBY dan JK?

Mungkin salah satu atau dua dari mereka. Mungkin juga bukan
mereka sama sekali. Tetapi "telepon sensor" telah dilakukan.
Dan, kita tahu, kekuasaan ini belum steril dari sawab Orba!

No comments: