Thursday, January 07, 2010

Turunkan Nurdin Halid dan Nugraha Besoes


Kekalahan tim nasional dari Kesebelasan Oman kian menambah bukti bobroknya pembinaan sepak bola di tanah air. Sebuah perubahan radikal harus segera dilakukan jika tak ingin prestasi kesebelasan kita semakin terpuruk. Fokus pada pembinaan ini jauh lebih penting ketimbang memelihara mimpi menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022.

Kekalahan menyakitkan tersebut menyebabkan tim Indonesia gagal berkiprah pada putaran final Piala Asia 2011. Ini kemunduran besar setelah sejak 1996 Indonesia selalu tampil di putaran final. Sebelum kekalahan ini, hampir di semua event internasional tim Indonesia juga gagal total. Tim Nasional U-19 yang dipersiapkan di Uruguay tak bisa bicara banyak dalam kompetisi Pra Piala Asia. Lalu Timnas U-23 dipermalukan dalam SEA Games belum lama ini. Mereka "mencetak sejarah", karena untuk pertama kalinya dikalahkan Laos--negeri yang selama ini tak pernah diperhitungkan dalam kancah sepakbola regional.

Inilah masa-masa ketika sepakbola Indonesia berada dititik paling nadir sepanjang sejarahnya. Dan, yang paling bertanggung jawab atas kebangkrutah prestasi ini, tak lain adalah Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Organisasi yang dipimpin Nurdin Halid ini sudah gagal membangun sistem pembinaan, sehingga tim nasional --yang menjadi ukuran dari keberhasilan sebuah pembinaan-- tak berdaya di kancah internasional. Patut diduga pengurus elite PSSI tak mempunyai visi pembinaan memadai dalam mengurus sepak bola tanah air.

Sendi sebuah pembinaan adalah kompetisi yang rapi dan teratur di setiap tingkatan. Itulah yang belum mampu digelar PSSI. Di ranah profesional memang ada kompetisi Liga Super, Divisi Utama, Divisi I dan seterusnya. Tetapi bahkan di Liga Super yang digadang-gadang sebagai puncak kompetisi di tanah air, tidak bisa dijalankan dengan sempurna. Liga Super terjangkit berbagai persoalan yang masih elementer: banyaknya klub yang tak ditangani secara profesional penuh karena masih mengandalkan sumber keuangan dari APBD, minimnya stadion yang layak pakai, hingga problem pembayaran yang tidak lancar kepada para pemain.

PSSI --lewat Komisi Disiplin-- juga terkesan gamang menegakkan aturan untuk mengatasi berbagai persoalan disiplin yang terjadi dalam kompetisi. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi tak pernah ditangani secara tegas, sehingga kompetisi gagal membantuk mental pemain.

Menarik ditelaah, bahwa dalam 10 tahun terakhir tim nasional sudah berganti pelatih hingga enam kali. Toh, prestasi tim nasional tak juga membanggakan. Ini menunjukkan ada yang salah dalam sistem kompetisi kita.

Semua itu semestinya tak perlu terjadi jika PSSI memiliki visi pembinaan yang jelas dan tahu ke arah mana sepak bola nasional mesti dibawa. Sebuah kompetisi profesional harus didukung sikap profesionalitas pula dalam mengurusnya--termasuk oleh para stakeholder. Sebuah klub profesional, misalnya, tak patut lagi mengandalkan dana dari APBD karena dikhawatirkan akan menjadi ajang pertarungan berbagai kepentingan diluar urusan sepakbola.

Satu hal lagi yang lalai dilakukan oleh PSSI adalah melakukan pembinaan jangka panjang. PSSI tak memiliki sebuah kompetisi yang teratur untuk para pemain junior dan muda usia. Padahal, dari kompetisi semacam inilah akan lahir pemain-pemain yang terasah sejak dini dan matang di lapangan. Dengan bergulirnya kompetisi junior secara berjenjang, pasokan pemain potensial juga akan terus mengalir.

Apa yang terjadi saat ini adalah PSSI ingin membangun sebuah kesebelasan dengan cara instan. Kasus pengiriman Timnas U-19 ke Uruguay selama dua tahun dengan biaya miliaran rupiah adalah contohnya. Dan, kita sama-sama tahu apa yang terjadi pada tim ini: mereka dibantai di ajang Pra Piala Dunia oleh tim-tim jiran.

Sebenarnya jalan instan ini sudah lama dilakukan. Pada dekade 1980-an PSSI sejumlah pemain dengan nama nama PSSI Garuda I ke Brazil. Setelah itu ada Garuda II ke Yugoslavia. Tim Ini gagal total di Pra Olympiade 1992. Dekade berikutnya ada Program Primavera dan Baretti ke Italia. Hasilnya, tak banyak pemain lulusan proyek mahal itu yang bisa bertahan lama di Tim Nasional. Padahal pemain Italia seangkatan mereka di Primavera sepert Del Pierro masih moncer prestasinya hingga tahun lalu.

Nurdin Halid yang menjadi Ketua Umum sejak 2003 dan Sekjen PSSI Nugraha Besoes sudah memiliki (teralu) banyak waktu untuk menunjukkan prestasinya. Namun, hinga saat ini hanya timbunan kegagalan yang mereka persembahkan kepada pecinta sepakbola tanah air. Sudah saatnya PSSI melakukan perombakan total dan diurus orang-orang yang 100% bersedia mengabdi kepada kemajuan sepak bola tanah air.

*) Foto diambil dari: http://media.vivanews.com/
images/2008/11/27/59780_markus_horison_saat_latihan_bersama_timnas_di_sawangan_depok_.jpg

2 comments:

Bestori Gultom said...

saya sangat yakin suatu saat pasti tim nas indonesia bakal ikut dalam piala dunia.

TSP said...

seorang kawan asal Iran yang fanatik bola bertanya,"you guys Indonesians play very good football. even Deddy is a hooligan of his football club..what you call it..Bonek? but why does your national team never win? why? i don't understand."