Sunday, February 22, 2009

Film Horor Menghantui Kita


Maraknya film-film lokal bertema horor belakangan ini sungguh
tak menguntungkan bagi perkembangan budaya masyarakat.
Sebagai bagian dari produk budaya populer, film yang menjajakan
irasionalitas ini, akhirnya ikut melanggengkan kebiasaan berpikir
dan bertindak irasional di dalam masyarakat kita. Sudah saatnya
kalangan insan perfilman dan masyarakat luas mengerem laju
produksi “film-film hantu” ini.

Sejatinya serbuan film hantu ke layar-layar bioskup kita sudah
berlangsung dua tahun terakhir. Pada 2007 dari total produksi
film sepertiganya adalah film berbau mistik-horor. Tahun lalu
prosentasenya tak banya berubah. Pada tahun ini, belum lagi
dua bulan dilalui, kita sudah melihat judul-judul seperti ini:
Setan Budeg, Hantu Jamu Gendong,
Kuntilanak Beranak, Hantu
Biang Kerok
, dan lain-lain.

Sangat mudah dipahami dibalik gentayangannya film-film pocong
dan keluarganya ini alasan daganglah yang berbicara. Produser
film, sineas, pekerja film, dan pemain-pemainnya semata digerakkan
alasan ekonomi ketika bahu-membahu memproduksi film hantu.

Biaya produksinya memang murah. Hanya dengan modal perekam
video, pemain-pemain baru (dengan honor alakadarnya tentu), dan
lokasi yang itu-itu saja, sudah cukup untuk menghasilkan satu film
horor. Sedapnya, film dengan anggaran super irit ini akan
menghasilkan pemasukan yang besar. Bayangkan, tak jarang satu
film ditonton sekitar 1 hingga 1,5 juta orang. Siapa yang tak ngiler?

Hampir semua kisah film-film ini diangkat dari legenda atau
kepercayaan yang berkembang di masyarakat. Kuntilanak, pocong,
sundel bolong, suster ngesot, dan masih banyak lagi adalah ikon-ikon
hantu yang diyakini ada oleh sebagian masyarakat. Mengangkut
mereka (dengan segala kemampuan gaib yang dimiliki) dari “alam”-
nya ke layar bioskup, tentu saja kian menabalkan eksistensi warga
dari dunia arwah ini.

Sebagian masyarakat kita yang memang percaya pada hal-hal
irasional, kian merasa mendapat penegasan. Ini bisa berbahaya.
Karena banyak soal riil lalu disikapi dan dicari penyelesaiannya
secara irasional pula. Ribuan orang yang antre untuk mendapat
pengobatan gaib dari dukun cilik Ponari hanyalah salah satu
contohnya. (Ah, jangan-jangan tak lama
lagi akan muncul film tentang Ponari ini).

Menjadikan dalih dagang dalam memproduksi sebuah sinematografi
pada akhirnya juga memasung kreativitas masyarakat film.
Beragamnya persoalan yang berkembang di masyarakat tidak dilihat
sebagai inspirasi dalam berkarya. Mereka tersandera formula yang
diciptakan sendiri, yakni problem masyarakat sulit dikemas menjadi
film yang menghibur sehingga pasti gagal di pasaran.

Yang terjadi sebenarnya adalah malas berpikir dan berkreasi. Para
pemilik modal ingin cepat meraup keuntungan. Sementara kalangan
sineas tak bisa berbuat banyak, selain menuruti keinginan produser.
Bisa juga mereka enggan susah-susah mengerahkan kreatifitas –untuk
tidak mengatakan kemampuan mereka memang pas-pasan--, jika
dengan film yang seadanya itu masyarakat berduyun-duyun
menonton.

Padahal sudah beberapa kali formula dagang itu terpatahkan oleh
film-film yang diproduksi dengan kerja keras dan sarat kreatifitas,
misalnya: Petualangan Sherina, Ayat-ayat Cinta, Denias, hingga
Laskar Pelangi
. Kualitas film-film ini dapat dipertanggung-jawabkan,
sekaligus sukses di pasaran karena sangat menghibur.

Sudah saatnya kalangan warga perfilman menyadari hasil kerja
mereka dapat mempengaruhi budaya masyarakat. Oleh karena itu
mereka bertanggung jawab hanya memproduksi film-film bermutu.
Jika gerojokan film-film hantu itu tak dikurangi, bukan tak mungkin
akan terjadi pembusukan dan menggiring perfileman kita kembali mati
suri seperti lebih 12 tahun lalu.

Khalayak pun pelan-pelan harus belajar untuk hanya menonton
film-film bermutu. Para agen kebudayaan dituntut ikut menciptakan
kondisi agar masyarakat mampu memilih tontonan yang layak.

*) Catatan ini dimuat di ruang Editorial Koran Tempo 20/02/2009

**) Gambar diambil dari forumkafegaul.com

Sunday, February 15, 2009

BOULEVARD


Tulisan seorang teman mengomentari foto yang kupasang di
akun Facebook itu membuat tertegun. "Kang, wit cemoro-ne
koyo nang foto kuwi saiki wis gari sithik. Malah meh punah,"
tulisnya. Deg! Lalu saya pandangi foto yang dijepret pada
akhir tahun 1980-an itu. Tampak kami berempat duduk di
ujung boulevard UGM (Universitas Gadjah Mada) dengan
latar belakang jalan lebar dan jajaran pohon cemara.
Terasa hijau dan damai.

Rasanya aku ingat. Saat itu dengan teman-teman seindekos,
kami menyusuri boulevard pada sebuah pagi. Udara segar.
Dan cericit suara burung di sela dahan cemara seperti
memfasilitasi relaksasi murah ala mahasiswa berkantong
pas-pasan seperti kami ini. Cemara yang teduh.
Boulevard yang utuh.

Boulevard yang terasa mengayomi itu hanyalah salah satu
atmosfer yang disuguhkan kawasan itu. Sebab, di avenue
itu pula tercipta demikian banyak lakon tak terlupakan oleh
mereka yang pernah ngangsu kawruh di UGM. Mulai dari
kisah romantis pasangan yang pernah mengikat janji.
Hingga rentetan pergolakan mahasiswa yang mengubah
sejarah bangsa kita.

Di boulevard itu, di bawah desis daun cemara yang dihela
angin, benih-benih perlawanan mahasiswa pernah ditaburkan
pada pertengahan 1980-an. Itulah saat pertama kalinya
mahasiswa bergerak setelah 10 tahun dibelenggu kebijakan
Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Satu dekade
kemudian, lagi-lagi boulevard menjadi saksi pemberontakan
anak-anak muda pemberang dalam menjungkalkan rezim
fasis Orde Baru.

Tak hanya menampung keringat dan elan perlawanan.
Boulevard pada masa itu juga pernah ikut menghantarkan
doa-doa khusyuk para perantau. Itu terjadi pada malam-
malam Ramadhan, ketika sebagian jalan digunakan untuk
salat tarawih. Maklum, kala itu sang kampus rakyat belum
memiliki masjid semegah saat ini. Hmm, dapatkah engkau
rasakan syahdunya salat di bawah bayangan pohon cemara,
sedangkan bulan mengintip di sela dahan?

Semua itu telah menjadi bagian dari boulevard. Barangkali
ia tersimpan rapat di akar rerumputan dan perdu taman.
Atau ia tergurat di kulit batang cemara yang kemudian
mewariskan kisahnya kepada mahasiswa-mahasiswa era
kiwari. Pada boulevard, sejarah dan kenangan, juga daya
hidup para intelektual Kampus Biru terawat sempurna.

Tapi apakah boulevard akan tetap menjadi demikian
ketika deretan cemaranya kini musnah? Kawabata pernah
menulis sebait sajak: hijau yang abadi/tapi pohon cemara
itu lebih hijau pada musim semi.

Saya (ingin) percaya: boulevard--dan dengan demikian
UGM--senantiasa abadi dengan pengabdiannya.


*) Catatan ini dimuat di rubrik "Angkringan" Koran Tempo edisi Yogjakarta (Senin 16 Februari). http://epaper. korantempo. com/KT/KT/ 2009/02/16/ index.shtml

Friday, February 13, 2009

Dandy-isme

Sungguh menarik panorama kepemimpinan kita ditinjau dari
segi psikiatri: seberapa jauhkah nasib kita sebagai bangsa diutak-
atik oleh segerombolan psikopat? Revolusi kita ini terlalu padat
dengan para dandy. Terlalu sesak oleh gerombolan pesolek
yang suka nampang di mana-mana dan ke mana-mana.

Jangan salah, dandy bukanlah istilah rekaan saya. Itu adalah sebutan
yang ditahbiskan sastrawan Iwan Simatupang (almarhum)
kepada para elite politik tahun 1960-an. Saya membaca dalam
sebuah refleksinya yang terkumpul dalam buku terbitan LP3ES
(1986) berjudul Surat-surat Politik Iwan Simatupang 1964-1966.

Terasa Iwan demikian intens mengeksplorasi sindrom dandy yang
diidap para pemimpin saat itu. Dia bilang setiap kita adalah psikopat.
Tetapi di antara kita masih banyak yang sadar untuk tak
mengungkapkannya secara eksesif. Nah, sebaliknyalah yang terjadi
kepada para pemimpin dandy itu. Dia menyarankan untuk melacak
masa kecil para tokoh politik tersebut guna memahami sebab-
musababnya.

Misalnya siapa orang tuanya, bagaimana lingkungannya, siapa
kawan-kawannya, kisah atau dongeng apa saja yang ia baca,
fantasi apa yang pernah timbul di masa bocahnya, siapa tokoh
heronya, dan sebagainya.

Para pemimpin dandy juga mesti diteliti perkembangan terbarunya:
kata-kata apa saja yang ia gemari, apa hobinya, bagaimana kisah
asmaranya dulu, dan lain-lain. Dengan mencari jawab atas
pertanyaan itu, akan diketahuilah mutu para pemimpin.

Sebenarnya tak bisa dimungkiri sejarah dunia juga ditorehkan oleh
para dandy. Rousseau adalah seorang dandy. Nehru, dengan
sapu tangan sutra dan kembang di lubang kancingnya, adalah
dandy. Juga Sun Yat Sen, George Washington, dan Stalin dengan
kemeja satin dan minyak rambut Prancis. Tentu saja Soekarno
adalah seorang dandy par excellence dengan gaya berpakaian,
cara berjalan, gaya pidato, serta alegori kesukaannya.

Dengan demikian, dandy-isme kurang-lebih bisa diartikan
sebagai gemar akan kekenesan. Seorang dandy hanya suka
bergaul dengan dandy lainnya. Dan kita-kita ini hanya dianggap
sebagai audiens. Kita hanyalah papan resonansi. Kita adalah para
tukang keplok--tak peduli para dandy itu selip kata dalam pidatonya
atau keliru menempati blocking. Plok! Plok! Plok!

Bagi seorang dandy, yang terpenting adalah berada di
pusat perhatian. Dia akan frustrasi jika lampu sorot tak
mengarah lagi kepadanya.

Saya menutup halaman buku yang kubaca itu dengan
susah payah menyadari bahwa Iwan Simatupang sedang
berbicara tentang tokoh politik 1960-an. Bukan zaman sekarang!