Monday, July 16, 2007

Surat Cinta kepada Ponaryo dkk

Pernahkan anda merasakan jatuh cinta lagi—dengan kualitas
dan getaran yang sama ketika pertama kali kasmaran dulu?
Saya sepertinya merasakan hal itu kembali saat di stadion
Gelora Bung Karno menonton tim nasional bertarung melawan
Arab Saudi Sabtu pekan lalu. Melihat gelagatnya, itulah juga
yang dirasakan 80 ribu penonton lain di dalam stadion.
Belakangan saya tahu, jutaan pecinta sepak bola tanah
air tertimpa ”nasib” serupa.

Ya, jatuh cinta massal nan akbar telah terjadi. Cinta
yang kembali bersemi kepada tim nasional sepak bola
sendiri. Tahun-tahun yang dirajam perasaan kering
dan tawar pada skuad nasional, mulai pupus. Dan
ketika cinta menuntut kerelaan, ribuan penonton
itu ikut berkeringat dan berdarah bersama para
pemain yang jatuh bangun di lapangan.

Saya tak tahu kapankan hal semacam ini terakhir
terjadi. Stadion bergetar. Sejak beberapa jam
sebelum kick off dan selama 90 menit sepanjang laga,
penonton terus bernyanyi.
Oooo, oooo/Ooo, Indonesia/Kuingin/Kita kan
menang/ Oooo-ooo...
Semangat dipompa maksimal. Yel-yel heroik
tak pernah putus berkumandang: Indonesia! Indonesia!

Dari tribun trimur kulayangkan pandangan ke
penjuru stadion. Lautan warna merah dan putih
menggelorakan stadion tua ini. Puluhan ribu jiwa
yang tengah tersedot pusaran energi cinta itu
terus bergerak. Melonjak-lonjak tanpa lelah.
Mereka mengibarkan bendera, atau memutar-
mutar gulungan kain merah ke udara. Lalu sesekali
menciptakan mexican wave yang sangat teatrikal.

Seluruh energi itu seolah hendak ditransfer ke
lapangan guna mengempos semangat perjuangan
para pemain kita. Tetapi benarkah ini semua cinta sejati?

Ujian itu terjadi pada masa injury time, ketika bola
sundulan Saad Al-Harthi menggetarkan jala gawang
Yandry Pitoy. Gol yang memenangkan Arab Saudi
itu terbukti tak menggerus cinta yang baru tumbuh.

Yel terus berkumandang sampai menit terakhir.
Bahkan hingga satu jam setelah pertandingan usai
ribuan penonton bertahan di dalam stadion. Mereka
terus bernyanyi. Meneriakan yel. Mengibarkan merah
putih. Dan ber-aplaus panjang untuk tim nasional.
Semangat ini masih terus terbawa hingga keluar stadion,
di jalan-jalan, ketika masing-masing pulang ke rumah.

Tumbuhnya cinta itu sejatinya tak lain karena
persembahan yang telah diberikan Ponaryo Astaman
dan kawan-kawan juga. Cara mereka bertarung
ketika mengalahkan Bahrain dan menghadapi Arab
Saudi telah membangkitkan hal yang selama ini
hilang: harga diri bangsa!

Mereka telah memberikan pelajaran langsung,
bahwa kehormatan tak bisa diraih dengan cara
instan. Anak-anak muda itu bersedia memberikan
segalanya, –darah dan air mata—, demi kebanggaan
bumi Pertiwi.

Itu sebabnya, masyarakat rela mewakilkan semua
impian atas harga diri bangsa kepada 11 pemain yang
bertarung di lapangan. Bersama tim Garuda masyarakat
merasa Bangsa ini masih layak dipertahankan—setelah
luluh lantak karena kekayaannya dikuras para
koruptor, pembalak liar, atau petualang-petualang
berkedok cerdik cendekia.

Kepada Eka Rhamdani dan kawan-kawan, khalayak
menemukan heronya, setelah tak mendapatkannya
pada para politisi yang berkeliaran di berbagai
panggung politik. Bahkan kepada para pemimpin
pun kepercayaan masyarakat sudah lama terkikis.

Corat-coret ini anggap saja sebuah surat cinta
kepada Ellie Eboy dan kawan-kawan atas pengabdian
mereka. Besok, saat melawan Korea Selatan, kita yakin,
semangat mereka tak berkurang seinci pun.

No comments: