Sunday, July 08, 2007

Angkringan Pilkada

Saya sangat suka melihat pose foto yang dimuat suratkabar ibukota itu.
Tiga pria berdiri berjajar dengan senyum lepas di bibir. Bagi warga
Jakarta, ketiganya merupakan sosok paling kondang di jagat politik
ibukota saat ini. Siapa lagi mereka kalau bukan Fauzi Bowo dan Adang
Daradjatun . Dan pria ketiga --dalam foto itu berdiri di tengah-- adalah
Sutiyoso, Gubernur DKI Jakarta.

Saya perlihatkan foto itu kepada Mas War yang tengah duduk di balik
gerobak angkringannya. ”Kompak, kan?” kataku sambil memesan segelas
teh jahe dan sebungkus sego (nasi) kucing. Bagaimana tidak kompak, Bang
Yos (sapaan Sutiyoso) ada di tengah, dengan kedua tangan mengait lengan
Bang Foke (pangglan Fauzi) dan Bang Adang. Dengan senyum di bibir,
sungguh tak terlihat aura persaingan antara Foke dan Adang yang tengah
mengincar kursi gubernur Jakarta itu.

Tapi respon mas War sungguh tak terduga. “Kalau di kampungku, gaya
seperti Bang Yos itu biasanya digunakan untuk memisah dua anak yang
lagi berantem, mas,” katanya cengengesan sambil mengangsurkan pesanan
saya.

”Hush!” kataku. ”Meski lagi bersaing berebut jabatan gubernur, ndak ada
itu perasaan bermusuhan apalagi saling benci. Ada-ada saja sampeyan ini.”

Lalu meluncurlah ceramah sok pintar dari mulut saya disela kesibukanku
mengunyah nasi putih berlauk sepotong kecil bandeng plus sambal itu.
Kataku, mereka ini bukan seperti kucing yang tengah berebut bandeng.
Mereka tidak saling mengintai untuk menjatuhkan—apalagi saling mencakar.

Mereka adalah pria terhormat: yang satu wakil gubernur, satunya mantan
Wakil Kepala Polri. ”Sego kucing sampeyan ini memang mak nyus, mas,” kataku
sambil menggigit bandeng. ”Tapi bapak-bapak itu bukan kucing yang kalau
berpolitik gemar main cakar-cakaran.”

”Lha itu apa, bos?” tanya mas War menunjuk tebaran spanduk di seberang
jalan. Ya, di bawah cahaya lampu mercury, memang kulihat berbagai spanduk
kampanye saling ”serang.”. Sebuah spanduk menyindir Foke yang mengusung
tema kampanye ”Serahkan pada Ahlinya.” Spanduk lainnya berlagak serupa,
cuma yang dikilik-kilik adalah Adang yang gencar berkampanye ”Ayo Benahi
Jakarta.”.

Saya berusaha menjelaskan bahwa maksud kedua kandidat baik. Mereka
berjanji akan membawa Jakarta lebih maju jika jadi gubernur. Saling sindir
itu cuma bumbu saja. ”Kalau Bang Foke menang, usaha angkringan
sampeyan ini, juga usaha sedulur-sedulur wong cilik lainnya, akan
dibina. Beliau, kan, ahlinya.”

Kuseruput teh-jahe hangat dulu, sebelum kuteruskan celotehku. ”Lha
kalau Bang Adang yang terpilih, dia akan membenahi semua infrsatruktur
yang memungkinkan usaha Mas War makin oke. Piye, mas, sip, kan?”
Aku berharap dia akan terkagum dengan pidato ngalor-ngidul ini.

Bukan itu maksudku bos, sela Mas War. Lalu dengan masih cengengesan
dia bertanya kenapa para calon pemimpin itu sudah rebutan kampanye,
padahal belum waktunya. ”Lha kalau belum jadi pemimpin saja sudah
ngakalin aturan, gimana kalau sudah naik?”

Hm, aku merasa kalau diskusi ala angkringan ini diteruskan, pasti bakal
dead-lock seperti perundingan Indonesia-Singapura itu. Sulit bagi saya
menjelaskan bahwa itu cuma sosialisasi—dan bukan kampanye.

Kalau dia bertanya, ”Lantas itu apa bedanya?” Pasti saya cuma bisa
cengengesan. Mending saya nikmati saja sego kucing plus tah jahe
hangat yang nyamleng ini.

No comments: