Saturday, October 06, 2007

Kenapa Harus Libur Lama-lama?

Ada keleluasaan yang kita nikmati pada Lebaran tahun ini.
Pemerintah menambah hari libur dari lima hari menjadi delapan
hari. Tentu saja penambahan itu disambut dengan sukacita oleh
masyarakat karena mendapat waktu silaturahmi lebih banyak.
Tapi, di sisi lain, kita prihatin karena waktu produktif bangsa ini
semakin berkurang.

Itulah hasil revisi atas Surat Keputusan Bersama Menteri Agama,
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 481 Tahun 2006 tentang
Hari-hari Libur Nasional dan Cuti Bersama 2007. Sebelumnya, libur
Lebaran ditetapkan dari 12 hingga 16 Oktober, kini menjadi 12-19
Oktober dan enam hari di antaranya merupakan cuti bersama.

Sebelum direvisi, pada 2007 ini seluruhnya ada 13 hari libur
nasional ditambah 6 hari cuti bersama. Kini ada tambahan 3
hari cuti bersama sehingga waktu berleha-leha menjadi 22 hari.
Kalau ditambah libur Sabtu dan Minggu, pada tahun ini total ada
117 hari pakansi! Luar biasa, karena itu merupakan 30 persen
dari waktu yang ada sepanjang tahun ini.

Libur untuk menghormati hari keagamaan tentu sah-sah saja.
Begitu juga libur yang terkait dengan hari nasional. Semua
negara juga pasti memilikinya. Soalnya, berapa banyak jumlah
libur yang pas agar malah tidak berbalik menjadi melenakan?

Mari kita bandingkan dengan negara lain. Jepang tercatat hanya
memiliki 15 hari libur nasional. Di Cina, kesempatan libur muncul
pada hari pekerja, paling lama 10 hari. Sedangkan di Korea Selatan
hanya 11 hari. Jika ditambah libur Sabtu dan Minggu, jumlah hari
libur di negara-negara itu tetap belum mencapai 100 hari.

Membengkaknya jumlah hari libur kita karena pemerintah
menerapkan konsep cuti bersama. Hari libur jenis ini dibikin
untuk mengadopsi praktek karyawan membolos pada
"hari kejepit nasional". Jadi, ketimbang dipakai membolos,
mending hari itu dijadikan hari libur sekalian.
Tapi ini sama saja dengan menoleransi sikap malas bekerja.

Yang memprihatinkan, kebijakan itu diambil justru pada
saat produktivitas bangsa masih rendah. Menurut United
Nations Development Programme, peringkat kualitas
sumber daya manusia kita berada di urutan ke-111 dari
175 negara. Sedangkan daya saing produk nasional ada di
peringkat ke-58 dari 60.

Bandingkan dengan Cina, yang dalam beberapa tahun terakhir
berhasil melejitkan indeks produktivitas nasional mereka. Hingga
1978, tingkat produktivitas negeri itu hanya 1,1 persen. Setelah
reformasi ekonomi, angkanya menjadi 6,5 persen pada 2002.
Tak mengherankan, Cina lalu ditabalkan menjadi bangsa dengan
pertumbuhan produktivitas tertinggi di dunia.

Tentu saja banyak faktor yang menentukan produktivitas
suatu bangsa. Kami berpendapat bulan Ramadan mestinya mampu
menggembleng bangsa ini menjadi lebih berdisiplin, memiliki
etos kerja lebih baik, dan menumbuhkan sikap jujur. Semua itu
variabel penting bagi tumbuhnya produktivitas. Tapi sayang,
nilai-nilai positif itu bisa hilang begitu saja akibat libur yang lebih
panjang dan waktu bersantai yang lebih lama....

No comments: