Friday, May 29, 2009

Jangan Penjarakan Prita Mulyasari

Tindakan aparat penegak hukum menahan Prita Mulyasari karena
surat elektroniknya yang dinilai mencemarkan nama baik pihak lain
tidak selayaknya dilakukan. Tindakan tersebut nyata-nyata telah
memberangus kebebasan berpendapat dan fungsi kontrol sosial yang
dilakukan warga masyarakat.

Prita Mulyasari, seorang ibu rumah tangga, dituduh telah
mecemarkan nama baik Rumah Sakit Omni Internasional
Alam Sutera Tangerang. Oleh rumah sakit ini ia digugat
secara perdata dan (lalu) pidana. Hakim telah memenangkan
gugatan perdata RS Omni dan memvonis Prita untuk mengganti
kerugian materiil dan immateriil.

Belakangan Prita juga digugat secara pidana dengan pasal-pasal
UUInformasi dan Transaksi Elektronik (ITE ), serta Pasal 310
KUHP tentang pencemaran nama baik. Sejak pertengahan Mei
lalu, Prita menjadi tahanan titipan Kejaksaan Negeri Tangerang
di Lembaga Pemasyarakatan Wanita.

Kasus ini bermula ketika Prita merasa dipaksa menjalani rawat
inap saat memeriksakan kesehatan awal Agustus 2008. Kala
itu dokter jaga mendiagnosis Prita terkena demam berdarah
karena kadar trombositnya hanya 27 ribu. Keesokan harinya
dokter rawat inap mendapati trombosit Prita mencapai 181
ribu alias normal. Lima hari kemudian Prita memaksa pulang.

Merasa ditipu, Prita kemudian menulis surat elektronik berjudul
“Penipuan yang Dilakukan oleh RS Omni Internasional Alam
Sutera” dan mengirimkannya ke sebuah mailing-list (milis).
Dalam surat itu ia mengaku dipaksa menjalani rawat inap.
Ia juga mengaku sudah meminta hasil laboratorium, tetapi
ditolak rumah sakit.

Sebenarnya Rumah Sakit Omni sudah memberikan klarifikasi
di milis yang sama. Tetapi karena merasa tidak cukup lantas
membawa masalah ini ke ranah hukum.

Sepanjang yang tercatat, inilah untuk kedua kalinya sebuah
tulisan di internet teleh menyeret penulisnya ke meja hijau.
Kasus pertama dialami Nurliswandi Piliang, seorang jurnalis,
yang dituduh mencemarkan nama baik seorang anggota
parlemen.

Pasal pencemaran nama baik itu tercantum dalam Pasal 27
ayat 3 UU ITE. Sementara Pasal 45 menyatakan mereka
yang sengaja mendistribusikan atau menransmisikan dokumen
elektronik yang memuat penghinaan, diancam hukuman maksimal
enam tahun atau denda paling banyak Rp 1 Miliar.

Sejak diundangkan pada tahun silam, UU ITE ini telah mendapat
kecaman dan kritik tajam berbagai kalangan. Apa yang tersirat
–terutama-- dalam Pasal 27 dan Pasal 28 berpotensi mengancam
kebebasan berpendapat. Muatan isi dari pasal ini dapat
dikategorikan sebagai pasal karet yang penerapannya
bisa digunakan untuk kepentingan tertentu. Misalnya
untuk melindungi kekuasaan politik atau pemilik
modal kuat.

Selain itu, penerapan aturan itu juga berpotensi menghambat
penggunaan teknologi informasi untuk kepentingan orang
banyak. Pengguna internet akan selalu merasa was-was setiap
kali memposting informasi penting yang mesti diketahui
khalayak.

Sejumlah kalangan sebenarnya telah mengajukan judicial
review atas pasal-pasal karet tersebut. Namun, hakim
di Mahkamah Konstitusi masih menggunakan paradigma
lama dalam memandang “pencemaran nama baik”,
sehingga tuntutan itu ditolak.

Saatnya polisi, jaksa, dan hakim agar tidak terlalu mudah
menggunakan pasal-pasal karet tersebut. Apalagi mengingat
di banyak negara delik pencemaran nama baik telah dihapus
karena kerap digunakan untuk mengekang nilai-nilai
demokrasi.

Kasus Prita juga menunjukkan posisi konsumen masih
terlalu lemah dihadapan penyedia layanan publik. Konsumen
kerap tak bisa berbuat apa-apa ketika, misalnya, hak-hak
mereka belum terpenuhi.

Sikap proaktif dari lembaga-lembaga konsumen amat
diharapkan agar individu yang terlibat dalam persoalan
sejenis mendapat dukungan politis kuat. Terlebih apa
yang dilakukan Prita itu –yakni menulis surat
keluhan— dijamin Undang-Undang Perlindungan
Konsumen.

Sudah saatnya, aktivitas menyatakan pendapat tidak
dihadang oleh pasal-pasal hukum yang ambigu. Hal-hal
semacam itu hanya berlaku di negara anti-demokrasi.