Saturday, March 29, 2008

Fitnah dalam Fitna

Sebuah film yang sejak jauh hari disarankan untuk tidak
diputar, akhirnya tayang di jaringan internet. Film berjudul
Fitna karya Geert Wilders itu berisi hujatan terhadap Islam
dan kitab suci Al Qur'an. Pemerintah Indonesia segera
mengeluarkan kecaman keras atas penayangan tersebut.
Reaksi ini cukup mewakili perasaan Umat Islam Indonesia
yang terluka.

Fitna yang berdurasi sekitar seperempat jam ini berisi kompilasi
potongan adegan kekerasan, antara lain teror 11 September
dan pemenggalan kepala seorang sandera kelompok tertentu,
yang oleh pembuatnya dikaitkan dengan Islam. Film ini juga
mengutip potongan ayat-ayat Al Qur'an yang oleh Wilders
dianggap menyaran-kan kekerasan dan terorisme. Dengan
demikian film yang sama sekalitak bercitarasa seni ini lebih
tepat disebut dokumentasi berbagai peristiwa yang dimaksudkan
untuk menimbulkan citra negatif terhadap Islam dan Al Qur'an.

Sebelum ditayangkan lewat internet, Wilders sudah kesulitan
memutar Fitna di negerinya sendiri, yakni Belanda. Anggota
parlemen dari Partai Kebebasan ini tak berhasil membujuk
pengelola stasiun televisi setempat untuk memutar filmnya.
Pemerintah Belanda pun sudah mendesak agar dia tak
meneruskan rencananya. Bahkan, ketika film ini direncanakan
untuk ikut sebuah festival, pemerintah Belanda melarangnya.

Akhirnya, situs http://www.liveleak.com/ bersedia menayangkan
film kontroversial itu sejak 28 Maret. Dan galibnya karakter di
dunia maya, film itu dengan cepat menyebar ke berbagai penjuru
dunia.

Mudah ditebak, reaksi keras segera bermunculan dari dunia Islam.
Kecaman datang, antara lain, datang dari Bangladesh dan Iran.
Negeri para mullah ini bahka mengancam akan memutus hubungan
diplomatiknya dengan Belanda.

Pemutaran Fitna ini mengingatkan pada pemuatan kartun Nabi
Muhammad SAW di koran-koran Denmark beberapa waktu silam.
Kartun yang menggambarkan Muhammad SAW sebagai teroris itu
dimuat hingga dua kali. Pertama, kartun itu dimuat koran Jyllands-
Posten pada September 2005. Kartun itu kembali dimuat pada
Februari 2007 di lebih banyak media. Dalam kedua pemuatan itu,
umat Islam dunia bereaksi keras.

Muncul kesan kuat tampaknya penayangan Fitna dan pemuatan
kartu nabi itu dimaksudkan untuk memancing kemarahan umat
Islam dunia. Upaya yang bertubi-tubi semacam itu berpotensi
meruncingkan hubungan umat Islam dengan penganut agama lain.

Pemerintah Indonesia menyebut penayangan Fitna sebagai upaya
menghambat proses dialog antar keyakinan di tingkat internasional.
Anggapan semacam ini bukan hanya milik Indonesia. Terbukti Uni
Eropa pun mengeluarkan kecaman terhadap Wilders dan Fitna.

Menyadari film ini hanya alat provokasi, umat Islam Indonesia
selayaknya tidak terpancing emosi. Harus dihindari merespon Fitna
dengan aksi kekerasan. Sebab jika itu dilakukan, justru hanya akan
memperkuat citra negatif yang diumbar dalam Fitna dan kartun nabi.

Alih-alih, umat Islam bisa meresponnya secara elegan dan dewasa guna
meruntuhkan citra buram yang selama ini melekat. Tampaknya,
organisasi- organisasi Islam bisa mengambil peranan strategis untuk
meredam kemarahan umat.

Di tingkat internasional, keterlibatan organisasi Islam Indonesia
dalam proses perdamaian dunia sudah saatnya ditingkatkan. Selain
untuk tujuan damai itu sendiri, langkah tersebut akan menegaskan
pesan Islam akan kedamaian. Dengan cara demikianlah provokosi-
provokasi ala Fitna akan rontok dengan sendirinya.

*) naskah ini dengan sedikit editing dimuat sebagai tajuk dalam
Koran Tempo edisi 29/03/08 dengan judul:
Bersikap Elegan Terhadap Fitna

Monday, March 17, 2008

Sebuah Sore Bersama Scott HT


”Sendiri saja pak?” tanya mas Joko Thor begitu saya turun dari sepeda persis di depan rumah. Keringat belum lagi kering setelah sekitar 1,5 jam
saya nggowes. Tetapi tentu saja saya senang bisa ngobrol dengan tetangga.

Hanya satu kalimat saja pertanyaanya. Tapi dari sorot matanya tampak ia meyimpan beberapa pertanyaan lain. Kayaknya, sih, demikian...
Tapi saya maklum. Saat itu sudah menjelang maghrib ketika saya baru nyampai. Bukan waktu yang lumrah untuk nggowes. Ngapain nyepeda sore-sore? Sendirian lagi. Kira-kira demikian keheranan Mas Joko dalam terawangan saya--pada saat senjakala begini, indera keenam saya memang lagi tajam-tajamnya.

Alasan saya sih sederhana. Minggu pagi tadi tak sempat nggenjot karena ada
acara. Maka sore sekitar pukul 16.15, Scott Hardtail kukeluarkan dari
parkirannya. Apalagi cuaca lumayan mendukung. Hujan yang beberapa hari
terakhir menyerbu bumi, sore ini absen.

Di sepanjang ruas jalan depan rumah, anak-anak gembira bermain menikmati
sore. ”Hm, nikmatilah masa kanak-kanakmu sepuasnya, nak. Dan biarkan orang
tua ini ikut mencicipi sore yang cerah dengan pit-pit-an...,” kataku dalam hati
seperti dialog-dialog dalam pertunjukan teater pas bandrol itu.

Saya memutuskan tak akan masuk ke singletrack. Kalau terjadi apa-apa, bakal
repot. Maka keluar dari komplek Graha Harapan saya menyusuri jalan aspal
ke arah Ciketing. Aspal? Ya, demikianlah formalitasnya. Tetapi kalau ada kerbau
berkeliaran di sini pasti akan menemukan surganya. Makhluq mamalia itu punya
banyak pilihan untuk berkubang.

Melihat parahnya kerusakan di sini, jalan aspal ini saya usulkan dialihkan fungsikan
saja untuk tempat bercengkerama kerbau! Hahaha...!

Tapi "syukurlah" jalanan hancur ini bukan hanya ada di sini. Hampir di seluruh
Bekasi sangat sulit untuk mencari jalan yang 100% mulus. Dan syukur pula hal
semacam ini tidak dianggap sebagai masalah serius oleh Pemrintah Kota Bekasi,
sehingga jalan hancur-lebur benar-benar dilestarikan di wilayah ini.
Terima kasih, Pak!

Sampai di pertigaan Ciketing, saya berbelok ke kiri. Biasanya saya menyusuri
jalan yang menghubungkan Bantargebang-Setu ini dari arah berlawanan.
Tetapi biarlah sore ini saya akan membuatnya berbeda. Tetapi apa bedanya
jika di jalur utama semacam ini, seepda tetaplah dianggap sebagai moda angkutan
kelas sudra?

Dari arah belakang, klakson mobil, truk, dan sepeda motor silih berganti
meminta kita minggir. Dari arah depan mereka akan merampas jalur kita
jika kebetulan melewati jalan yang –lagi-lagi— amburadul. Sungguh, tidak
ada tenggang rasa sedikit saja. Saya yakin, jika pengendara semacam itu
diberi kesempatan berkuasa dia akan jadi tukang serobot apapun.

Tetapi saya cuek. Sore begitu cerah, dan saya tak ingin merusaknya dengan
larut dalam emosi. Saya menikmati goesan sekayuh demi sekayuh. Angin,
panorama sekitar, langit yang mulai merah tembaga di beberapa tempat, dan
seluruh sketsa alam karya Sang Pelukis Agung ini ingin saya resapkan ke seluruh
pori-pori tubuhku. Ah, tetapi kenapa orang-orang itu selalu terburu-buru seolah
waktu tak pernah cukup?

Sampai di warung Sengon tempat para Gragoters (dulu) biasa rehat, saya
belok kiri memasuki jalur asam urat. Begitu masuk kampung, seluruh hiruk-
pikuk seperti raib begitu saja.

Tak ada yang berubah dari kawasan ini. Tetapi melintasinya menjelang sore,
rasanya sedikit lain. Karena rimbunnya pepohonan di halaman rumah dan
pinggir jalan, beberapa sudut tampak lebih gelap dari yang lain. Waktu kecil dulu
di kampung, saya selalu merasa ada misteri di tempat-tempat semacam itu.
Kini saya mengenangnya di atas sadel yang melaju pelan—gir depan dan belakang
di paling rendah. Toh, misteri itu masih terasa juga kini.

Jalur asam urat ini terus membawa saya ke arah Danau Cibereum. Dan, eits,
di sebuah warung menjelan tembok Danau Ciberueum, tampak beberapa
perempuan berdandan menyolok lagi asyik main kartu di bagian depan.
Saya hanya melirik sekilas, tetapi merasa pandangan mereka membuntuti saya.

Apakah mereka ini, ah...., saya tak berani melanjutkan fikiran saya.
Dan setelah melewati trek tanah yang super becek, tiba-tiba saya sampai
di lokasi perumahan elit yan tengah giat dibangun: Grand Wisata. Inilah
kawasan real-etstate yang paling hot di Bekasi saat ini. Sebuah kawasan
ribuan hektar yang melahap lahan sawah, kebub karet, padang ilalang,
dan perkampungan.
”Beberapa keluaga di kampung Kopen sudah mula
pindah,” kata seorang remaja yang tengah duduk di tumpukan lembaran
beton pinggir jalan. Ia bersama dua temannya menikmati sore seraya
memandang kampungya di seberang danau. Apakah yang tengah mereka
pikirkan? Saya tidak tahu.

Setelah itu saya memacu Scott saya membelah komplek dan melewati
beberapa cluster: East Esplanade, Garden Fiesta, Festive Garden, dan....
saya tak ingat lagi nama-nama aneh itu. Jalanan di komplek ini semua mulus.

Konstruksi unit rumah begitu menawan. Setiap cluster haya memiliki satu
pintu dengan tembok besi nan menjulang. Saya ikut bahagia, karena pasti
mereka yang tinggal di kawasan kemilau ini pasti juga orang-orang yang
bahagia.

Begitu keluar komplek impian ini, saya kembali mendapati Real-Bekasi.
Jalanan hancur lebur seperti habis perang dunia, kendaraan motor saling
berebut akses, pejalan kaki tak punya jalur khusus, wajah-wajah miskin
senyum seperti diburu setan bernama waktu, dan semacam itulah...

Scott saya gowes di antara seluruh carut-marut itu. Nafas memburu. Emosi
mulai mendidih. Sepedaku berzig-zag diantara kecamk lalu-lintas tak beraturan
sore itu. Secara tak sadar, ternyata saya sudah larut di dalam belantara yang
sudah tak mengindahkan aturan itu.

Ah, apakah akhirnya kita memang tak bisa mengelak dari arus besar
ketergesaan semacam ini? Saya sampai di Graha Harapan sekitar pukl 17.45,
dan datanglah sapaan itu, ”Sendiri saja, Pak?”

Kini, saya tahu, saya tak sendiri dalam gerusan arus jaman yang serba terburu ini