Saturday, September 29, 2007

(Bukan) Suap?

Untung saya bukan seorang jenderal. Pertama, saya
memang tak punya potongan untuk jadi orang berpangkat.
"Potongan" adalah kata ganti untuk kompetensi, reputasi,
dan kredibilitas. Tak punya potongan, alias tanpa semua
kualitas itu, minder saya untuk menyandang pangkat dan
jabatan tertentu. Saya tak seberani Nurdin Halid, misalnya,
yang tetap merasa punya potongan memimpin PSSI
meski sudah masuk penjara.

Kedua, saya merasa beruntung bukan jenderal, karena
pasti akan bingung jika tiba-tiba ada yang datang ke kantor
dan tanpa ba-bi-bu ngasih sebuah rumah berlokasi di kawasan
elite Ibu Kota. Bingung, kok ya ada, sebuah rumah yang
harganya mungkin bisa untuk membangun sekitar
10 puskesmas itu diberikan cuma-cuma.

Jangan bertanya kenapa saya bingung, sedangkan Jenderal
Purnawirawan R. Hartono saja bisa enteng menerima
pemberian semacam itu dari seorang pengusaha
bernama Henry Leo. Tentu saja Pak Jenderal
menerimanya ketika dulu masih menjadi petinggi militer.

Bagaimana saya tidak bingung bin linglung, lha menurut
Pak Hartono yang pasti ahli strategi militer itu, pemberian
tersebut ternyata tidak diketahui maksudnya.
"Saya tak tahu apa maksud pemberian itu," katanya
seperti dikutip surat kabar. Bayangkan, rumah di kawasan
elite diberikan begitu saja seperti membagikan permen.
Dan, ehm, meski tak tahu maksudnya, Pak Hartono pun
menerima pemberian itu dengan ikhlas nan rela.

Saya bingung, barangkali karena saya orang kuno.
Waktu saya kecil, orang tua mengajarkan setiap
orang harus bekerja keras untuk mendapatkan
sesuatu. Bahkan untuk mendapatkan sepotong
permen, misalnya, waktu itu saya harus membantu
mengepel rumah. Jadi, kalau (misalnya) saya jenderal,
apakah yang harus saya pel untuk mendapatkan
sebuah rumah mewah?

Waktu kecil, pernah memang seorang teman memberi
permen agar saya tak mengadu ke orang tuanya.
Sebelumnya dia habis berantem di sekolah. Tapi
belakangan saya yang kena batunya dimarahi
Bapak setelah menceritakan itu kepada beliau.
"Itu namanya kamu telah disuap. Disogok!" hardiknya.

Sejak itulah saya tahu, suap tak hanya berkenaan
dengan kegiatan ibunda memberi asupan makanan
kepada adik bayi. Suap-menyuap juga merujuk pada
kegiatan ilegal. Pelakunya bisa macam-macam orang.
Yang disuapkan bukan pula susu atau bubur, melainkan
mulai permen, uang, hingga rumah mewah.
Motifnya bukan kasih sayang, melainkan mencuri
keuntungan sebesarnya.

Waduh, betapa rakusnya para pemburu keuntungan
haram itu. Lihat, tak hanya uang yang dirampas.
Bahkan makna kata suap pun ikut mereka rampok.
Bukankah semula "suap" mengisyaratkan pekerjaan
mulia karena merujuk pada aktivitas kasih sayang
ibu-anak?

Jika makna saja sudah dirampok, tak terbayangkan
kedigdayaan anggota komunitas suap ini. Pengawas
hakim saja bisa (dan bersedia) disuap, apalagi yang lain.

Lihat bupati ataupun gubernur disuap agar hutan bisa
dibalak secara liar. Ratusan triliun rupiah masuk kantong
sang cukong, dan sebagian kecilnya lalu di-icrit-icrit untuk
menyuap penegak hukum, pengambil keputusan,
hingga orang-orang yang mengaku wartawan.
Demikianlah lingkaran setan per-suap-an
menjadi langgeng adanya.

Kembali ke rumah R. Hartono, Pak Jenderal sudah
menyatakan pemberian itu bukan penyuapan. Toh,
rumah itu tetap diserahkannya juga ke Kejaksaan
Agung--setelah Henry Leo menjadi tersangka korupsi.
Tidak usah ditanyakan kenapa bukan dari dulu-dulu
ketika kasus Henry belum terungkap.

Oh ya, Kejaksaan Agung pun menyatakan pemberian
rumah itu bukan merupakan penyuapan. Ah, kalau begini,
saya menyesal, kenapa saya bukan seorang jenderal?

*) tulisan ini dimuat di Koran Tempo,
edisi Minggu 29 September 2007