Thursday, December 07, 2006

Solilokui Roti Bakar

Nek mung sekedar roti bakar, mungkin ora pati ngawu-awu.
Pun jika roti bakar kuwi dihidangkan oleh "Roti Bakar Edy"
sing wis kondang sak nJakarta. Setangkup roti tawar
denganberbagai pilihan isian: selai nanas, coklat, lan
sak piturute, jelas marai ngiler.

Hananging nek mung nggo keplek ilat thok,
entuk-entuke yo mung wareg. Tapi, jika roti bakar
itu disantap sebagai pengantar menggali kenangan,
bahkan, merekatkan kembali sejenis ikatan sosial
yang disebut pertemanan, engkau akan tahu wareg
hanyalah sekedar ubo rampe. Luwih penting lan mitayani
inggih puniko: taksih wonten ingkang kasebat
kekerabatan wonten ing kitho ageng jejuluk
nJakarta meniko.

Di Jakarta, engkau paham benar, waktu seperti
mencekal cambuk. Sedikit telat men-ceklek kartu absen,
konditemu akan direduksi pada akhir bulan. Seperempat
jam alpa menemui kolega, bisnis besar miliaran
rupiah bakal lolos di bawah batang hidungmu. Telat
1/2 jam membuka pintu rumah setelah hari kerja,
sepasang mata akan me-mencerengimu menuntut
penjelasan.

Di ibu kota inilah waktu kadang-kadang menjadi
viagra dalam menjalani rutinitas: kita tak pernah
bersabar lagi dengan orang lain . Di jalanan, kita
tak akan pernah memberi ruang pada mobil, motor,
atau pejalan kaki yang permisi minta jalan. Di bus
kota yang penuh, mungkin kita JUSTRU akan
menyalahkan seorang ibu dengan bayi dalam
gendongan yang tak kebagian tempat duduk: "Sudah
tahu bus kota selalu penuh, kok nekat pergi bawa anak,"
demikian pikir kita suatu saat.

Jakarta, poro sederek, alon-alon waton kelakon, tanpo
kroso Betoro Kolo ngrikiti menopo ingkang rikolo
semanten tiyang sepuh lan poro leluhur tansah paring
atur ngunandiko: "le, cah bagus, cah ayu, tansah eling-
elingono, sejatine kito ora iso urip tanpo ananing liyan.
Zaman wis mesthi ngglindhing tanpo kendhat.
Nanging yo le, yo ndhuk, yo, kowe kabeh kudu
iso ngeli tanpa keli. Tansah iso angon mongso, lan
pungkasane memayu hayunging bawono."

"Inggih mbah," jawabku khusuk, ketika itu, seraya
mengamati tungkai embah yang kian keriput digerus
zaman. Sore-sore tintrim. Sandyakalaning dusun
Ngoro-Tengah. Wit mlinjo ing latar katon tentrem
soko lincak iki. Embah terus nyedot rokok kawunge.
Paningalipun katon dawah wonten wuwungan
limasan....

Barangkali demi mencoba nguri-uri dawuhe poro
leluhur meniko, suatu malam aku memutuskan
membelah three in one Jakarta, meninggalkan
sejenak bahan liputan di mejaku, juga segelas kopi,
untuk menemui para sahabat dari masa silam.

Dan, disanalah danang, aris, arif, jeki, indria, tomo,
agus,hendy, juga seorang rekan yang diajak arif, telah
berkumpul meninggalkan beban dan rutinitas hariannya.
Kami memutuskan melawan kerkahan betoro kolo
Jakarta untuk sekedar mengingat: pernah di suatu
masa, kami menjalani hari-hari yang mengesankan.
Saat kekerabatan demikian kental--sekental kopi
yang kutinggal di meja, dan dengan demikian mengantar
kami menjadi seperti saat ini.

Sebuah masa lalu yang teramat mahal untuk
digadaikan pada cambuk waktu! "Eh, sopo sing
wingi nang milis semangat banget janji arep teko, tapi kok
saiki ra ketok? Hehehehe...," sebuah celetukan menyelinap
disela roti bakar dan dendang "Yen Ing Tawang Ono
Lintang" seorang pengamen. Kami hanya tersenyum.
No problem.

Malam merambat tua. Kami memutuskan untuk
segera mengambil jeda. Jeda, karena kami yakin tak
ingin memutus kekerabatan ini hanya karena cengekraman
waktu--atau apa pun namanya. Kekerabatan memang tak
hanya, dan harus, dibangun lewat ketemuan-ketemuan.
Tegur sapa lewat cara apa pun pastilahlebih berharga
ketimbang tidak sama sekali. Tetapi ketemuan, ibarat
baterai, akan membuatku terus menyala dan
menyadari: masihada sekian sahabat di sana.

Aku lega dengan perolehan pikiran semacam itu.
Kuputar kunci kontak. Sejurus kemudian aku segera
tengelam di kegelapan jalanan bebas hambatan
menuju pingiran Jakarta. Kumasukan sebuah kaset
lawas kedalam tape recorder. Sebuah tembang
mengalun syahdu:

Sigramilir sang gethek sinangga bajul
Kawan dasa kang njageni
Hing ngarsa miwah hing pungkur
Tanapi hing kanan kering
Sang gethek lampahnya alon

Lalu aku terngiang tutur mbah di senja itu:

"Ingkang lumrah ing mangsa puniki, mapan guru
ingkang golek sabat, tuhu kuwalik karepe, kang
wus lumrah karuhun, jaman kuna mapan si murid,
ingkang pada ngupaya, kudu angguguru, ing mengko
iki tan nora, Kyai Guru naruthuk ngupaya murid,
dadiya kanthinira."

Di luar, hanya kegelapan jalan bebas hambatan yang kutemui.